Angkasa mendudukkan tubuhnya di salah satu bangku di pinggir lapangan. Tangannya menerima dengan baik lemparan sebotol air yang diberikan Sam.
"Lo udah ngerjain tugas Fisika?" tanya Sam sesaat setelah meneguk air. Angkasa mengangguk, membuat Sam menatapnya tidak percaya. Bagaimana mungkin, seorang Angkasa Danial yang bermusuhan dengan Matematika, kini secara mengejutkan mengerjakan tugas Fisika. Dapat wangsit dari mana dia?
"Heh, lo gak usah bo—" ucapan Sam terhenti saat seseorang berjalan mendekati bangkunya dan Angkasa.
Angkasa menatap orang itu. "Ada perlu apa lo?"
"Ada yang pengen gue omongin sama lo," ucap Kayla. Gadis itu lalu menatap Sam yang duduk di sebelah Angkasa.
Mengerti dengan tatapan Kayla, Sam akhirnya membuka suara, "oke, oke, kalo gitu gue cabut duluan ke kelas." Lelaki itu langsung berjalan meninggalkan Angkasa dan Kayla.
"Boleh gue duduk di sini?"
Angkasa melirik ke sebelahnya yang kosong. "Duduk aja."
Mendapat izin, akhirnya Kayla duduk di sana.
"Lo udah baikan?" tanya Angkasa tanpa menolehkan kepalanya.
"Udah. Cuma lecet dikit kok."
"Udah bilang makasih ke Raya?" Pertanyaan Angkasa kali ini membuat bahu Kayla tersentak pelan.
"E-eh? Belum." Kayla menunduk.
"Buruan bilang. Kasihan dia, niat nolong malah kena fitnah bokap lo," sarkas Angkasa. "Gara-gara ucapan bokap lo kemarin, orang-orang jadi makin jauhin dia karena takut. Bokap lo harusnya marah ke orang yang hampir nabrak lo, bukannya marahin orang yang nolongin lo."
Kayla terdiam. Dia lalu menoleh pada Angkasa yang tengah menatap botol air di tangannya.
"Gue tahu kok Raya itu gak seburuk yang dikatakan orang-orang," ucap Kayla.
"Termasuk bokap lo," ralat Angkasa. Meskipun ragu, namun Kayla mengangguk. Dia tidak bisa mengelak kalau papanya juga termasuk salah satu orang yang menghindari Raya, bahkan sering menyuruhnya agar berjauhan dengan gadis itu.
"Papa emang sering nyuruh gue buat jauhin Raya. Padahal, setahu gue Raya itu murid baik-baik. Nilai-nilainya bagus, begitu pun dengan etikanya di mata semua guru. Dia juga berprestasi. Tapi entah kenapa Raya seakan selalu dicap buruk sama Papa. Kepala sekolah mana yang diem aja ketika ada salah satu muridnya yang dijauhi? Raya bahkan gak pernah menimbulkan masalah."
"Semua masalah yang dia terima, itu cuma fitnah. Padahal yang sebenarnya, dia itu mau nolong. Niat dia baik, tapi orang-orang justru mengira sebaliknya. Dan kejadian kemarin contohnya," lanjut Angkasa.
"Gue cuma mau temenan sama dia. Entah kenapa gue ngerasa kalau Raya selalu natap gue beda. Kayak ada yang dia sembunyikan, tapi gak mau dia tunjukkan. Gue ngerasa ... Kalau dia benci sama gue. Dia selalu ngejauh tiap kali kita ketemu."
Dan bokap lo yang udah bikin dia jadi seperti sekarang, batin Angkasa.
"Tapi kalau sama lo, dia ... " Kayla menggantungkan ucapannya dan menatap Angkasa.
"Sama aja kok. Gak jarang dia ngehindar." Angkasa meminum sisa air miliknya hingga habis.
"Lo sedekat apa sama Raya?" tanya Kayla. Beberapa kali melihat Angkasa bersama Raya membuatnya berasumsi bahwa mereka berdua memiliki hubungan tertentu. Apalagi Raya memang tidak pernah dekat dengan siapa pun di sekolah.
Lelaki itu terdiam. Dia menatap botol di tangannya lalu meremas benda itu secara tiba-tiba hingga menimbulkan bunyi nyaring.
"Gue sama Raya deket. Lebih deket dari bokap dia sendiri."
Kedua alis Kayla bertaut. "Maksudnya?"
Angkasa menatap Kayla selama beberapa saat sebelum akhirnya dia beranjak dari tempatnya. Lelaki itu melemparkan botol yang sudah tidak berbentuk itu ke sebuah tempat sampah.
?
Raya segera berpamitan setelah mengantarkan buku paket ke ruang guru. Gadis itu sudah terlampau biasa melakukannya. Membawa buku paket, sudah seperti rutinitas bagi Raya.
Nanti pulangnya beliin Mama blueberry, ya. Buat pesenan kue.
Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh mamanya. Padahal Raya ingin berjalan-jalan dulu saat pulang sekolah nanti, namun apa boleh buat. Lagi pula sudah beberapa hari terakhir dia pulang terlambat.
Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, Raya melanjutkan langkahnya ke kantin. Namun sesuatu menarik perhatian matanya hingga langkahnya berhenti.
Dia melihat Angkasa dan Kayla yang tengah mengobrol di lapangan. Namun belum juga satu menit, Raya sudah langsung membuang pandangannya dan kembali melangkah.
Setibanya di kantin, Raya langsung pergi memesan seporsi nasi goreng dan es teh.
"Gulanya sedikit ya, Bi," ucapnya. Setelah penjaga kantin itu merespon, Raya segera mancari meja kosong dan duduk di sana.
Meja kosong. Ya, dia mencari meja yang kosong, benar-benar kosong dan belum terisi satu orang pun. Tidak masalah makan sendiri, toh rasanya sama saja. Sembari menunggu pesanan, Raya mengeluarkan sebuah earphone dan ponsel. Dibanding mendengar kalimat menyebalkan orang-orang, gadis itu lebih memilih mendengarkan lagu di ponselnya.
Karena di kantin tidak terlalu ramai, jadi pesanannya datang tidak lama setelahnya. Raya tersenyum tipis dan menggumamkan terima kasih.
Baru saja dia mencapai suapan ke lima, matanya menangkap seseorang yang entah sejak kapan duduk di depannya. Dia terlihat sedang bersenandung, namun entah kenapa gerakan bibirnya terlihat pas dengan lirik lagu yang sedang Raya dengarkan. Raya hendak mengabaikannya, namun tanpa terduga ponselnya yang berada di atas meja langsung diambil alih dan lagu yang sedang dia dengarkan itu pun berhenti.
"Lo gak nanya kenapa gue bisa ngikutin lagu yang lagi lo dengerin?" tanya Angkasa. Namun Raya tidak merespon sama sekali, gadis itu kini malah melanjutkan kegiatannya tanpa melepas earphone yang masih terpasang di kedua sisi telinganya.
Angkasa membuang napas dan langsung berdiri melepas earphone milik Raya hingga gadis itu kini menatapnya tajam.
"Kalo ada yang ngajakin ngomong itu, dengerin. Dan kalo lagi makan itu, jangan sambil dengerin musik. Gak baik buat otak lo. Lagian emangnya telinga lo gak sakit? Lo set volumenya terlalu tinggi, bahkan gue aja yang ada di sini bisa denger dengan jelas."
"Hm," gumam Raya kembali menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Sesekali matanya melirik Angkasa yang tengah memakan sebungkus keripik singkong.
"Tadi lo ... Ngomongin apa sama Kayla?" tanya Raya pelan dengan kedua mata yang masih terfokus pada piringnya. Gerakan mulut Angkasa terhenti dan lelaki itu langsung menatapnya.
"Lo lihat?" tanyanya balik.
"Hm."
Sepotong keripik berhasil masuk ke dalam mulut Angkasa. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Momen langka di mana Raya mau bertanya, tidak dia sia-siakan begitu saja.
"Kenapa emangnya? Gue gak boleh deket-deket sama Kayla, ya?" godanya. Namun Raya hanya menatapnya datar. Gadis itu meminum es tehnya.
"Bukan itu jawabannya," ucap Raya. Seketika senyuman Angkasa luntur, menggoda Raya memang tidak pernah asyik. Di saat gadis lain merespon malu-malu, gugup, atau marah-marah, Raya justru malah memasang tampang datar yang selalu terlihat menyebalkan dan membosankan. Gadis itu seakan-akan bersikap tidak peduli.
"Bukan apa-apa kok. Toh lo kan bisa baca pikiran. Harusnya lo tahu dong apa yang gue sama Kayla omongin tadi."
"Gue cuma lihat sekilas."
Angkasa mencebikkan bibir. "Lo tuh emang gak punya sisi kepo, ya? Gue sama Kayla, ngomongin ... " Dia sengaja menggantungkan ucapannya hingga membuat Raya menatapnya dengan rasa penasaran."
"RAHASIA! HAHAHAHAHAHA." Angkasa lalu tertawa sendiri. Ekspresi penasaran Raya benar-benar terlihat berbeda dengan yang lain.
"Lo tadi ngomongin gue?"
Seringai langsung tercetak di bibir Angkasa. Kena, lo!
"Idih, pede banget lo! Kenapa sih? Cemburu liat gue sama cewek lain?" Angkasa tertawa puas melihat ekspresi Raya. Gadis itu seperti terkejut sekaligus bingung.
"Ekhem!"
Tawa Angkasa seketika terhenti. Dia dan Raya langsung menoleh pada Gavin yang tiba-tiba datang ke mejanya.
"Ngapain sih lo, Ketua OSIS hobi banget gangguin orang!" semprot Angkasa, membuat Gavin langsung memelotot padanya.
"Bawel lo! Gue tuh niat baik. Lo barusan dipanggil Pak Tomi ke ruang guru," ucap Gavin.
Salah satu alis Angkasa naik. "Ngapain dah? Perasaan gak ada PR matematika."
"Ya mana gue tahu. Udah, buruan sana. Ntar lo kena omel Pak Tomi," usir Gavin.
Angkasa menatap Gavin sebal dan langsung beranjak dari tempatnya. Lelaki itu langsung pergi ke ruang guru sesuai ucapan Gavin.
Gavin tersenyum menatap kepergian Angkasa. Dia langsung duduk di tempat Angkasa tadi.
"Lo bohong," ucap Raya hingga Gavin tertawa puas.
"Dia berisik. Gue gak betah kalo ada dia."
Sementara itu Angkasa kini masuk ke dalam ruang guru dan menghampiri meja Pak Tomi.
"Bapak manggil saya?" tanya Angkasa. Pak Tomi yang sedang memeriksa hasil ulangan langsung menatapnya dengan kening berkerut.
"Enggak. Kenapa saya harus manggil kamu?"
"Lah?" Angkasa kini terbengong-bengong sendiri.
"Bukannya kelas kamu hari ini gak ada jam Bapak? Mau apa kamu ke sini? Minta hukuman?"
Kedua mata Angkasa langsung membulat. Bisa gawat kalau Pak Tomi tiba-tiba mengamuk.
"Eh, enggak kok, Pak! Saya ke sini, soalnya tadi disuruh sama Gavin—"
Angkasa terdiam setelahnya. Kini dia sadar, dan dia merasa bodoh karena menurut begitu saja. Akhirnya Angkasa meminta maaf dan segera keluar.
"Ketua OSIS sialan!"
Di kantin, Gavin tertawa terpingkal-pingkal.
—tbc