Kedua mata itu terbuka secara perlahan Hal yang pertama terlihat adalah bulatan cahaya yang menyilaukan. Setelah penglihatannya dirasa normal, Raya segera mendudukkan dirinya.
Entah bagaimana caranya dia kini berada di sebuah ruangan bernuansa putih dengan bau khas. Jelas-jelas tadi dia berada di atas gedung dan—
Rama!
Raya segera turun dari ranjangnya. Gadis itu berlari dengan cepat ke luar dari ruangannya.
Nggak mungkin. Nggak mungkin kalau itu cuma mimpi!
Dia masih ingat dengan baik. Kejadian tadi, tidak mungkin hanya mimpi. Itu terasa begitu nyata, jauh dari kata fiksi.
"Nona, Anda kenapa?" Seorang suster berlari menghampirinya ketika tubuhnya terduduk begitu saja di atas permukaan lantai.
Raya menangis. Dia merasa ditinggalkan untuk yang kedua kali. Semesta benar-benar memiliki sandiwara yang begitu luar biasa.
Suster itu membantu Raya berdiri dan mendudukkannya di salah satu bangku.
"Anda baik-baik saja?" tanya sang suster lagi, namun pertanyaannya tidak dijawab. Raya kini menutup wajahnya dan kembali menangis.
Jahat. Jahat sekali.
Suster itu perlahan beranjak pergi dari sana ketika seseorang datang. Puncak kepala Raya dielus dengan gerakan yang teramat lembut, membuat gadis itu mengangkat wajah.
"Dasar cengeng."
Dua kata itu terdengar dengan jelas oleh telinga milik Raya.
"Dasar ceroboh. Gimana kalo misalnya tadi gue gak dateng?"
Kedua mata Raya masih memperhatikan pergerakan Angkasa, hingga cowok itu duduk tepat di sebelahnya.
Jadi yang tadi itu— Angkasa?
Angkasa membuang napasnya pelan. "Kecewa, ya? Sori ya, kalo gue enggak kayak tadi, lo mungkin nolak permintaan gue."
Jadi yang tadi itu— bukan Rama?
Raya masih bisa melihat ada bekas air mata di kedua sudut mata milik Angkasa. Tidak dia sangka, ternyata seorang Angkasa Danial bisa menangis. Benar-benar menangis. Bagaimana pun, Angkasa sudah cukup banyak menunjukkan sisi lainnya itu padanya.
"Kenapa sih, lo harus sia-siain hidup lo kayak gitu? Lo pikir di dunia ini, cuma lo doang yang punya masalah hidup? Gue juga sama kali."
"Maaf," lirih Raya.
"Harusnya lo minta maaf ke nyokap lo, bukan ke gue. Emangnya lo gak kasihan dia? Rama udah gak ada, mantan suaminya udah gak peduli lagi. Sori gue bilang kayak gini, tapi itu emang bener adanya. Cuma lo yang dia punya. Dan sekarang, lo sampai setega itu mau ninggalin dia juga dengan cara kayak tadi?" Angkasa membuang napasnya, "Gue tahu lo capek. Tapi lo harus yakin. Percaya sama gue, jauh di depan sana, Tuhan udah siapin kejutan yang jauh lebih indah buat lo."
Raya menoleh kepada Angkasa ketika lelaki itu juga tengah menatapnya. Siapa sebenarnya sosok Angkasa? Kenapa dia selalu ada di saat dirinya butuh? Kenapa dia selalu datang mengulurkan tangan saat dirinya terjatuh?
Bagaimana bisa sosok Rama seperti selalu melekat erat dengan dirinya? Apakah Angkasa benar-benar manusia yang diutus Tuhan untuk menggantikan peran Rama?
Keduanya terdiam selama beberapa saat. Hanya terdengar derap langkah kaki beberapa orang yang berlalu lalang melewati mereka.
"Sa," panggil Raya pelan hingga Angkasa menoleh.
"Hm?"
"Kenapa lo ... Selalu peduli sama gue? Lo bisa aja tadi biarin gue—"
"Bukankah Tuhan menciptakan manusia untuk saling tolong menolong?" Angkasa tiba-tiba tersenyum. Salah satu tangannya naik dan menarik pelan salah satu pipi Raya.
"Gue lihat lho."
Kening Raya mengerut. "Lihat apa?"
"Senyum."
Meskipun bukan gue yang ada di mata lo.
?
"Makasih." Raya berujar ketika dirinya turun dari motor milik Angkasa. Hari sudah malam dan mamanya pasti khawatir apalagi Raya tidak memberi kabar sama sekali.
"Jangan pernah ngelakuin hal-hal yang kayak tadi. Emangnya lo gak kasihan sama nyokap lo? Dia rawat lo dari lo masih kecil, dan lo berniat ninggalin dia dengan cara kayak tadi?"
"Maaf."
"Udah gue bilang jangan minta maaf sama gue. Lo harusnya minta maaf sama nyokap lo."
Raya menunduk. "Iya."
"Raya!"
Kedua remaja itu menoleh tepat ketika Yuli berlari keluar rumah. Wanita itu membuka pagar dan langsung memeluk Raya dengan erat.
"Mama khawatir sama kamu." Yuli mengecup dahi putrinya dan menangkup wajah Raya.
"M-Mama nangis?"
"Perasaan Mama nggak enak. Kamu pulang telat, Mama telepon kamu berkali-kali tapi gak diangkat. Kamu gak pernah begini. Untung tadi Angkasa sempet angkat, dan bilang kalau kalian lagi ngerjain tugas bareng. Kamu kok bisa ketiduran? Mama di sini cemas mikirin kamu."
"K-ketiduran?" Raya menoleh pada Angkasa dan cowok itu hanya mengedipkan matanya.
"Ra?"
"Eh? I-iya, Ma. Maaf." Raya kembali menoleh pada Angkasa dan cowok itu hanya tersenyum tipis. Dia merasa lega bisa membawa Raya kembali. Telat satu detik saja, maka lain lagi ceritanya.
"Maafin Raya, Ma." Raya balas memeluk Yuli tak kalah erat. Dalam hatinya dia bersyukur. Pikirannya benar-benar sedang kacau. Jika Angkasa benar-benar tidak ada di sana, Raya benar-benar tidak akan mengampuni dirinya sendiri.
"Makasih ya, Sa," ucap Yuli ketika melepaskan pelukannya pada Raya.
"Sama-sama, Tante." Angkasa tersenyum lalu turun dari motornya.
"Maaf juga karena tadi gak bilang dulu. Tadi mau ngerjain di sekolah tapi aku ada janji sama temen kelas. Maaf juga karena aku nganterinnya kemalaman."
Yuli tersenyum. "Gak apa-apa. Setidaknya Raya aman sama kamu. Maaf ngerepotin, ya?"
"Nggak apa-apa kok. Kalau gitu aku pamit pulang dulu. Udah malem." Angkasa segera menyalami tangan Yuli.
"Hati-hati ya. Sekali lagi makasih," ucap wanita itu hingga Angkasa tersenyum.
"Makasih, ya." Angkasa menatap ke arah Raya selama beberapa saat sebelum menghidupkan mesin motornya.
Harusnya gue yang bilang makasih sama lo, Sa, batin Raya ketika motor Angkasa melaju menjauh.
"Yuk, masuk. Langsung mandi, ya. Ganti baju kamu. Mau Mama siapin makan nggak?"
"Nggak usah, Ma. Aku nggak lapar."
Yuli tersenyum. Dia mengusap puncak kepala Raya dan segera mengajaknya masuk ke rumah.
Betapa terkejutnya Raya ketika melihat jam yang sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Itu artinya Angkasa menunggunya di rumah sakit selama dirinya tidak sadarkan diri.
Raya lalu masuk ke dalam kamar dan segera membersihkan tubuhnya. Selang waktu lima belas menit, dia pun selesai mengganti pakaiannya.
Ponselnya berdering bersamaan ketika Raya membuka jendela. Kening Raya berkerut saat membaca nama asing yang tertera di layar ponselnya.
"Tuan Tampan?" gumamnya. Dia merasa kalau dia tidak pernah memiliki nama kontak seperti itu di ponselnya.
Raya pun segera menggeser tombol merah dan meletakkan kembali ponselnya. Siapa pun itu, mungkin dia berniat iseng padanya. Namun kini ponselnya kembali bergetar dengan nama penelepon yang sama. Dan Raya tetap pada pendiriannya. Dia kembali menggeser tombol merah. Tidak hanya sampai di situ, Raya juga mengubah mode ponselnya ke mode senyap.
—tbc