Raya menatap Gavin datar ketika lelaki itu dengan santai mengajaknya berbicara di koridor tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang menatapnya.
"Lo gak apa-apa? Gue denger katanya lo sakit perut gara-gara dikerjain anak-anak PMR," ucap Gavin.
"Gue udah baikan." Kedua mata Raya sedikit menyipit. "Lo tahu dari mana mereka ngerjain gue?"
Gavin melipat kedua tangannya di d**a. "Temen lo yang waktu itu masuk ruang OSIS seenaknya. Yang banyak ngomong itu."
Kedua alis Raya bertaut. Temen?
"Maksud lo Angkasa?"
"Mungkin." Gavin mengangkat kedua bahunya.
"Tapi dia bukan-"
"Gue ke ruang OSIS dulu. Kalo ada yang bikin ulah lagi sama lo, jangan segan buat lapor ke gue. Oke, Cantik?" Gavin mengedipkan matanya sebelum berlalu begitu saja. Sementara Raya hanya menatap kepergian Gavin dengan ekspresi datar. Benar dugaannya, ternyata memang Angkasa yang melaporkannya. Tapi kenapa?
"Lo bisa keluar sekarang," ucap Raya membuang napas pelan. Tidak jauh di belakangnya, sesosok murid laki-laki muncul dari balik salah satu pilar. Dia menggaruk tengkuknya dan berjalan ke arah Raya dengan kikuk, merasa tertangkap basah.
"Hehe. Tahu aja lo."
Raya melirik Angkasa yang tengah cengengesan. "Maksud lo apa?"
Kedua mata Angkasa mengerjap. "Hah? Apaan? Gue tuh gak bermaksud nguping obrolan kalian. Gue cuma-"
"Bukan itu maksud gue." Raya langsung membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Angkasa. "Maksud lo apa laporin mereka segala sama Ketua OSIS?"
"Lho, kenapa emang? Bukannya itu bagus ya? Biar mereka gak bisa ngerjain lo lagi."
"Gue gak butuh bantuan lo. Sebaiknya lo urus masalah lo sendiri. Gue tahu lo lakuin ini cuma gara-gara masalah kemarin. Inget, Angkasa. Gue gak pernah minta dikasihani sama siapa pun. Termasuk lo. Dan gue minta, segala hal yang lo lihat di rumah gue kemarin jangan sampai ke telinga anak-anak di sini." Raya langsung pergi setelah mengatakannya.
Tidak puas dengan reaksi Raya, Angkasa pun mengikuti langkah gadis itu. "Ya elah .... Udah gue bantuin juga. Lo gak ada niatan ngucapin makasih, gitu? Susah-susah gue bantu, sampe nganter lo pulang juga."
Langkah Raya tiba-tiba berhenti, membuat Angkasa yang berada tepat di belakangnya tanpa sengaja menubruk punggung gadis itu sehingga bibirnya lagi-lagi bersentuhan dengan rambut Raya. Kedua mata Angkasa memelotot.
"Astagfirullah, bibir suci gue!"
Ini sudah ke dua kalinya Angkasa mencium rambut Raya karena pergerakan mendadak gadis itu. Lelaki itu sontak langsung mengusap-ngusap bibirnya, seolah-olah ada kotoran yang menempel di sana. Sementara Raya yang bersikap biasa itu pun membalikkan badan menghadap Angkasa.
Dengan jarak sedekat itu, kedua matanya bertubrukan langsung dengan pandangan Angkasa.
"Lo gak inget sama misi lo?" Pertanyaan Raya membuat Angkasa menaikkan sebelah alisnya.
"Misi?"
"Lo bilang lo gak mau ketemu gue lagi kan? Gue itu penghuni pohon beringin, tinggal di gudang, lo ngira gue hantu, dan itu gak cuma sekali. Tapi sekarang apa? Sadar, Sa. Lo gak seharusnya lakuin ini. Urus aja kehidupan lo sendiri."
Angkasa langsung mencekal pergelangan tangan Raya ketika gadis itu hendak pergi. Raya mencoba melepaskan tangannya, namun tidak berhasil.
"Lo gak kasihan sama kembaran lo?"
Kedua alis Raya bertaut. Kenapa tiba-tiba membahas itu?
"Mungkin aja sekarang dia gak tenang karena sikap lo yang dingin sama semua orang. Tanpa lo sadari, Rama mungkin nangis di sana lihat lo begini! Dia gak bahagia!"
"Gue gak ngerti apa yang lo omongin. Sekarang lepas-"
"Lo bisa ngelawan mereka! Gue udah bilang sama lo, ubah perangai lo. Lo terlalu dingin sama semua orang. Kalo lo pengin lihat kembaran lo bahagia, lo juga harus bahagia! Lo harus-"
"GUE BILANG LEPAS!!"
Brukkk
Raya menahan napasnya ketika tubuh Angkasa terjerembab ke lantai. Orang-orang yang berada di sana kembali menatapnya. Mereka benar-benar menatap padanya. Kedua tangan Raya bergetar, kakinya perlahan bergerak mundur.
"Lo gak apa-apa?" Dua orang siswa membantu Angkasa berdiri. Lelaki itu meringis setelah punggungnya membentur lantai.
Pandangan Raya mengabur ketika sesuatu mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Kamu itu gak salah. Yang salah itu, kalau kekuatan kamu digunakan buat celakain orang."
Tangan Raya mengepal. Ucapan Rama kini sudah tidak berlaku lagi. Lihatlah, dia kini benar-benar sudah mencelakai seseorang. Raya langsung berlari dan pergi dari sana.
***
Gadis itu sedari tadi menangis sendirian di sana. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dengan bahu yang terus bergetar. Tidak peduli akan reaksi orang-orang di kelasnya yang mungkin akan bertanya-tanya ke mana dia pergi setelah istirahat ke dua hingga jam terakhir. Ya, Raya tidak peduli. Toh itu tidak akan terjadi. Mungkin saja mereka justru senang dengan ketidakhadirannya.
Beruntung karena taman belakang sekolah jarang dikunjungi oleh para murid. Selain karena tempatnya yang memang sudah tidak dipakai hingga tumbuh ilalang dan rumput liar, di sana juga tumbuh pohon beringin besar hingga sebagian orang selalu takut pergi ke sana.
Hari sudah sore, namun Raya belum juga beranjak dari sana. Gadis itu memainkan dedaunan yang berserakan di atas tanah. Terkadang dia membuat dedaunan itu melayang atau berputar membentuk seperti pusaran angin.
"Udah selesai nangisnya?"
Dedaunan itu kembali terjatuh ke permukaan tanah. Raya menoleh dan melihat Angkasa yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
"Betah banget ya, lo di sini. Lo gak takut sama hantu ya?"
"Sejak kapan lo di sini?" tanya Raya sesaat setelah mengusap air matanya dengan punggung tangan. Gadis itu berdiri dan membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Angkasa.
"Gue?" Angkasa menaruh telunjuknya di dagu dan memasang ekspresi layaknya tengah berpikir. "Sejak lo bolos pelajaran terakhir."
Raya mengernyit. Itu berarti, Angkasa melihat dirinya menangis.
"Lo gak ada niatan buat pulang?"
"Lo gak takut sama gue?" Kini giliran Angkasa yang dibuat bingung.
"Kenapa gue harus takut?"
"Gue udah celakain lo. Sebaiknya lo pergi karena gue bisa berbuat lebih dari yang tadi."
"Sekolah udah sepi dan di sini cuma ada lo. Gerbang juga bakalan ditutup satu jam lagi."
Angkasa tidak pernah menjawab ucapan Raya dan selalu saja mengalihkan pembicaraan.
"Gue gak peduli. Lo bisa pergi."
"Gue mungkin bisa pergi dari tadi kalau gue mau. Tapi gue gak bisa ninggalin cewek di sini sendirian. Apalagi cewek itu lagi nangis."
Raya terdiam. Dia tidak mengerti dengan Angkasa. Kenapa di saat orang lain menjauhinya, lelaki itu justru melakukan hal yang sebaliknya? Bahkan setelah Raya membuatnya terjatuh.
"Sekolah sepi dan gue bisa ngelakuin apapun. Sebaiknya lo pergi sebelum gue bener-bener melakukan hal itu sama lo."
"Karena itulah gue di sini."
Kedua alis Raya bertaut. Dia tengah menunggu kelanjutan ucapan Angkasa.
"Lo bilang lo bakal ngelakuin apapun, kan? Sekolah lagi sepi dan pikiran lo lagi kacau. Jadi gue ke sini, buat cegah lo ngelakuin hal-hal bodoh."
Raya memutar kedua matanya. Kini dia paham apa yang tengah Angkasa pikirkan. Lelaki itu pasti mengira kalau dirinya akan bunuh diri. Baiklah, Raya akui niat Angkasa memang baik. Tapi jalan pikiran Raya tidak sependek itu. Dia memang sering berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tapi selalu gagal karena dia teringat akan mamanya dan juga Rama. Raya mencintai mereka, meskipun pada kenyataannya Rama memang sudah pergi terlebih dahulu meninggalkannya.
"Oke. Sekarang gue pulang, dan lo bisa pergi sekarang juga. Gue harus—"
"Nih." Angkasa menyodorkan sebuah tas begitu Raya hampir melewatinya. Gadis itu terdiam, entah kenapa otaknya saat ini seperti berjalan begitu lamban dari biasanya. Dia juga tidak bisa menebak apa yang kini berada di pikiran Angkasa.
"Gue tadi ke kelas lo, dan gue lihat ini pas kelas lo udah kosong."
Perlahan Raya mengambil tas miliknya. Dia menatap Angkasa selama beberapa saat dan segera pergi begitu saja tanpa adanya ucapan terima kasih atau semacamnya, bahkan bahunya tanpa sengaja menubruk lengan Angkasa.
Angkasa menolehkan kepalanya ke belakang dan melihat Raya yang menjauh.
"Jadi, maaf ya kalo Raya suka bertingkah aneh di depan kamu. Mungkin setiap Raya lihat kamu, dia seperti lihat Rama karena wajah kalian yang mirip. Dulu Raya gak seperti sekarang. Dia dulu anak yang ceria, bahkan dia cerewet."
Angkasa tersenyum getir. "Lo beruntung punya kembaran seperti Raya, Ram."
—tbc