24. Sandaran

1304 Kata
Raya mengangkat wajah ketika sebuah tangan menyodorkan sebungkus roti padanya. "Nih," ucap orang itu lalu membuang muka— menghindari tatapannya. "B-buat lo." Ditatapnya bungkusan roti itu tanpa minat sama sekali. Menyadari tak ada reaksi, Angkasa kembali menatap Raya. "Woi! Pegel nih. Yaelah." Angkasa langsung menaruh roti itu ke tangan Raya tanpa persetujuan cewek itu. Dia lalu duduk di sebelah Raya dengan mulut yang sibuk mengunyah roti miliknya sendiri. "Kenapa sih? Masih soal hukuman tadi? Kan gue udah minta maaf," ucap Angkasa seraya menatap daun-daun beringin yang berserakan di sekitarnya. Dia lalu menoleh ke arah Raya yang masih saja bungkam, menatap roti yang dia berikan. "Kenapa? Rotinya aneh? Lo takut gue racun? Tenang, rotinya belom kadaluarsa kok." Angkasa berucap dan kembali memakan roti miliknya. "Gue alergi kacang." Kunyahan Angkasa terhenti. Dia sontak menatap roti milik Raya. "Eh? Yah ... Gimana dong?" Angkasa menatap roti di tangannya. "Punya gue rasa blueberry sih. Tapi kan udah gue gigit. Ntar lo alergi juga. Mau gue beliin lagi?" "Nggak usah." "Beneran? Emangnya lo gak laper?" tanya cowok itu. "Lo pasti capek. Tadi pagi kan kena hukum Pak Agung, abis itu balik ke kelas, terus sekarang istirahat—" Angkasa menggantungkan kalimatnya lalu menatap Raya. Cewek itu menunduk. Benar juga, di saat murid-murid yang lain beramai-ramai datang ke kantin, makan bersama sembari sesekali bercanda, Raya justru sebaliknya. Ketika dia datang, berbagai tatapan seolah menghunusnya saat itu juga. Bisikan-bisikan kecil itu sudah pasti melukai telinganya. "Lo gak perlu mikirin soal gue. Lo habisin aja makanan lo," ucap Raya tanpa mengalihkan pandangannya. Cewek itu kemudian beranjak dari posisinya dan pergi meninggalkan Angkasa. "Eh, woi!" Angkasa berusaha mengejar Raya namun dia urungkan. Cowok itu menoleh pada sebungkus roti yang juga ditinggalkan oleh Raya. "Kayaknya gue salah mulu di mata dia." Angkasa menggaruk lehernya yang tidak gatal. Dia lalu berbalik, menatap pohon besar di belakangnya. "Di saat orang-orang jauhin tempat ini karena takut, dia malah pake tempat ini buat menyendiri." Dia ingat saat pertama kali dirinya bertemu dengan Raya di sana. "Sesepi itukah hidup lo?" Angkasa membuang napas. Cowok itu menatap sejenak roti yang tadi diberikannya pada Raya sebelum kembali mengambilnya. "Gue alergi kacang." Angkasa tertawa pelan. "Kacang? Lo tuh alergi sama manusia, bukan cuma sama kacang." ? "Jangan sampai ada yang terlewat. Pastikan semuanya sudah disalin dan diganti." Sambungan telepon ditutup dan Anthony memasukkan ponselnya ke dalam kantung jas. Pria itu keluar dari ruangannya dan berjalan menuju parkiran khusus guru, tepatnya menuju mobilnya. Diambilnya sebuah map berwarna cokelat dari kursi belakang. Dia menyeringai tipis. "Sebentar lagi," gumamnya. Dia bergegas kembali ke ruangannya namun nahasnya pria itu harus berpapasan dengan orang yang paling tidak ingin dia lihat ketika dirinya melewati koridor. Langkah Anthony sempat terhenti selama beberapa saat, sebelum akhirnya pria itu berdehem dan melanjutkan langkahnya. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Namun sebelum dia benar-benar pergi, sebuah tangan menahannya hingga kakinya kembali berhenti. "Apa yang sudah Papa lakukan?" Anthony membuang napasnya kasar dan menatap Raya. Pria itu menatap tangan Raya yang masih mencekal lengannya. "Papa kamu bilang? Siapa yang baru saja kamu panggil Papa?" Beruntung koridor saat itu sedang sepi hingga tidak ada yang melihat mereka berdua. "Aku tahu Papa sudah melakukan sesuatu. Apapun itu, hentikan. Aku melihat Papa—" "Berhentilah menyebutku Papa! Aku bukan lagi ayahmu, dan jauhkan tangan kotormu dariku!" Anthony menarik lengannya hingga tangan Raya terlepas. Gadis itu terdiam, antara terkejut dan tidak percaya dengan kalimat yang dilontarkannya barusan. "Bukankah bel sudah berbunyi? Kamu seharusnya berada di kelas. Setidaknya belajar yang benar, dan buktikan kalau kamu pantas berada di sini." Setelah mengatakan itu, Anthony pergi. Raya menatap punggung Anthony yang menjauhinya. Kedua matanya memerah, dan tangannya mengepal. Dia menatap sebuah map yang berada di genggaman Anthony. "Kemarilah ... " Hap! Dalam waktu kurang dari satu detik benda itu sudah berpindah ke tangannya. Anthony yang menyadari itu pun langsung melihat tangannya yang sudah kosong. Map yang tadi dibawanya tiba-tiba raib. Wajahnya seketika berubah menjadi panik. Rahangnya mengeras