"Ah, sialan. Bikin repot aja. Kenapa coba dia gak masuk? Kemaren juga dia sehat-sehat aja."
Angkasa menghentikan langkahnya dan memperhatikan dua siswa yang baru saja mendahuluinya. Kedua siswa itu masing-masing membawa beberapa buku paket. Jangan-jangan yang mereka maksud itu ...
"Woy! Ngelamun aja lo." Sam menepuk bahu Angkasa begitu mendapati lelaki itu melamun di koridor. "Lo kesambet? Masih pagi juga," lanjutnya seraya merangkul bahu Angkasa dan mereka berjalan menaiki tangga.
Kedua siswa tadi masuk ke kelas sebelas IPA 5, yang tidak lain adalah kelas Raya. Angkasa menolehkan kepalanya ketika dirinya melewati pintu kelas itu yang terbuka lebar.
Bangku Raya kosong. Angkasa langsung meluruskan kembali pandangannya, sesekali bergumam menanggapi ucapan Sam yang sebenarnya tidak benar-benar dia dengarkan.
Raya gak masuk?
Pikirannya langsung menerawang ke kejadian kemarin. Dia berpikir mungkin gadis itu ingin menenangkan diri, atau lebih buruknya mungkin kesehatannya kini menurun. Pantas saja tadi bukan Raya yang membawa buku paket, melainkan orang lain. Biasanya gadis itu yang selalu membawa buku-buku paket sendirian hingga terkadang pandangannya terhalangi bahkan sampai dijahili oleh orang-orang.
"Sa, lo kenapa sih? Gak enak badan?"
Kepala Angkasa menggeleng. Dia tersenyum tipis dan segera membuka tasnya ketika seorang guru masuk ke dalam kelas.
?
Yuli membuang napas ketika melihat nampan yang berada di depan pintu Raya tidak bergeser sama sekali. Wanita itu lalu mengetuk pelan pintu di depannya.
"Ra," panggilnya namun tidak ada sahutan. "Makan dulu, Nak. Kamu belum makan dari kemarin." Dia menatap pintu kamar putrinya khawatir. Raya belum membuka benda itu sama sekali. Yuli jadi khawatir. Raya mungkin tidak akan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya, namun sekarang gadis itu bahkan tidak mau peduli pada apa pun, bahkan pada dirinya sendiri. Yuli bahkan beberapa kali mengecek dari luar dan melihat kalau jendela kamar Raya tidak dibuka. Tirai pun selalu tertutup, padahal yang dia tahu, Raya sering membuka jendela kamarnya bahkan saat tengah malam sekalipun.
"Ra, jangan bikin Mama khawatir. Kamu bisa sakit."
"Tinggalin Raya, Ma." Setelah sekian lama akhirnya Raya merespon ucapannya. Meskipun lirih, tapi Yuli masih bisa mendengarnya.
Yuli menghela napasnya dan mengambil nampan yang sudah diletakkannya sejak kemarin. "Tapi kamu harus janji, kamu harus keluar setelah ini."
Tidak ada respon. Yuli menunduk dan memilih kembali ke dapur. Dia tidak ingin membuat Raya semakin terpuruk. Raya pasti juga syok saat menyadari kalau Angkasa melihat semuanya. Raya kehilangan kendali, dan Angkasa adalah satu-satunya orang asing yang melihat sisi lainnya.
"Papa mau memalsukan ijazah semua siswa, Ma. Aku gak bisa diem aja. Papa bisa hancur."
Yuli bersedekap dan menenggelamkan wajahnya di sana. Entah apa yang sudah dilakukannya di kehidupan sebelumnya sampai dia bisa memiliki putri sebaik Raya. Tidak peduli sebanyak apa pun Anthony menghujamnya dengan cacian, tapi gadis itu tetap saja peduli. Dia sempat membenci, namun kembali memberi hati. Namun kejadian kemarin membuat Yuli tidak bisa menebak isi hati Raya terhadap ayahnya sekarang. Apakah Raya kembali membenci, atau masih berbaik hati?
?
Angkasa memutar ponselnya di atas permukaan meja. Dia bimbang. Dia ingin menghubungi Raya. Dia akui kalau dia memang khawatir, apalagi mengingat apa saja yang sudah pernah Raya lakukan. Gadis itu bahkan tidak segan-segan berniat meloncat dari atas gedung pencakar langit.
Tapi—
Angkasa meremas rambutnya. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Di satu sisi dia khawatir pada Raya, tapi di sisi lain dia merasa—
Takut.
Mungkin ini yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak pernah mengenal Raya secara dekat. Kejadian kemarin sudah pasti membekas kuat di ingatan Angkasa. Jujur dia merasa sedikit ngeri, saat melihat bagaimana meja kaca yang begitu kokoh secara tiba-tiba berubah menjadi butiran-butiran sebesar biji jagung hanya dalam sekejap.
Apa kabar dengannya jika sampai membuat sisi lain Raya keluar? Angkasa mengelus lehernya yang tiba-tiba merinding. Raya itu ... Memang berbeda. Kemampuannya memang tidak bisa dianggap sepele. Tapi bukan berarti dia pantas dijauhi.
Angkasa meremas rambutnya kasar dan membenturkan keningnya ke permukaan meja selama berkali-kali. Sampai dia kembali mengangkat wajah saat menyadari seseorang duduk di depannya. Gavin menatapnya dengan kening berkerut.
"Galau lo?"
Angkasa menatapnya tidak suka. Dia mendadak semakin benci pada Gavin, apalagi akhir-akhir dia seperti SKSD dengannya. Tampangnya itu sudah menipu banyak murid dan guru, namun tidak dengan Angkasa. Dia tahu betul bagaimana sosok Gavin di balik topeng malaikat itu.
"Bukan urusan lo," jawab Angkasa ketus.
Salah satu sudut bibir Gavin naik. Dia lalu meneguk minuman kaleng yang dibelinya beberapa saat yang lalu. "Ke mana Raya? Biasanya lo nempelin dia."
Angkasa tidak menghiraukan ucapan Gavin dan lebih memilih menghabiskan es jeruk yang tadi dipesannya.
"Dia gak masuk?"
"Hm."
"Pantesan lo galau."
"Gue lagi gak mood buat ribut sama lo."
Gavin menatap Angkasa yang kini memainkan bongkahan es batu yang tersisa di gelasnya menggunakan sedotan. Ekspresi wajah lelaki itu lain dari biasanya. Tampang menyebalkan yang biasa dia tunjukkan, kini hilang entah ke mana. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Angkasa.
"Kasihan ya, Raya," ucap Gavin pelan sebelum meneguk kembali minuman kaleng di tangannya.
Gerakan tangan Angkasa berhenti dan dia sedikit mengangkat wajahnya. Dia tidak tertarik menanggapi, namun dia juga menunggu kalimat yang akan Gavin keluarkan berikutnya. Apalagi lelaki itu menyebut nama Raya.
"Sejak awal MOS, gue perhatiin dia lebih sering menyendiri."
"Orang-orang yang gak mau deket sama dia." Angkasa meralat. Gavin menatapnya takjub. Kalimat yang keluar dari mulut Angkasa tidak lain adalah bentuk pembelaannya pada gadis itu. Gavin semakin tertarik.
"Orang tuanya cerai, dan dia justru dibenci sama bokapnya sendiri."
Kini kedua mata Angkasa menatap Gavin sepenuhnya.
"Kira-kira kalo Kayla tahu yang sebenarnya, gimana ya?" Gavin dengan enteng mengucapkannya. Dia meneguk habis minuman rasa lemon itu hingga tak bersisa.
Gavin menatap lelaki di depannya. Kini atensi lelaki itu benar-benar mengarah padanya
"Gue udah tahu." Dia lalu mengamati kaleng minumannya yang sudah kosong. Salah satu sudut bibirnya tertarik me atas. Lelaki itu lalu melanjutkan, "semuanya."
"Lo—"
"Gak usah kaget. Lo juga pasti tahu soal ini kan? Juga ... " Gavin menggantungkan kalimatnya. "Kemampuan Raya. Lo bisa tahu juga karena waktu itu lo nguping pembicaraan gue sama Raya di ruang OSIS."
"Sebenernya tahu dari mana lo?"
Gavin mengangkat kedua bahunya. "Dari seseorang."
Seseorang?
"Gue juga tahu kok kalo Raya punya kembaran."
Angkasa semakin tidak mengerti. Dari mana Gavin tahu semua itu? Atau Gavin memang sudah mengenal Raya jauh sebelum dirinya bertemu gadis itu?
"Sayang banget kalo Rama meninggal karena kecelakaan. Dan bokapnya malah nuduh dia sebagai penyebab kematian Rama. Dia pikir kalo Raya itu pembawa sial." Salah satu tangan Gavin bergerak mengambil sebungkus keripik di dekatnya. Dia dengan enteng membuka plastik itu, tanpa menghiraukan tatapan Angkasa padanya.
"Beberapa hari yang lalu Raya sama Pak Anthony bertengkar di ruangan kepala sekolah." Gavin memasukkan satu keripik ke dalam mulutnya.
Kedua mata Angkasa membelalak. Mereka bertengkar di sekolah?
"Bertengkar?" Angkasa membeo.
"Hm. Gue gak sengaja denger ucapan mereka. Untung di sana cuma ada gue." Gavin memasukkan lagi potongan keripik ke mulutnya.
"Dan Raya ditampar setelahnya." Gerakan rahang Gavin memelan seiring dengan kalimatnya barusan. Dia kembali menatap Angkasa yang terlihat terkejut. Gavin menyeringai dalam hatinya.
"Gak nyangka aja ternyata hidupnya seberat itu. Kayla cuma anak tiri, tapi dia selalu mendapat perlakuan yang manusiawi. Berbanding terbalik dengan Raya. Meskipun kini mereka hidup terpisah, tapi Raya tetaplah anak kandungnya."
Angkasa terdiam. Dia menatap kosong bongkahan es batu yang sudah mencair di dalam gelasnya. Lelaki di depannya menyeringai.
—tbc