32. Hilang kendali

1357 Kata
Raya menatap bungkusan berisi blueberry yang dipesan mamanya tadi. Gadis itu turun dari sebuah taksi dan melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya. Mobil itu ... Dengan tergesa Raya segera berlari ke dalam rumah. Betapa terkejutnya dia saat melihat rumahnya berantakan. Suara dua orang dewasa terdengar nyaring dari lantai dua, tepatnya dari arah kamarnya. Dan tidak lama setelah itu, Anthony turun dengan tangan membawa sebuah map berwarna coklat. "Jangan pernah lagi kamu mencampuri urusanku! Kamu bukan siapa-siapa! Ingat itu!" ucap Anthony tepat di hadapan Raya. Namun sebelum pria itu benar-benar berjalan melewatinya, Raya langsung menahan lengan Anthony. "Cukup, Pa." "Sudah kubilang jangan panggil aku Papa!" Anthony langsung mendorong tubuh Raya menjauh hingga gadis itu terjerembab ke lantai. "Raya!" Yuli segera berlari dan menghampiri Raya. Raya menatap map di tangan Anthony ketika pria itu hendak pergi. Kumohon, kemarilah ... Di detik berikutnya Anthony langsung membalikkan tubuhnya begitu menyadari map di tangannya hilang. Dia langsung menatap Raya nyalang. Bungkusan yang tadi dibawanya sampai terlempar jauh. "Kembalikan itu!" "Tidak! Sadar, Pa. Papa harus berubah!" ucap Raya. Dia mati-matian merengkuh map itu agar tidak kembali ke tangan Anthony. "DIAM!! AKU BUKANLAH PAPA KAMU!!" tunjuk Anthony tepat ke arah wajah Raya. Yuli langsung beralih berdiri ke hadapan Raya ketika Anthony mulai mendekat. "Keterlaluan, kamu! Dia anakmu! Anak kandungmu!" ucap Yuli dengan penuh penekanan. Kedua matanya memerah, menatap Anthony dengan begitu kecewa. "Tidak lagi! Dia hanya pembawa kesialan!" Cairan langsung jatuh dari ujung mata milik Raya saat itu juga. "Kamu ayahnya! Dia darah dagingmu sendiri!" "DIAM!!" Praanngg Anthony melemparkan sebuah vas bunga di dekatnya hingga Yuli menjerit. Anthony memajukan langkahnya dan menatap Yuli tajam. "Dengar baik-baik! Kalian berdua, bukanlah siapa-siapa lagi! Jadi berhentilah bersikap seakan-akan kalau kalian masih bagian dari kehidupanku!" Anthony langsung mendorong tubuh Yuli dan dia langsung berjongkok di hadapan Raya. "Mama!" "Jangan paksa aku agar melakukan hal yang lebih kasar dari ini." Anthony mencoba menarik map di tangan Raya namun tidak berhasil karena rupanya gadis itu memegangnya dengan begitu kuat. "Lepaskan!" titah Anthony. "Hentikan, Mas!" Yuli mencoba menjauhkan Anthony namun selalu gagal karena pria itu selalu mendorongnya. "Mama!" Raya langsung menatap Anthony. Dan Anthony langsung merebut map itu. "Seharusnya kalian lenyap dari muka bumi sejak dulu!" ucapnya dan bergegas pergi. Namun pintu tiba-tiba tertutup hingga menimbulkan suara nyaring, begitu pula dengan jendela-jendela yang ikut menutup. "Apa-apaan ini! Raya!" Tepat ketika Anthony berbalik, Raya dan Yuli secara bersamaan merebut map itu kembali. Raya mencoba menjauhkan Anthony, sementara Yuli menjauhkan map itu. "YULI!!" Raya langsung menahan lengan Anthony agar pria itu diam di tempatnya, namun sepertinya tenaga gadis itu sudah cukup terkuras hingga pada akhirnya dia terdorong kembali ke lantai dengan mudah. Yuli memekik begitu melihat putrinya yang hampir