Gavin membiarkan semilir angin menerpa rambutnya hingga tampak menari seirama dengan arah angin. Sedari tadi kepalanya menunduk, jemarinya bertaut satu sama lain.
Sementara seseorang yang duduk di sebelahnya belum mengatakan sepatah kata pun, bahkan dia tidak menanyakan tujuan Gavin mengajaknya ke taman sekolah.
"Gue denger obrolan lo sama Pak Anthony," ujar Gavin pelan. "Gue gak tahu kalo ternyata masalah kalian separah itu. Dan gue minta maaf."
Raya menoleh pada Gavin yang masih menunduk. "Kenapa?"
"Gue yakin lo ngerti apa yang gue maksud. Waktu itu, gue cuma disuruh sama Pak Anthony buat ngawasin lo selama MOS."
"Gak perlu minta maaf. Gue gak pernah mikirin itu."
"Jujur waktu itu Pak Anthony sering nyuruh gue buat nyari kesalahan lo dan ngehukum lo di lapangan."
"Nyatanya lo gak pernah ngelakuin itu karena ngerasa kalo gue gak pernah bikin kesalahan apa pun. Sampai akhirnya lo penasaran." Raya melanjutkan ucapan Gavin. Sedikit demi sedikit isi kepala Gavin mulai terbaca olehnya.
"Iya. Gue nyari tahu tentang lo dan gue kaget pas tahu kalo ternyata lo adalah anak kandung dari Pak Anthony. Orang tua lo cerai gara-gara masalah kecelakaan saudara lo yang bernama Rama. Terlebih waktu Pak Anthony tahu kalo lo—"
"Sejak saat itu gue bukanlah anaknya lagi. Dia ngejauh, bener-bener ngejauh dari gue sama mama. Dia selalu menganggap gue sumber kesialan di kehidupannya," ucap Raya sebelum Gavin menyelesaikan kalimatnya.
Gavin menolehkan kepalanya dan menatap Raya yang tengah menatap kosong sebuah tanaman bunga matahari yang berada di dekatnya.
"Jika gue bisa milih, gue rela tukar posisi sama Rama. Gue cuma pengin lihat Mama bahagia. Mungkin jika gue yang pergi, mama sama papa gak bakalan pisah dengan cara kayak gini. Mereka bisa hidup bahagia.
Sedangkan gue, gue cuma ancaman buat mama. Kenyataannya mama gak aman sama gue karena gue bisa kehilangan kendali kapan aja."
"Tapi ini udah takdir, Ra. Mungkin ini rencana Tuhan yang udah jauh-jauh hari disiapin buat lo. Agar lo bisa lebih kuat lagi. Jika lo sama saudara lo bisa tukar posisi, itu gak bakalan ngejamin kebahagiaan keluarga lo."
Tanaman bunga matahari di dekat Raya mendadak tumbang tak berdaya. Tergeletak di atas permukaan tanah, diabaikan oleh semesta. Raya tersenyum getir.
"Lagi lagi soal takdir. Gue udah terlalu capek sama takdir gue. Kenapa harus gue? Di antara sekian juta manusia di muka bumi ini, kenapa harus gue?"
"Setiap manusia punya jalannya masing-masing."
"Lo gak akan pernah ngerti bagaimana perasaan gue selama ini. Gue dibenci sama ayah sendiri, dijauhi semua orang di sekolah,dan gue cuma jadi sumber ancaman buat mama. Gue bahkan hampir aja bunuh mama kemarin."
Kedua mata Gavin membulat. Raya menundukkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Lalu pandangannya teralih pada kaki Raya yang dibalut perban dan luka-luka seperti goresan di beberapa bagian, termasuk wajahnya yang kini ditutupi tangan. Samar, Gavin melihat sebuah garis di dahi Raya. Dia melihatnya.
"Lo udah berjuang keras sampai sejauh ini, Raya," ujar Gavin.
Pandangan Gavin lalu teralih pada bunga matahari malang yang tergeletak tadi. Daun-daunnya mulai tampak layu. Sesekali angin menyapanya, namun dia hanya terdiam tak berdaya. Begitu menyedihkan.
"Gue cuma minta supaya lo jangan nyerah. Lo bisa hadapin semua ini." Gavin mengusap bahu Raya secara perlahan, mencoba menenangkan gadis itu.
?
Semburat jingga kemerahan mulai tampak di langit barat. Burung-burung mulai berterbangan kembali ke rumahnya, dan hewan malam mulai membuka kedua mata mereka.
Katanya, harapan kita akan terwujud saat senja menampakkan diri, saat matahari tenggelam di salah satu ujung bumi.
Katanya, harapan kita akan terwujud ketika ada bintang jatuh. Satukan kedua tanganmu dan mulai berdoalah pada Tuhan.
Katanya, katanya, katanya. Salah satu kata yang tidak pernah memberikan kepastian. Karena pada kenyataannya, harapan Raya tidak pernah terwujud. Dia ingin Rama kembali dan keluarganya utuh. Namun hingga saat ini, hingga detik ini, semua itu tidak pernah terwujud.
Aku mohon. Tuhan, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku hanya ingin Rama kembali, aku ingin melihat mama bahagia, dan aku ingin keluarga kami kembali utuh seperti sediakala. Meskipun tanpa kehadiranku.
Kepala Raya menengadah ke atas, tepat ke langit yang mulai dihiasi jutaan benda-benda langit yang bersinar. Dia tidak pernah mengerti mengapa orang-orang bisa berharap pada bebatuan panas itu? Itu hanyalah batu. Tampak indah bila dilihat dari jauh, tanpa tahu kalau mungkin saja bebatuan langit itulah yang akan menghancurkan bumi kelak.
Takdir, garis hidup, lahir, mati. Tidak ada yang tahu. Esok, lusa, dan seterusnya, tidak ada yang tahu. Rencana Tuhan memang selalu mengejutkan.
Kedua mata Raya terpejam. Dia berada di ambang keputusasaan. Antara lelah menjalani hidup, namun enggan untuk mati lebih dini. Sekali lagi kaki itu melangkah, maka pintu alam baka terbuka lebar untuknya. Angin menerbangkan helaian rambutnya seperti sebuah sambutan. Dia tidak bisa membayangkan, apakah satu menit setelah ini dia masih mampu bertahan? Bernapas, menghirup oksigen di tempat yang bernama bumi.
Dia harus bisa memilih. Antara meninggalkan sendiri manusia paling berharga di hidupnya dan menangisi kematiannya, atau memaksakan kedua kakinya melangkah walau sudah kehilangan arah.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Detak jantung kian meningkat seiring berjalannya waktu. Keringat dingin sebesar rinai hujan mulai keluar secara perlahan.
Otaknya berputar bak sebuah komidi putar yang ditinggalkan. Begitu kosong, namun terus bergerak tanpa henti. Kepalanya mulai terasa pening. Hiruk pikuk kehidupan di bawah sana seakan semakin menarik tubuhnya.
Maafkan aku, Tuhan.
Kedua mata Raya mulai terpejam, bersamaan dengan cairan bening yang merembes di kedua ujung matanya. Kaki itu perlahan terangkat.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kedua mata itu kembali terbuka begitu menyadari keberadaan orang lain di sana. Salah satu tangannya seakan ditarik ke belakang, hingga Raya mau tidak mau menoleh.
"Rama ... "
"Aku mohon, jangan pernah lakuin ini." Kedua mata itu tampak berlinang.
Tubuh Raya bergerak maju, menjauhi jurang kematiannya seiring dengan ditariknya kembali tubuhnya oleh sosok itu.
"Tuhan, kuharap ini bukanlah mimpi. Kuharap ini benar-benar terjadi," batin Raya.
Detik-detik itu direkam dengan sebaik mungkin, sedetail mungkin.
"Rama ... " panggilnya kembali dengan air mata yang sudah melebur.
Sosok itu mengangguk pelan. "Ini aku. Kembalilah, dan jangan pernah ngelakuin ini lagi." Tetesan bening terlihat jatuh dari sudut matanya, "kita pulang."
Raya tersenyum, untuk pertama kali setelah sekian lamanya. Tangannya hendak terulur menyentuh wajah itu namun tubuhnya limbung di detik berikutnya.
"Raya!"
Semuanya berubah menjadi gelap.