Angkasa menaruh kotak obat di salah satu laci begitu selesai menggunakannya. Lelaki itu lalu menatap Raya yang duduk di pinggiran ranjang. Gadis itu sedari tadi belum mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan ketika Angkasa membantunya mengoleskan anti septik pun, Raya sama sekali tidak menunjukkan raut wajah kesakitan. Bahkan kedua matanya tidak menyipit sama sekali.
"Ra," panggil Angkasa pelan.
"Kita pulang." Raya langsung berujar dan turun dari ranjang. Angkasa yang melihat itu langsung membantu Raya agar tidak terjatuh.
"Lo baik-baik aja?" tanya lelaki itu seraya memapah Raya.
"Hm."
Angkasa melirik ke arah kaki Raya yang dibalut perban. Kasihan, bahkan luka di kaki gadis itu baru saja mengering. Namun harus kembali terbuka karena insiden tadi.
"Kenapa sih, lo tadi diem aja? Lo harusnya bisa jelasin, kalo tadi lo bener-bener niat nolongin Kayla."
"Percuma." Raya menghela napasnya sebelum kembali melanjutkan, "gue akan selalu terlihat salah."
Bibir Angkasa mendadak bungkam. Jika biasanya dia akan mengomeli Raya dengan berbagai kalimat menyebalkan, namun kali ini tidak. Suasana hati Raya benar-benar sedang tidak bagus. Bagaimana tidak, gadis itu secara blak-blakan dibentak dan dipermalukan di depan banyak orang oleh Anthony yang merupakan ayah kandungnya sendiri. Sementara Kayla, yang hanya anak tiri selalu dibela setengah mati.
"Lo tunggu di sini, gue ngambil motor dulu."
Raya tidak menjawab, tidak pula mengangguk atau menggelengkan kepala. Gadis itu menatap punggung Angkasa yang menjauh.
Gue udah bilang sama lo supaya lo ngejauh, Sa. Lo gak akan pernah aman selama bersama gue, batin Raya.
Tidak lama kemudian Angkasa kembali dengan motornya. Suasana sekolah yang sepi memudahkannya mengeluarkan motor dari parkiran.
"Nih."
Raya menatap sebuah helm yang disodorkan Angkasa.
"Lo aja yang pake," lanjut Angkasa seakan bisa menebak isi kepala Raya. Namun gadis itu masih bergeming. Gemas sendiri, akhirnya Angkasa sendiri yang memakaikan helm full face miliknya di kepala Raya.
"Kelamaan lo. Keburu sore nih. Buruan naik, gak usah bengong. Gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa, apalagi lagi sakit begini."
Tanpa mengucapkan apa-apa, Raya segera naik ke motor milik Angkasa. Lelaki itu hendak menarik gas namun segera dihentikannya ketika menyadari sesuatu.
"Pegangan," ucapnya kemudian. Lewat kaca spion dia bisa melihat Raya yang juga tengah menatapnya. "Gue nyuruh lo pegangan, bukan natap gue. Gue tahu kok kalo gue ganteng." Angkasa langsung menarik kedua tangan Raya agar melingkari pinggangnya, membuat tubuh Raya tersentak pelan.
Perlahan motor Angkasa melaju keluar area sekolah. Hari sudah semakin sore, seharusnya dia sudah pulang dari tadi.
"Lo gak pengin kayak di adegan film, gitu? Si cewek rentangin kedua tangan pas dibonceng sama cowoknya." Angkasa terkekeh geli, membayangkan bagaimana jika Raya benar-benar melakukan hal semacam itu.
"Lo tadi nyuruh gue pegangan. Dan ... Lagipula lo bukan cowok gue."
Bibir Angkasa langsung mengatup rapat. "Ya ... Maksud gue kalo dibonceng sama cowok. Temen, pacar, atau siapa gitu."
Lagi-lagi ngelamun, batin Angkasa begitu melihat Raya lewat spion. Lelaki itu kembali memfokuskan pandangannya ke jalan.
"Sa," panggil Raya.
"Hm?"
"Bisa antar gue?"
Kedua alis Angkasa bertaut. "Ke mana? Udah sore. Ntar nyokap lo khawatir lagi."
"Please, Sa." Kini Raya berujar dengan lirih. Angkasa kembali menatap spion.
"Ya udah. Lo mau ke mana?"
Raya segera mengatakan tempat yang ingin dia datangi.
?
Kayla meringis begitu dirinya hendak mengerjakan tugas. Salah satu sikunya yang terluka tanpa sengaja bergesekan dengan permukaan meja hingga terasa perih. Gadis itu meletakkan kembali pulpennya dan memperhatikan sikunya yang diplester. Terlihat ada bekas kemerahan di bagian yang tidak tertutup.
"Kenapa Papa selalu bersikap seakan-akan membenci Raya? Kenapa Papa selalu nyuruh aku buat jauhin Raya? Sementara ketika Papa lihat aku sama temen cowok, Papa diem aja." Kayla menatap sebuah frame foto keluarga di salah satu dinding kamarnya.
Ponselnya bergetar di saat yang bersamaan. Kayla lalu mengambil benda tipis itu. "Halo?"
"Kay, gimana? Gue denger dari yang lain katanya lo tadi keserempet motor waktu di sekolah. Lo gak apa-apa?" tanya temannya di seberang sana.
"Cuma lecet kok. Tapi Papa jadi gak izinin gue ke rumah lo. Jadi kayaknya gue gak bisa ke sana."
"Ya udah, gak apa-apa. Ntar gue sisain bagian lo. Gue sekarang mau lanjut ngerjain tugasnya."
"Iya, sorry banget ya."
Panggilan pun ditutup tidak lama setelahnya. Kayla menatap buku-buku miliknya sejenak lalu beranjak dari kursi. Gadis itu pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.
"Kay, mau makan dulu?" tanya mamanya begitu dia tiba di dapur.
Pandangan Kayla kini justru tertuju pada Anthony yang tengah meminum teh di sana.
"Kenapa kamu tatap Papa begitu?" tanya pria itu. "Kalau kamu mau minta izin ke rumah temenmu itu, Papa gak kasih izin. Suruh saja mereka yang ke sini.
"Pa," panggil Kayla. Gadis itu menarik napas dalam sebelum kembali berucap, "kenapa Papa selalu larang aku buat deket sama Raya?"
"Dia itu berbahaya. Dia bukan anak baik-baik."
"Dari mana Papa tahu? Memangnya Papa kenal dengan Raya?" pancing Kayla. Anthony yang semula menatap koran di tangannya kini beralih menatap gadis itu.
"Sejak kapan kamu berani bicara sama Papa dengan nada seperti itu? Lihat? Kamu sudah terlalu dekat sama Raya sampai kamu jadi nggak sopan begini," ucap Anthony. Sang istri yang tidak tahu-menahu tentang topik pembicaraan pun hanya menatap sang suami dan putrinya bergantian.
"Kamu itu dibilangin susah. Raya itu gak pantes temenan sama kamu. Lagi pula di sekolah masih banyak murid lain, kenapa kamu justru malah mendekati Raya di saat yang lain jauhin dia?"
"Justru itu, Pa. Raya gak punya teman sama sekali. Aku—"
"Bukankah itu bagus? Mereka saja tahu mana yang baik dan enggak. Bukankah kamu tahu sendiri kalau tadi gadis itu berusaha celakain kamu?"
"A-apa? Pa, tadi Raya yang nolongin aku! Tadi ada motor yang—"
"Kamu gak usah bela dia. Sudah jelas kalau dia yang sudah bikin kamu celaka." Anthony memotong ucapan Kayla dan meletakkan koran di tangannya.
"Ma, ada apa ini?" Seorang anak perempuan berumur enam tahun menghampiri.
"Tasya, main dulu di luar yuk, sama Mama." Sang mama langsung mengajak putri bungsunya ke luar rumah. Jangan sampai dia melihat pertengkaran kakak dan papanya.
"Papa bahkan gak kasih aku kesempatan buat bicara. Raya itu gak seburuk yang Papa pikirkan. Dia gadis baik-baik, Pa."
"Berhenti belain dia. Sebaiknya kamu pergi saja dan kerjakan tugas kamu."
Salah satu tangan Kayla mengepal. "Kepala sekolah mana yang diam saja ketika ada salah satu anak didiknya yang diasingkan oleh orang-orang? Kepala sekolah macam apa Papa ini!"
Anthony langsung meremas koran di tangannya dan melemparnya ke lantai. "Jaga mulut kamu!" Pria itu lalu beranjak dari kursi.
"Papa gak tahu apa-apa soal Raya!"
"Kamu yang gak tahu apa-apa!" Anthony menatap tajam putrinya, "dan jangan pernah sebut nama itu lagi di hadapan Papa!" Anthony lalu pergi meninggalkan Kayla yang masih berada di sana.
?
Raya turun dari motor milik Angkasa dan melepas helm yang dipakainya. Sebuket mawar putih terlihat berada di salah tangannya. Setelah tadi dia pergi berkunjung ke makam Rama untuk meletakkan bunga, gadis itu juga membelikan sebuket bunga untuk mamanya.
"Makasih," ucap Raya. Angkasa mengangguk seraya mengenakan helm. Begitu Raya hendak masuk, suara Angkasa kembali memanggilnya hingga gadis itu mau tidak mau berbalik.
"Kenapa?" tanya Raya begitu melihat Angkasa menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Gue lupa," ucap lelaki itu.
"Lupa apa?"
"Gue mau minta lo buat bantuin gue ngerjain tugas Fisika, makanya gue minta lo pulang bareng gue. Ish, b**o banget!"
"Udah sore. Minta bantu ke temen lo aja."
"Ehh ... Enggak bisa gitu lah! Mumpung gue di sini. Lo bantuin gue, ya?"
"Tapi—"
Percuma. Angkasa dengan seenaknya menyerobot masuk ke halaman rumah milik Raya dan memarkirkan motornya di sana.
"Buruan. Udah sore nih!" ucap Angkasa begitu melepaskan helm. Raya yang melihat itu pun hanya membuang napas. Dia dan Angkasa segera masuk ke rumah.
"Ra, kok pulangnya— eh? Ada Angkasa juga ternyata." Yuli tersenyum dan segera menghampiri kedua remaja itu. Angkasa segera menyalami tangan Yuli.
"Maaf ganggu, Tante. Aku mau minta Raya bantuin aku ngerjain tugas." Angkasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Iya gak apa-apa. Gak usah sungkan," ucap Yuli. Kemudian matanya melihat sebuket mawar putih yang dipegang Raya.
"Ah, ini buat Mama. Tadi—"
"Makasih ya, Sa." Yuli segera menerima bunga itu, membuat kedua remaja di hadapannya terbengong-bengong.
"Ma, tapi itu aku yang beli. Tadi aku sekalian beli buat ke makam Rama." Raya segera meluruskan.
"Loh? Bukan dari Angkasa, ya? Kirain Mama, kamu dikasih bunga sama Angkasa. Ya udah deh, kalo gitu kalian kerjain tugas. Mama mau siapin camilan buat kalian," ucap Yuli. Wanita itu pergi menuju dapur dan sesekali memuji bunga di tangannya, meninggalkan Angkasa dan Raya yang kini saling berpandangan.