15. Hukuman

1128 Kata
Motor milik Angkasa akhirnya sampai di parkiran sekolah. Lelaki itu bangun kesiangan gara-gara tidak bisa tidur. Hampir semalaman dia memikirkan kejadian di rumah Raya kemarin. "Sial! Kemarin itu mimpi apa bukan sih?" Angkasa menepuk-nepuk kedua pipinya pelan berharap kalau semua itu hanya mimpi. "Tuh cewek kembar? Gila! gue rasa dunia emang udah gila! Bagaimana bisa muka kembarannya mirip sama gue? Atau .... Jangan-jangan gue bukan anak kandung nyokap gue? Astaga, Angkasa! Otak lo kenapa sih?" Rambut yang tadi telah tersisir rapi kini kembali berantakan karena diacak-acak. "Tapi kan, muka gue gak mirip sama tuh cewek. Oke, gue bukan kembaran dia. Tapi .... " Ucapan Angkasa kembali menggantung. Mengingat foto kembaran Raya, mengingatkan dirinya saat kecil. Bagaimana bisa Rama begitu mirip dengannya? Angkasa benar-benar tidak habis pikir. Apakah jika Rama saat ini masih hidup, wajahnya juga akan mirip dengan Angkasa? Angkasa menggelengkan kepala. "Atau jangan-jangan Rama itu sebenernya kembaran gue?" Angkasa sekarang terbengong-bengong dengan ucapannya sendiri. "Lho ... gue kembar dong? Eh, gimana sih? Ini yang kembar sebenernya gue atau tuh cewek? Astaga." Angkasa memijit keningnya dan memutuskan untuk segera pergi dari parkiran. Otaknya benar-benar kelelahan setiap kali mengingat hal-hal yang berkaitan dengan Raya. "Raya kembar, anak kandung kepala sekolah, anak ajaib. Bisa baca pikiran orang, bisa gerakin apa pun dari kejauhan juga. Ya ampun, dia manusia dari planet mana sih?" Angkasa tidak henti-hentinya membatin. Baru kali ini dia bertemu dengan manusia seperti Raya. "Fokus, Sa. Fokus," ucapnya. Namun baru saja dia hendak menghirup napas, sesuatu mengganggu pandangannya. Tepat di koridor lain, segerombolan siswi tengah mengobrol. Angkasa mengenali beberapa wajah di sana. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Lelaki itu mempercepat langkahnya dan berjalan ke ruangan OSIS. Kedatangannya langsung di sambut dengan tatapan tidak suka dari Gavin. Lelaki itu menatap Angkasa dari atas hingga bawah. "Ngapain lo?" "Ada yang mau gue bicarain sama lo." "Bel udah mau bunyi. Sebaiknya lo pergi ke kelas sebelum keliatan sama Pak Agung." Gavin mengunci pintu dan memasukkannya ke dalam salah satu kantung celana. Dia kembali menatap Angkasa. "Dan gue gak ada waktu buat ngomongin hal yang gak penting sama lo." Angkasa dengan cepat langsung mencekal lengan Gavin begitu lelaki itu hampir berjalan melewatinya. "Dengerin gue baik-baik," ucap Angkasa penuh penekanan. ? Raya baru saja hendak kembali ke kelas, namun langkahnya terhenti saat melihat segerombolan murid berkumpul menatap ke arah lapangan basket di bawah sana. Bersamaan dengan itu, Raya mendengar teriakan seseorang. Dia segera melihat apa yang sedang terjadi. Rupanya, Gavin tengah menghukum beberapa murid. Dia tidak sendiri, melainkan bersama dengan Sena, siswi kelas dua belas yang merupakan ketua PMR. PMR? Raya langsung mengamati wajah-wajah kelelahan di bawah sana. Gadis itu terkejut karena mereka semua adalah siswi yang mengerjainya kemarin di kantin. Apa ini hanya kebetulan? Saat ini mereka tengah dihukum berlari mengelilingi lapangan. "DENGAR! SAYA TIDAK INGIN LAGI MENDAPAT LAPORAN SEPERTI INI!KALIAN ANGGOTA PMR, TAPI BERNIAT MENCELAKAI ORANG LAIN!" Teriakan Sena menggema. Wajah gadis itu memang terlihat garang meskipun tidak sedang marah. Namun dia sebenarnya gadis yang ramah. "JIKA SAMPAI SAYA MENDENGAR HAL SEPERTI INI LAGI, SAYA TIDAK AKAN SEGAN-SEGAN MENGELUARKAN KALIAN! PAHAM?" Semua siswi itu langsung menjawab dengan kompak. Tidak lama kemudian, mereka langsung terkulai lemas di pinggir lapangan. Sena langsung berjalan mendekati mereka dan mengucapkan sesuatu. Mereka langsung mengangguk dengan napas yang memburu. Sena kembali berjalan menghampiri Gavin dan menepuk pundak lelaki itu. Sementara di balkon lantai dua, Raya masih mengamati mereka. Dari ucapan Sena tadi, Raya dapat menarik kesimpulan bahwa seseorang pasti telah melaporkan perbuatan mereka. Tapi siapa? Pandangan Gavin sempat bertemu dengannya ketika lelaki itu hendak keluar lapangan. Namun hal itu tidak bertahan lama karena Gavin langsung membuang pandangannya ke arah lain. "Ini aneh, kenapa orang itu harus melapor? Dan satu-satunya orang yang tau hal ini tidak lain adalah .... Angkasa." Raya langsung pergi mencari Angkasa saat itu juga. Dia ingin memastikan, apakah benar Angkasa yang melapor atau bukan. Jika memang dia, kenapa dia harus repot-repot melakukannya? Bahkan semua orang di sekolah tidak ada yang peduli sama sekali. "Raya!" Langkah Raya terhenti tepat ketika seseorang memanggilnya. Gadis itu membuang napas begitu seseorang berlari padanya dari arah belakang. "Gue tadi liat Kak Gavin sama Kak Sena hukum anak-anak PMR. Terus gue denger dari anak-anak katanya mereka kemarin bikin ulah. Katanya, mereka .... Ngerjain lo." Kayla menatap Raya yang masih bergeming. Gadis itu bahkan tidak menoleh sama sekali. "Ucapan mereka gak bener kan? Soalnya gue tadi langsung keinget sama lo. Gue khawatir. Kemarin lo pucat dan—" "Mereka bener." Kini kedua mata Raya langsung bertatapan dengan mata milik Kayla. "Ucapan mereka bener. Gue yang mereka kerjain. Kenapa? Bukannya lo harusnya seneng?" "Ra, gue gak bermaksud begitu. Gue bener-bener khawatir sama lo." "Lo khawatir sama orang yang salah." Setelah mengucapkan itu, Raya langsung pergi. Namun seseorang kembali memanggilnya. Kali ini bukan Kayla. Tangan Raya mengepal begitu melihat murid-murid yang berada di koridor mendadak menatap ke arahnya. "Gue baru aja mau ke kelas lo tapi ternyata malah ketemu sama lo di sini," ucap Gavin. Raya terdiam. Kini semua orang benar-benar melihatnya. Dia benci menjadi pusat perhatian. "A-aku permisi dulu, Kak." Kayla langsung berpamitan pergi begitu Gavin menghampirinya dan Raya. Sesekali Kayla melirik Gavin dan Raya. "Bener gak sih yang diomongin anak-anak? Kak Gavin sama Raya pacaran?" Melihat Gavin membuat Kayla mengingat kejadian saat Gavin menyuapkan sepotong kue ulang tahunnya pada Raya. Setahunya, Gavin tidak pernah dekat dengan siswi mana pun. Tapi secara mengejutkan kemarin Gavin menghampiri Raya dan menyuapinya seakan-akan mereka dekat, walaupun ekspresi Raya begitu datar. "Tuh kan, gue bilang juga apa. Pasti Raya yang ngerayu Kak Gavin duluan. Masa iya tiba-tiba mereka deket?" Ucapan salah seorang siswi menggelitik telinga Kayla. Gadis itu langsung menghampirinya dengan tatapan tidak suka. "Kenapa lo?" tanya siswi itu. "Mulut lo bisa dijaga gak sih? Lagian lo gak liat apa barusan Kak Gavin sendiri yang nyamperin Raya?" Siswi itu mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan Kayla. "Lo kok malah belain dia? Nih, ya. Udah jelas Raya itu—" "Udah, udah. Cabut aja yuk." Salah seorang teman siswi itu tampak menarik paksa lengan temannya yang terlihat mulai kesal. Dia hanya tidak ingin berurusan dengan Kayla. Tentu saja, Kayla adalah anak kepala sekolah. Berurusan dengan Kayla berarti berurusan dengan Anthony. Kayla membuang napas kasar. Nyatanya, menjadi anak kepala sekolah tidaklah menyenangkan seperti yang ada di cerita n****+ yang pernah dia baca. Semuanya justru berbanding terbalik. Di sini, dia justru dijauhi. Orang-orang jadi takut berteman dengannya karena mereka takut pada Anthony. Ayahnya adalah kepala sekolah yang terbilang cukup keras. Dia tidak segan-segan turun sendiri ke lapangan jika ada murid yang terlibat kasus. Untuk itulah Kayla mencoba mendekati Raya. Dia pikir, nasibnya sama dengan gadis itu. Mereka sama-sama tidak memiliki teman. Namun dugaannya salah, karena nyatanya Raya bahkan selalu menolak kehadirannya. Mungkin gadis itu sudah terlalu lelah dengan sikap semua orang dan memutuskan untuk menutup diri, termasuk pada Kayla. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN