Angkasa menyodorkan jagung bakar yang baru matang kepada Raya. Cewek itu mendongak dan menatap jagung di tangannya.
"Ini beneran jagung kok, nggak ada kacang di dalemnya," ucap Angkasa asal, "mau gak? Pegel nih. Kebiasaan banget bikin tangan gue pegel."
Raya tersentak pelan ketika Angkasa secara tiba-tiba meraih salah satu tangannya dan meletakkan jagung bakar itu di sana.
"Gue yang bayar. Tenang aja," ucap Angkasa tanpa menolehkan kepala. Cowok itu sibuk meniup-niup jagung bakar miliknya sebelum menggigitnya sedikit demi sedikit.
"Makasih."
"Soal apa? Oh, jagung ini? Kalem, harganya murah kok. Kalo lo mau, gue bisa beliin seratus lagi buat lo. Duit gue kan banyak," ucap Angkasa.
Helaan napas keluar dari bibir Raya. Lagi dan lagi, satu per satu kalimat menyebalkan keluar dari bibir Angkasa.
"Makasih karena udah nolongin gue."
Angkasa melirik Raya yang masih menunduk.
"Lo ... Kenal sama orang-orang tadi?" tanyanya.
Gue bahkan tahu siapa mereka.
Raya membuang napasnya pelan. "Gue gak kenal."
"Tapi mereka kayaknya berniat jahat sama lo. Dan lo juga ngehindar, kan tadi? Lo juga pasti menyadari niat mereka."
Perlahan Raya mulai memakan jagung bakar pemberian Angkasa. Hari mulai gelap dan dia tidak mengirimkan pesan kepada mamanya. Wanita itu pasti khawatir karena dirinya pulang terlambat.
"Heh ... "
Kepala Raya menoleh ketika Angkasa bersuara. Namun cowok itu masih tampak sibuk memakan jagung.
"Sedekat apasih lo sama si Gavin itu?" tanya Angkasa tanpa mengubah posisinya.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak sih, nanya doang. Lo kan gak gak punya temen di sekolah. Kok bisa tiba-tiba deket sama Gavin, dan— kalian pelukan."
Kedua mata Raya mengerjap. Dia menjauhkan jagung dari mulutnya.
"G-gue cuma nanya kok. Jadi gak usah kepedean lo!"
"Kenapa gue harus kepedean?"
Glek!
"Ya ... Kan—" Ucapan Angkasa terhenti begitu dirinya menoleh dan mendapati Raya tengah menatapnya intens.
"A-apaan?!" ucapnya sewot. Berbanding terbalik dengan wajah Raya yang datar.
"Lo cemburu?"
"SEMBARANGAN LO! MANA ADA! NGACO LO!" Kedua mata Angkasa membulat dan dia langsung berdiri dari tempatnya. Ucapannya membuat si penjual jagung bakar itu terperanjat dan menatapnya aneh.
"Eh ... Maaf ya, Mas. Dia emang sering bikin saya emosi. Dulu mamanya ngidam manisan cabe," ucap Angkasa. Mas-mas penjual itu pun hanya menggelengkan kepalanya.
Angkasa menggembungkan kedua pipinya dan kembali duduk di sebelah Raya.
"APAAN LAGI?" semprotnya begitu menyadari Raya masih menatapnya. Angkasa menggigit jagung miliknya dengan kasar dan mendengus sebal.
Raya sedikit memiringkan kepalanya. "Kok lo tahu kalo dulu mama gue ngidam manisan cabe?"
Mulut Angkasa seketika menganga. Dia langsung menatap Raya.
"Mama bilang, dulu pas hamil ngidam manisan cabe. Lo kok bisa tahu?" ucap Raya dengan tampang menyebalkannya.
"BODO AMAT ANJIR!!! MAU MANISAN CABE KEK, DUREN KEK, BAWANG KEK, TERSERAH! HIDUP GUE GINI AMAT." Angkasa mengucek-ngucek matanya yang terasa panas dan berair.
"Lho ... Kok lo nangis? Ucapan gue salah?"
"BERISIK LO!" Angkasa mencebikkan bibirnya. "MAS, NGIPASIN JAGUNGNYA YANG BENER DONG! INI ASAPNYA KE SINI SEMUA! MATA SAYA PERIH NIH!!" semprotnya. Sontak saja mas-mas yang sedang mengipas-ngipas jagung itu pun langsung mengubah posisinya.
"Ehh ... Maaf, Mas. Saya gak sengaja," ucapnya.
Angkasa mendengus sebal.
"Lo cemburu, ya?"
Angkasa memelototkan kedua matanya. "Cemburu? Maksud lo sama mas-mas tukang jagung bakar?"
"Sama Gavin."
"Hih, sori. Si Gavin itu gak level sama gue. Ngapain gue cemburu sama mahluk kayak dia." Angkasa kembali menggigit kembali jagungnya.
"Lo tahu, kan?"
"Tahu apaan?"
"Kalo lo gak bisa bohong dari gue."
***
Raya turun dari motor milik Angkasa ketika dirinya sampai di rumah. Jam sudah menunjukan pukul enam lebih, mamanya pasti marah karena dia pulang telat.
"Kalo lo kena marah, bilang aja lo disuruh bantuin gue ngerjain tugas. Nyokap lo tahunya gue temen lo, kan?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Raya. Cewek itu hanya menatap Angkasa datar seperti biasanya.
"Lo kedatangan tamu, tuh," tunjuk Angkasa dengan dagu ke arah sebuah sedan hitam yang terparkir di halaman rumah. Salah satu alis Raya naik. Tamu? Selama ini tidak banyak yang bertamu ke rumahnya.
"Gak ada ucapan makasih, nih?" sindir Angkasa ketika Raya hendak membuka pagar rumahnya.
"Maka—"
"SAMA-SAMA!" teriak Angkasa seraya melajukan motornya. Raya menoleh ke arah motor Angkasa yang sudah menjauh. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera masuk.
Seketika aura di sekitarnya mendadak tidak nyaman. Raya mempercepat kakinya ke dalam rumah saat perasaannya semakin memburuk.
"Ma? Raya pulang." Cewek itu terkejut saat mendapati barang-barang miliknya berantakan. Banyak pecahan keramik yang berserakan.
"Baru pulang, ha?"
Raya mengangkat wajahnya dan melihat dua pria berjaket hitam berjalan menghampirinya.
"Di mana mama?"
Pria itu tersenyum miring dan menunjuk ke belakang Raya. Cewek itu membalikkan badannya dan terkejut saat mendapati mamanya sudah tergeletak di permukaan lantai dengan salah satu sudut bibir membiru.
"Mama! Ma, bangun!" Raya meletakkan kepala Yuli di kedua pahanya dan menepuk pelan kedua pipi mamanya, namun wanita itu tidak kunjung membuka mata.
"APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN?!" geram Raya pada kedua pria itu. Dia sangat hapal dengan wajah itu. Ya, mereka adalah orang yang sama dengan yang mengejarnya tadi.
"Kami hanya disuruh kemari. Kami ke sini untuk mengambil map yang sudah kamu curi. Berikan benda itu, maka kami akan pergi dengan cara baik-baik."
"Jangan mendekat!" teriak Raya ketika kedua orang itu mendekat.
"Ayolah, jangan paksa kami berbuat kasar. Kamu tidak mau berakhir sama seperti mama kamu, kan?"
Rahang Raya mengeras. Pecahan keramik yang berserakan di lantai perlahan bergerak dari posisinya.
"Ayo, berikan benda itu."
"Sekali lagi kalian melangkah, kalian akan mati."
Kedua pria itu menatap pecahan keramik di dekat kaki mereka yang terlihat sudah berada beberapa senti dari permukaan lantai. Kedua mata mereka membulat seakan tidak percaya.
"Apa-apaan ini?!"
"Pergilah!" Raya mengepalkan tangannya. Dia kembali meletakkan mamanya dan segera berdiri, menatap nyalang pria itu.
"Jangan ganggu kami," ucap Raya dengan penuh penekanan.
"Dia bukan manusia." Salah satu dari pria itu tampak mulai ketakutan. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba muncul angin besar hingga pintu dan jendela terbuka lebar. Lemari kaca yang berada tidak jauh di belakang Raya tampak bergetar.
"Dia hanya gadis SMA. Kita harus menyelesaikan ini. Bos bilang gak masalah kita singkirkan anak ini. Jadi apa yang harus ditakutkan?" Si pria satu lagi berucap dan mengeratkan sebuah tongkat besi yang sedari tadi dipegangnya.
"Jadi kalian memilih mati?" Raya tersenyum miring.
"R-Raya ... "
Raya membalikkan badannya dan melihat mamanya telah sadar. Dia langsung menghampiri Yuli.
"Mama!"
Fokusnya teralihkan dan semua benda tadi berhenti bergerak, dan angin besar tadi pun menghilang. Menyadari situasi kembali normal, kedua pria itu saling bertukar pandangan.
"Sekarang!"
Tidak!
Kedua mata Raya membelalak dan segera menoleh ke belakang. Dia lalu menatap lemari kaca di dekatnya dan Yuli secara bergantian.
"Mama, maafin Raya!"
Raya segera menarik tubuh Yuli menjauh.
PRAANGG!!!