dan dia langsung membalikkan badannya ke belakang namun dia tidak mendapati siapa pun. Raya berhasil kabur membawa map itu. "Gadis itu!" Dengan emosi yang sudah tersulut, Anthony melangkahkan kakinya menuju ruangan dan mengunci pintunya rapat-rapat. Dia mengeluarkan kembali ponselnya dan mencari kontak seseorang. "Aku ada tugas untukmu." ? Satu per satu murid mulai meninggalkan kelas setelah mengucapkan salam kepada guru. Hingga kelas benar-benar kosong, dan hanya Raya yang tersisa di sana. Dia memperhatikan setiap sudut kelas, memastikan tidak ada lagi murid yang masih berada di sana. Perlahan kedua tangannya menarik sesuatu dari dalam kolong meja. Map cokelat yang berhasil dia ambil dari tangan Anthony perlahan dia buka. Beberapa lembar kertas berhasil Raya keluarkan. Keningnya berkerut, mencoba mencerna setiap kata yang dia baca. Ya Tuhan, i-ini— Kedua matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Woi! Gak ada niatan buat balik lo? Mau nginep di sini?" Raya dengan cepat menoleh ke arah pintu dan mendapati Angkasa di sana. Cewek itu langsung memasukkan kembali kertas tadi ke dalam map dan memasukkannya ke dalam tas. "Baca apaan lo? Panik amat." Raya segera memakai tasnya dan beranjak dari bangku tanpa berniat menjawab ucapan Angkasa. Sementara cowok itu menatap Raya bingung. Dia tidak sengaja lewat dan melihat Raya sendiri di dalam kelas. "Dasar aneh." Angkasa mengeluarkan sebuah kunci dari saku celana dan berjalan menuju parkiran. Sementara Raya berjalan lurus menuju gerbang. "Pokoknya kalian harus merebutnya. Kalau perlu singkirkan dia!" Langkah Angkasa mendadak terhenti ketika mendengar suara seseorang. Ketika dia hendak mencari sumber suara, tiba-tiba Anthony muncul dari balik salah satu mobil dan pria itu terlihat terkejut saat melihatnya "S-sore, Pak," sapa Angkasa. Anthony hanya membalasnya dengan senyuman tipis dan langsung pergi menuju mobilnya. Angkasa bisa melihat di sana sudah ada Kayla yang menunggu di dalam mobil. "Bapak sama anak kelakuannya sama-sama aneh." Angkasa menggelengkan kepala merasa tidak mengerti dengan hubungan ayah dan anak itu. Dia segera memakai helm dan menaiki motornya. Tapi tunggu! Merebut? Singkirkan? Angkasa langsung menoleh ke arah mobil Anthony yang sudah melaju keluar dari parkiran. "Gue rasa ada yang aneh." Dihidupkannya mesin motor dan cowok itu langsung melajukan motornya keluar area sekolah. Harusnya yang ada di mobil itu Raya, bukannya Kayla. Angkasa mengerjap dan tersadar dari pikirannya. "Gue mikir apaan sih? Ya bodo amatlah. Bukan urusan gue juga!" ucapnya sewot sendiri. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja dia melihat Raya yang baru saja turun dari angkot. Cewek itu terlihat berjalan kaki menyusuri trotoar. "Kok dia turun di sini? Bukannya rumahnya masih jauh, ya?" Angkasa diam-diam mengikuti Raya dari belakang, jauh beberapa meter. Ketika dia hendak mempercepat motornya, sebuah motor lain tampak melaju mendahuluinya dari arah belakang. Dua orang yang menaiki motor itu mengenakan helm full face berwarna hitam. Anehnya, laju motor itu tampak melambat ketika berada di belakang Raya. Angkasa merasa ada yang aneh, hingga dilihatnya motor itu tiba-tiba oleng dan mendadak berhenti hingga kedua orang yang menaikinya langsung terjatuh ke permukaan aspal. "Woi!" Angkasa langsung mempercepat laju motornya begitu melihat Raya berlari. Salah satu dari orang itu tampak berusaha mengejarnya. "Cepet naik!" titah Angkasa cepat. Cowok itu menoleh ke belakang dan melihat salah satu dari pria tadi masih berusaha mengejar. Dengan napas tersengal dan wajah yang memucat, Raya langsung naik ke atas motor milik Angkasa dan mereka berhasil pergi. Entah sadar atau tidak, kedua tangan Raya memeluk pinggang Angkasa dengan begitu erat. Jika dalam situasi biasa, Angkasa pasti sudah mengeluarkan kalimat-kalimat menyebalkan. Namun kali ini dia bungkam, terlebih ketika menyadari kalau kedua tangan Raya yang memeluknya itu bergetar. Angkasa melirik ke arah spion dan melihat Raya yang masih berusaha menetralkan napasnya. Setelah dirasa cukup jauh dan aman, Angkasa memberhentikan motornya di tepi jalan. "M-maaf." Raya baru saja hendak melepaskan tangannya namun Angkasa dengan cepat menahannya. "Kalo ini bisa bikin lo tenang, gue gak masalah. Gue emang gak pernah bisa bantu lo, tapi kalau lo butuh sandaran, gue siap ada buat lo." Di detik itu, kedua tangan Raya semakin erat memeluk Angkasa. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN