29. Kebencian Raya

1461 Kata
Raya menatap kertas yang baru saja dibagikan oleh ketua kelas. Terdapat angka sembilan puluh lima yang ditulis dengan tinta merah di bagian ujung kanan atas. Gadis itu tersenyum. "Kalian kalah sama Raya yang ulangan susulan." Sang guru menatap satu per satu muridnya, "minggu depan kalian remedial. Kecuali Raya. Ibu tutup pertemuan kali ini. Terima kasih." Semua murid menatap kepergian sang guru dengan kecewa. Mereka menatap kertas ulangan masing-masing dengan kesal. "Raya terooosssss ... " Sang ketua kelas melirik sekilas ke arah Raya yang sedang membereskan buku sebelum akhirnya dia pergi keluar lab. "Ya jelaslah dia dapet nilai paling tinggi. Dia kan waktu ngapalinnya lebih lama!" Seorang siswi tampak mengerucutkan bibirnya begitu melewati Raya. Sementara orang yang mereka bicarakan hanya membuang napas. Ketika melewati lapangan upacara, Raya berjongkok begitu menyadari tali sepatu miliknya terlepas. Tanpa sengaja, pandangannya teralih pada seorang siswa yang berdiri di depan tiang bendera dengan posisi hormat. Siswa yang memakai hoodie berwarna abu-abu itu rupanya juga menatapnya hingga pandangan mereka benar-benar bertemu. Mereka terdiam selama beberapa saat. Raya baru saja berdiri, namun suara seseorang terdengar dengan jelas di telinganya hingga Raya mau tidak mau menoleh. Angkasa yang tadi masih berdiri di bawah tiang bendera kini terlihat berjalan menghampirinya dengan raut wajah tidak bersahabat. Dia udah balik lagi jadi Angkasa yang biasanya, batin Raya. "Lo gak nanya gue kenapa?" ucap Angkasa dengan nada yang entah kenapa terdengar menyebalkan di telinga Raya, padahal mereka baru saja bertemu. Tidak kunjung mendapat respon, Angkasa jadi gemas sendiri. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan, kemudian menatap cewek di depannya lagi. "Kenapa semalam lo gak angkat telepon dari gue?" tanyanya membuat kening Raya mengerut. "Telepon?" "Iya! Lo tahu, gue semalam pusing ngerjain tugas matematika dari Pak Tomi!" "Terus? Gak ada hubungannya sama gue." Demi Dewa Neptunus, rasanya Angkasa ingin menangis di detik itu juga. Kenapa susah sekali bicara dengan Raya? "Ya gue mau minta bantuan lo tapi lo malah tolak semua panggilan gue! Dan sekarang gue kena hukum!" Kedua alis Raya saling bertaut. Angkasa meneleponnya? "Jadi Tuan Tampan itu ... Lo?" tanya Raya hingga Angkasa meremas rambutnya. "Iya, itu gue! Gue diem-diem buka HP lo dan simpen nomor gue. Kalo gue minta ke lo pas lo sadar, gue yakin kepala gue pasti udah benjol-benjol duluan bahkan sebelum gue ngomong! Kenapa? Mau marah? Sini, lemparin aja kerikil yang banyak! Biar lo puas sekalian!" "Lo mau gue pukul pake tiang bendera?" tanya Raya dengan wajah datarnya hingga Angkasa mendadak bungkam. "Siapa suruh lo kasih nama kayak gitu. Gue kan gak tahu. Lagian sekarang lo udah dihukum. Jadi gue harus gimana?" ucap Raya. "Gue harus ke kelas, masih ada jam." Raya melangkahkan kakinya meninggalkan Angkasa yang masih berdiri di sana. "Woi!" Angkasa mengacak rambutnya. ? "Aku tidak peduli. Bagaimana pun caranya, kalian harus rebut kembali benda itu. Sudah kubilang singkirkan saja anak itu! Aku hanya membutuhkan map yang dia ambil, kalau tidak semuanya akan berantakan!" Rahang Anthony mengeras ketika menutup sambungan telepon. Ucapan Raya tempo hari benar-benar menghancurkan kinerja otaknya. Bagaimana pun, dia harus bisa merebut kembali map yang sudah Raya ambil darinya. "Berani sekali dia menyalahkan aku atas kematian Rama. Dialah yang membawa kesialan. Kalau saja waktu itu Rama tidak memohon, aku pasti tidak akan membawanya." "Papa kenapa?" Anthony sontak membalikkan badannya dan mendapati Kayla yang entah sejak kapan sudah berdiri tidak jauh di belakangnya. "Sejak kapan kamu di situ?" tanya Anthony dengan nada kurang bersahabat. "Belum lama. Tadi—" "Apa selama ini Papa gak pernah ngajarin sopan santun? Harusnya kamu ketuk pintunya!" Kayla tersentak. Gadis itu lalu menunduk dengan jemari yang saling bertaut. "Maaf, Pa. Tapi tadi aku udah ketuk pintunya dan Papa kayaknya enggak denger karena Papa lagi jawab telepon." "Kalau kamu tahu Papa lagi jawab telepon, kenapa kamu langsung nyelonong masuk? Siapa yang nyuruh kamu? Kamu bisa kan, tunggu Papa di luar?" ucap Anthony dengan kedua tangan yang sudah berada di pinggang. Pria itu lalu berjalan menuju mejanya dan segera mendudukkan dirinya di kursi. "Mau apa kamu ke sini? Papa lagi sibuk," lanjutnya seraya membuka beberapa dokumen. "Aku mau minta izin. Pulang sekolah nanti, aku ada tugas kelompok di—" "Cuma mau minta izin?" Anthony menatap Kayla hingga gadis itu kembali menundukkan kepala. "Kamu gak perlu repot-repot ngabisin tenaga buat ke sini. Kamu tinggal kirim pesan atau telepon Papa. Pergi aja, asal jangan pulang malam." Helaan napas terdengar dari mulut Anthony yang kini sudah sibuk dengan pulpen dan lembaran kertas. "Pa," panggil Kayla pelan namun hanya dibalas gumaman oleh papanya. Gadis itu menarik napas dan mencoba menatap Anthony. "Rama itu ... Siapa?" tanyanya membuat aktifitas Anthony terhenti. Raut wajah pria itu seketika berubah. "Kenapa kamu menanyakan itu?" "Itu ... Tadi aku gak sengaja denger obrolan Papa. Dia siapa, Pa?" "Kamu gak perlu tahu. Bukan urusan kamu. Sana pergi, Papa sibuk." Anthony melirik sekilas Kayla yang seperti hendak membuka suara, namun gadis itu mau tidak mau harus menelan segala pertanyaan yang ada di kepalanya dan pergi keluar. "Jangan sampai Kayla tahu semuanya. Apalagi kalau dia sampai tahu kalau Raya itu anakku." Anthony meletakkan pulpen di tangannya dan mengusap wajahnya kasar. Sementara itu Kayla menutup pintu ruangan Anthony dengan wajah muram. "Pasti ada sesuatu yang Papa sembunyikan tentang orang bernama Rama itu. Sebenarnya siapa dia?" Saat Kayla hendak pergi, dia tidak sengaja melihat Raya yang entah kenapa seperti menatap padanya dari kejauhan sebelum akhirnya gadis itu pergi, membuat kening Kayla mengerut. Kenapa Raya selalu natap aku dengan tatapan seperti itu? Entah kenapa Kayla merasa kalau tatapan Raya padanya terasa berbeda. Tak ada sepatah kata pun yang keluar, namun Kayla merasa seperti ada sesuatu yang menyesaki dadanya. Dia merasa kalau Raya— membencinya. Entah kenapa. ? Koridor yang semula sepi kini berubah menjadi begitu ramai ketika seluruh murid keluar dari kelas tidak lama setelah jam terakhir selesai. Seketika suasana berubah menjadi gaduh, terutama saat ada beberapa murid yang berlarian. "Kay, aku duluan ya. Nanti kumpul di rumahku," ucap seorang siswi yang memberhentikan motornya di depan Kayla. Kayla tersenyum dan mengangguk. "Iya. Aku juga sekalian nunggu yang lain." "Oke deh. Bye!" Kayla menoleh ke arah parkiran ketika rekannya belum juga keluar. Situasi yang ramai pasti membuat rekannya mengantri untuk bisa mengeluarkan motornya. Bersamaan dengan itu, tanpa sengaja kedua matanya bertatapan dengan Raya yang tengah bersama dengan Angkasa. Lelaki itu terlihat mengoceh, namun Raya sama sekali tidak menanggapinya. Tatapan itu lagi, batinnya. "Heh, lo dengerin gue gak?" Angkasa menyikut lengan Raya pelan hingga gadis itu mau tidak mau bergumam sebagai jawaban, meskipun dia sebenarnya tidak mendengarkan sama sekali. Kedua matanya masih menatap Kayla yang juga tengah menatapnya dari gerbang. "Gue ngambil motor dulu. Lo tunggu di gerbang. Jangan kabur! Awas lo, pokoknya kalau sampai gue besok kena hukuman lagi, jangan harap lo bisa pulang dengan selamat!" ancam Angkasa, yang lagi-lagi diabaikan oleh Raya. "Awasss!!" Tiba-tiba seseorang berseru. Kayla mengalihkan pandangannya dan kedua matanya terbelalak begitu menyadari sebuah motor melaju cepat dari parkiran menuju ke arahnya. Gadis itu berusaha menghindar, namun dia sepertinya terlalu lamban. Sampai akhirnya dia merasa seseorang mendorongnya cukup keras dan berakhir tersungkur ke permukaan tanah. Beberapa murid di sana langsung berlari menghampiri. Kayla meringis ketika menyadari sikunya tergores. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat Raya yang tergeletak tepat di sebelahnya. "Raya!" Lalu gadis itu melihat Angkasa yang berlari ke arahnya dengan cepat. "Lo gak apa-apa?" tanya Angkasa membantu Raya berdiri. Lelaki itu lalu berjalan menuju si pengendara motor yang kini berlari kembali begitu menyadari kalau dia sudah menabrak orang. "Lo gak tahu ini di sekolah? Lo harusnya lebih hati-hati! Ini bukan arena balapan!" Angkasa mendorong bahu siswa itu dengan emosi yang sudah memuncak. Beberapa orang kini berusaha menahan Angkasa agar tidak terjadi perkelahian. Sementara siswa yang tadi menabrak Kayla dan Raya itu hanya menggumamkan permintaan maaf dengan raut wajah menyesal. "Ada apa ini?!" Semua orang langsung menatap ke arah Anthony. Rahang pria itu langsung mengeras begitu menyadari kalau Raya juga ada di sana, tepatnya di sebelah Kayla. "Apa yang kamu lakukan pada anak saya?!" bentaknya hingga semua orang terkejut. "Pa, Raya yang nolongin aku," ucap Kayla. "Aku yakin kalau kamu berusaha bikin anak saya celaka." Raya terhenyak. Dia menatap Anthony dengan penuh kebencian. Tangannya mengepal. "Berani sekali kamu menatap saya seperti itu! Awas saja, jika kamu berani berbuat masalah lagi, jangan harap kamu bisa bertahan lama di sini!" "Pa, tapi Raya gak salah. Dia—" "Diam! Sudah Papa bilang agar kamu tidak berdekatan sama dia!" Anthony memotong ucapan Kayla dan langsung memapahnya agar menjauh dari sana. Dan pemandangan itu disaksikan dengan jelas oleh Angkasa. Kedua tangannya mengepal. Dia langsung menepis tangan beberapa orang yang masih memeganginya. Kini kakinya segera bergerak maju, namun berhenti ketika Raya menahannya. "Cukup, Sa." Angkasa mati-matian menahan diri agar dirinya tidak berlari dan menghajar kepala sekolahnya. Bersamaan dengan itu, dia merasa tangan Raya sedikit bergetar. Angkasa tahu, sangat tahu apa yang dirasakan Raya saat ini. Dan Angkasa membencinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN