Raya menarik salah satu kursi di meja makan dan mendudukkan dirinya. Cewek itu meletakkan sejumlah uang ke atas meja dan menghela napas begitu melihat mamanya cengengesan.
"Mama pasti udah tahu soal ini, kan?" tanyanya datar.
Yuli meletakkan loyang kotor ke wastafel dan menatap putrinya. Dia tertawa pelan. Wajah Raya masih saja tampak datar, padahal jika orang lain mungkin sudah marah-marah hingga wajahnya memerah.
"Mama cuma lihat kamu ketemu sama Angkasa hari ini. Mama pikir kalian bakal gak sengaja berpapasan di jalan, tapi siapa sangka kalau kalian malah ketemu di depan rumah."
"Enggak lucu, Ma."
Yuli terkekeh. Namun di detik berikutnya ekspresi wajahnya berubah.
"Tapi akhir-akhir ini mimpi Mama agak aneh."
Raya mengerjap. Cewek itu buru-buru bangkit dari posisinya.
"Kamu lagi deket sama siapa?" tanya Yuli tepat ketika Raya baru saja berbalik.
"Dengan menghindar pun, kamu gak bakalan bisa lari. Mama sudah bilang, Tuhan masih punya cara lain. Ra—"
"Kalau Mama emang ngelihat sesuatu dan takut aku bakalan berakhir sama seperti Rama, harusnya Mama minta aku buat ngejauh dari Angkasa. Bukan sebaliknya."
"Tapi Angkasa bisa nolong kamu."
Raya menunduk. "Ma, tolong. Aku gak mau libatin orang lain. Aku gak bermaksud buat lari, aku cuma mau buktiin kalau penglihatan Mama kali ini salah."
"Orang yang bernama Gavin itu, memangnya dia bisa dipercaya? Dia cowok yang waktu itu kamu sebut sewaktu—"
"Ma, cukup."
"Raya, kita sama-sama diberikan kelebihan oleh Tuhan. Mama gagal menjaga Rama sebelumnya, dan Tuhan memberi Mama kesempatan ke dua untuk menjaga kamu."
Perlahan Raya membalikkan badannya dan menatap Yuli.
"Ma, percayalah. Sesuatu yang Mama sebut kelebihan itu nyatanya nggak pernah ada buatku. Semua orang melihat kalau itu hanyalah kekurangan dan mereka ngejauh. Aku gak pernah takut aku disakiti, karena pada nyatanya merekalah yang takut aku sakiti." Raya mengepalkan tangan. Dia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "termasuk Papa."
Yuli terkejut dengan ucapan putrinya. Dia tidak menyangka kalau Raya akan kembali menyebut papanya setelah sekian lama.
"Dia bahkan benci saat aku panggil dia dengan sebutan papa. Mama tahu? Papa sekarang udah benci sama aku. Dia lebih memilih anak tirinya, daripada aku yang jelas-jelas darah dagingnya! Mana yang Mama sebut kelebihan?" Raya mengusap kasar sesuatu yang sudah jatuh dari pelupuk matanya.
"Maafin Mama." Yuli hendak menghampiri Raya dan memeluknya namun putrinya itu justru bergerak mundur, seolah tidak ingin disentuh.
"Aku percaya takdir ini bakalan berubah."
Yuli menatap punggung Raya yang menjauh.
"Aku ingin anakku nanti memiliki kekuatan ajaib yang tidak dimiliki oleh orang lain, agar tidak ada satu pun yang bisa menyakitinya."
"Maafin Mama, Ra."
?
"MINGGIR WOIIII!!!! AER PANAAASSSS!!!"
Semua siswa yang masih memadati koridor seketika berpindah ke pinggir ketika seseorang berteriak dari belakang. Lalu tidak lama kemudian seorang siswa laki-laki berlari melewati orang-orang dengan kedua tangan memegang buku dan pulpen.
Tanpa merasa kesulitan, dia mampu berlari menaiki satu per satu anak tangga dengan cepat.
"MINGGIIIIRRRRR!!!!!" Diliriknya jam tangan hitam yang melingkari salah satu pergelangam tangannya. Detak jantungnya seketika meningkat ketika mengetahui kalau bel jam pertama akan berbunyi dalam waktu sepuluh menit lagi.
"TUHAN, SELAMATKAN HAMBAMU INI!"
Semua orang menatap Angkasa dengan pandangan aneh. Mereka tidak pernah mengerti dengan kelakuan cowok kelas XI IPA 2 itu.
Bruukk!!
Kacau.
Seketika buku-buku dan lembaran kertas berhamburan saat Angkasa secara tidak sengaja menabrak seseorang.
"Eh, sori. Gue gak sengaja—" kedua mata Angkasa membulat. Dengan cepat dia langsung menarik pergelangan tangan orang itu.
"Ikut gue!"
Raya yang terkejut mau tidak mau berlari mengikuti Angkasa. Beruntung dia bisa dengan cepat mengambil bukunya yang terjatuh tadi.
"Kita mau ke mana?" Pertanyaan Raya sama sekali tidak dijawab oleh Angkasa. Mereka berdua kini menuruni tangga dengan terburu-buru.
"MINGGIR, MINGGIIIRRR!!! AER PANAAASSS!!!"
Semua orang terkejut sekaligus bingung. Apalagi saat melihat tangan milik Angkasa yang bertaut dengan tangan Raya.
"Sa, lepas," ucap Raya sembari berusaha melepaskan tangannya begitu menyadari tatapan orang-orang padanya. Tatapan itu, tatapan yang paling dibenci Raya. Bagaimana orang-orang menatapnya seakan-akan seperti hendak melenyapkan dirinya di detik itu juga.
Bukan Angkasa namanya jika menurut begitu saja. Cowok itu kini membawa Raya ke taman belakang sekolah yang merupakan tempat yang cukup ditakuti oleh orang-orang.
"Please, bantuin gue." Angkasa menggosokkan kedua telapak tangannya.
"Tapi gue pagi ini ada ula—"
"Gue tahu otak lo cukup pinter. Jadi gue mohon bantuin gue ngerjain PR Fisika."
"Apa?"
Angkasa menarik tangan Raya agar cewek itu duduk di bangku di bawah pohon beringin. Angkasa lalu membuka buku miliknya dan menunjukkannya pada Raya.
"Cuma sepuluh nomor. Gue yakin lo bisa! Please, lo tinggal kasih tahu gue rumusnya."
Meskipun Raya benci Fisika, namun pada akhirnya dia mengalah juga. Dia membaca satu per satu soal yang ditulis oleh Angkasa. Dengan sedikit penjelasan, dia mengajari Angkasa saat cowok itu kesulitan.
"Yang ini rumusnya—"
Tubuh keduanya mematung saat mendengar suara nyaring yang menggema ke seluruh penjuru sekolah.
"Mampus. Baru empat soal." Angkasa menelan ludah. Sementara Raya hanya membuang napas. Cewek itu sudah pasti telat datang ke kelas, dan teman-temannya akan bersorak ketika mendapati dirinya dihukum.
"KALIAN!"
Mereka menolehkan kepalanya dan melihat Pak Agung yang sudah berdiri seraya berkacak pinggang.
?
"Sori, ya. Gara-gara gue, lo juga harus dihukum," ucap Angkasa. Dia menolehkan kepalanya ke belakang, tepat ke arah Raya yang tengah sibuk dengan bukunya.
"Gue gak tahu lo ada ulangan Kimia." Kedua pipi Angkasa menggembung. Dia lalu kembali sibuk dengan buku miliknya.
Mereka berdua dihukum oleh Pak Agung. Setelah selesai membersihkan toilet, keduanya dihukum agar berdiri di tengah lapangan basket sembari memegang buku dan sebuah alat pel yang diletakkan di bahu dengan posisi saling membelakangi. Sejujurnya Raya memang kesal, namun cewek itu tidak terlalu mempermasalahkannya asalkan dia bisa mengikuti ulangan susulan nanti. Beruntung suasana sedang sepi, jadi tidak banyak yang melihat mereka berdua kecuali guru-guru yang lewat.
"Lo balik aja ke kelas, masih ada waktu," ucap Angkasa.
"Lo bisa diem? Gue jadi susah konsentrasi."
Angkasa mencebikkan bibir.
Salah mulu gue.
"Lo gak salah."
"Hah?" Angkasa berpikir kalau dia baru saja salah dengar. Cowok itu mencoba memutar badannya namun karena dia berputar ke arah yang salah, ujung alat pel yang dipegangnya hampir mengenai wajah Raya hingga cewek itu secara reflek menghindar.
"Eh ... S-sori. Gue lupa." Pada akhirnya Angkasa kembali ke posisi semula.
"Barusan lo bilang apa? Gue gak salah denger?" tanya Angkasa tanpa mengubah posisi berdirinya. Hanya kepalanya saja yang sedikit menoleh ke belakang.
"Gak ada pengulangan."
Kedua bahu Angkasa merosot. Jika saja Raya itu laki-laki, sudah pasti kepalanya akan habis benjol-benjol dipukuli olehnya menggunakan gagang pel.
"Gue tahu apa yang lagi lo pikirin," ucap Raya lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari halaman buku.
Mendengar ucapan cewek itu, Angkasa tersentak. Memang segalanya mendadak sulit ketika dirinya bersama Raya. Bahkan untuk memaki-maki di dalam hati pun rasanya begitu sulit karena Raya akan dengan mudah membaca pikirannya meskipun mereka tidak bertatapan satu sama lain.
"Iya, maaf. Habisnya lo lama-lama nyebe—"
"Lain kali jangan Fisika."
"Hah?"
Ingin rasanya Raya menendang Angkasa ke sudut lapangan saat itu juga. Ada masalah apa sebenarnya dengan telinga cowok itu?
Namun Raya hanya bisa menghela napas. "Gue gak suka Fisika."
Kedua mata elang milik Angkasa mengerjap. Sungguh? Itu artinya ...
"Jadi maksud lo, gue nanti bisa—"
"Ya."
Bibir Angkasa membentuk huruf O. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Momen super duper langka, ketika seorang Raya Avisha mau membantunya tanpa adanya serangan dari pasukan kerikil.
Nih orang kesambet setan beringin kali ya? Atau nyokapnya salah kasih makan?
Angkasa melirik Raya yang ada di belakangnya.
"Sekali lagi lo ngomong, gue pastiin badan lo nyangkut di ring."
"Astagfirullah!" Angkasa langsung menegakkan tubuhnya dan kedua matanya kembali pada buku. Namun tanpa dia ketahui di belakangnya, salah satu sudut bibir Raya terangkat.
—tbc