saja terbentur meja kaca di dekatnya. Wanita itu langsung menatap Anthony. Pintu dan jendela-jendela kembali terbuka seperti semula. "Apa kamu gak sadar, Mas? Selama ini aku sama Raya gak pernah mengusik kehidupan kamu, bahkan ketika kamu berada di lingkungan yang sama dengan Raya. Tapi apa? Kamu selalu berusaha menjatuhkan Raya. Kamu memberinya kalimat-kalimat menyakitkan. Dia anakmu!! Kamu pikir aku tidak tahu? Aku tahu semuanya!" Air mata Yuli sudah tidak bisa dibendung lagi. Wanita itu menarik napas dalam dan tertawa pelan, "hanya gara-gara benda ini, kamu bersikap seperti itu pada anakmu sendiri!" Kedua tangan Yuli bergerak cepat dan map itu langsung berubah menjadi dua bagian, lalu bertambah jadi empat bagian, dan seterusnya hingga tidak berbentuk lagi. "APA YANG KAMU LAKUKAN?!" Anthony langsung bergerak maju dengan kedua mata yang sudah berapi-api. Dia menatap Yuli dengan emosi penuh, tepat ketika Yuli melemparkan kertas-kertas di tangannya tepat di depan Anthony. Kedua mata Yuli memejam ketika salah satu tangan Anthony terangkat ke udara. Namun sebelum pria itu melayangkan tangannya, dia merasakan sesuatu menahannya. Dia langsung menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang entah sejak kapan sudah berada di sana. "Hentikan," ucap lelaki itu. "Bapak enggak seharusnya menyakiti wanita, apalagi mereka adalah keluarga Bapak sendiri." Yuli membuka kedua matanya dan melihat Angkasa yang menahan tangan Anthony. "Angkasa ... " "Berani sekali kamu ikut campur!" bentak Anthony. "Apa Bapak enggak sadar dengan apa yang Bapak lakukan? Bagaimana jika semua orang di sekolah melihat ini? Bapak adalah sosok yang disegani, dihormati oleh orang-orang. Namun apa jadinya jika mereka sampai tahu kalau Kepala Sekolah yang tercinta ini, dengan teganya mengasingkan mantan istri dan anak kandungnya sendiri." "Beraninya kamu menatap saya seperti itu!" ucap Anthony seraya menghempaskan kasar tangan Angkasa. "Apa Bapak tidak menyadari sesuatu ketika melihat wajah saya?" tanya Angkasa kemudian. Raya dan Yuli langsung menatap lelaki itu begitu mengerti ke arah mana pertanyaan milik Angkasa. "Apa maksudmu?" Kening Anthony berkerut. Dia mencoba mengingat sesuatu, namun tidak bisa. Anak lelaki di depannya sama sekali tidak pernah berurusan dengannya. Yang dia ingat, dia hanya beberapa kali bertemu dengan anak lelaki itu di sekolah, dan juga— "Apa wajah saya tidak mengingatkan Bapak kepada seseorang?" "Angkasa ... " Raya mengepalkan tangannya. Dia berusaha menghentikan Angkasa, namun dia terlalu lemah untuk sekadar bangkit dari posisinya. Kini kedua mata Anthony membulat. Kedua kakinya langsung bergerak mundur menjauhi Angkasa. "K-kamu!" Tidak mungkin! Bagaimana bisa— Angkasa masih menatapnya datar. Bahkan kini kedua mata Anthony terlihat memerah. Pria itu menatap Yuli dan Raya bergantian. Lalu pandangannya teralih pada Angkasa. Ketiga orang ini, mereka— siapa sebenarnya lelaki ini? Kedua kaki Anthony semakin bergerak mundur. Raya yang melihat itu semakin mengeratkan kepalan tangannya dengan mata yang sudah memerah. Sosok di depan sana, bukanlah Angkasa yang biasanya. Lagi lagi dia melihat sosok Rama di dalam diri lelaki itu. "SUDAH CUKUP!!" Semua orang menoleh ketika meja kaca di dekat Raya mendadak hancur. Kedua mata Anthony membulat. Gadis yang diklaim sebagai putrinya itu, terlihat seperti monster menakutkan yang bisa menghancurkan apapun dalam sekejap. "RAYA, HENTIKAN!" Yuli segera berlari menghentikan Raya sebelum gadis itu benar-benar melukai ayahnya. Dengan mata kepalanya sendiri, Angkasa bisa melihat bagaimana kepingan kaca itu bergetar dan melayang beberapa senti dari permukaan lantai. Lelaki itu terdiam di tempatnya. Raya ... "Mas, pergilah!" teriak Yuli. Dia memeluk Raya begitu erat, mencoba menenangkan sekaligus menghentikannya. Tanpa pikir panjang, Anthony langsung berlari keluar menuju mobilnya. "Kamu gak akan pernah bisa lari!" Raya berontak namun Yuli menahannya dengan sekuat tenaga. Wanita itu menangis begitu pilu melihat keadaan putrinya sekarang. ? Angkasa memasukkan motornya ke dalam garasi. Lelaki itu lalu berjalan gontai memasuki rumahnya. Kejadian tadi benar-benar membekas di kepalanya. Dia melihat dengan jelas, bagaimana Raya menangis, bahkan meraung saat Yuli mati-matian menahannya yang seperti hendak membunuh Anthony. Kedua mata gadis itu merah, menatap nyalang kepergian Anthony dengan penuh kebencian. Dan juga— Angkasa menggelengkan kepalanya cepat. Dia tidak mau mengingatnya lagi. Meja kaca tadi benar-benar remuk dalam sekejap tanpa disentuh sama sekali. "Sa?" Angkasa terkesiap ketika mamanya memanggil. Wanita itu merasa ada yang tidak beres saat melihat anaknya yang diam melamun di depan pintu. "Kamu kenapa? Kuenya udah diambil?" "Eh? Anu ... " Angkasa menelan ludahnya, "tadi gak ada siapa-siapa di rumahnya Tante Yuli. Kayaknya mereka lagi pergi. J-jadi aku ke rumah temenku." "Loh? Terus gimana? Kan tadi kamu sendiri yang minta Mama pesenin." "Gak apa-apa, Ma. Lain kali aja." "Oh, gitu. Ya udah. ucap mamanya. Namun wanita itu langsung menahan lengan Angkasa ketika hendak pergi. "Kok kamu keringetan? Kamu sakit, Sa?" Dia menyentuh kening Angkasa yang terasa dingin karena keringat. "Kamu juga agak pucat." "Enggak kok, Ma. Angkasa cuma ngantuk. Ya udah, aku pergi ke kamar dulu." Angkasa melenggang pergi. Salah satu tangannya terangkat dan mengelap peluh yang entah kapan sudah membanjiri permukaan keningnya. Angkasa berbohong. Padahal yang terjadi adalah, lelaki itu langsung berpamitan pulang tidak lama setelah mengantarkan Raya ke kamar. Gadis itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, begitu pula Angkasa. Raya yang kehilangan kendali, dan Angkasa yang syok melihat sisi lain Raya. Masih berada di pintu, sang mama menatap punggung Angkasa dengan kening berkerut. Wanita itu menghela napas dan langsung menutup rapat pintunya, namun ponselnya yang berdering membuatnya berjalan menuju meja di depan TV. "Halo?" "Ini Bu Intan? Maaf ya, Bu. Tadi saya lupa kalau anak Ibu pesan kue. Padahal tadi dia ke sini." Intan mengerjap. "Eh, i-iya. Gak apa-apa kok. Besok aja." Sambungan telepon tidak lama ditutup setelahnya. Intan terdiam. Dia menoleh ke arah Angkasa pergi tadi. "Aneh. Bukannya tadi Angkasa bilang kalo Bu Yuli gak ada di rumah?" —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN