Suasana sekolah mendadak mencekam setelah kejadian tadi. Semua murid tampak tidak seperti biasanya. Kantin dan lapangan terlihat kosong. Mereka benar-benar terkejut mendengar semuanya.
Suasana kelas XI IPA 5 tampak lebih hening. Semua murid tampak berkumpul dan sesekali bertukar pandang satu sama lain. Beberapa di antaranya bahkan ada yang menoleh pada bangku Raya yang kosong.
"Apa kita harus ikut nyari keberadaan Raya?" ucap Lisa. Andre menggelengkan kepalanya. "Gue rasa itu bukan ide bagus. Itu hanya akan memperumit pencarian. Pihak sekolah juga akan melarang kita."
"Tapi kita gak mungkin diem aja. Raya itu bagian dari kelas kita. Apalagi setelah semuanya terkuak, kita bisa tahu siapa sebenarnya tokoh yang jahat. Pak Anthony yang selama ini kita hormati, tidak lain adalah jelmaan iblis." Amanda nimbrung. Kedua tangannya tampak mengepal kuat.
"Mungkin kita bisa bekerja sama sama pihak sekolah. Beberapa orang mungkin bisa ikut mencari. Gue yang akan pergi. Sebaiknya cewek-cewek jangan ada yang ikut. Gue rasa terlalu bahaya karena lawan masih belum diketahui. Anak buah Pak Anthony pasti bukan orang-orang biasa. Jadi sebaiknya gue sendiri yang pergi. Kalian bisa bantu doa supaya semuanya berjalan lancar dan Raya baik-baik aja."
Andre menoleh ke arah pintu tepat ketika seseorang berjalan melewatinya. Kedua mata Andre menyipit, berusaha mengenali lelaki yang tampak tak asing itu.
Sementara di luar, Angkasa melangkah lebar menuju lantai dasar. Lelaki itu bahkan mengabaikan panggilan Sam yang tertinggal di belakang. Rahang Angkasa mengeras dan kedua tangannya mengepal kuat. Kedua kakinya bergerak menuju suatu tempat.
Ruang OSIS.
Ditendangnya pintu itu hingga langsung terbuka lebar dan langsung menampakkan seseorang di baliknya. Dia tengah duduk di atas meja dengan rokok yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya.
"b******k!" Angkasa langsung menarik kerah baju Gavin dan menghajarnya hingga tubuh Gavin tersungkur ke lantai.
"Lancang lo!" Gavin mengusap salah satu sudut bibirnya yang berdarah.
"b******n lo! Ke mana lo bawa Raya, hah?!" Angkasa menindih tubuh Gavin dan menarik kembali kerah baju lelaki itu hingga tubuhnya yang terbaring menjadi terangkat.
Tiba-tiba Gavin tertawa tanpa alasan. "Lo gak bisa nuduh gue sembarangan."
"Tutup mulut lo! Gue tahu lo yang udah ambil HP Raya. Iya, kan?! Gue udah curiga sama lo sejak lama! Selama ini lo bersekongkol sama Pak Anthony, hah! b******k!" Angkasa memukuli Gavin secara membabi buta. Namun kali ini Gavin tidak tinggal diam. Dia mendorong tubuh Angkasa dan balas memukulnya.
"Peduli apa lo?!" Kedua mata Gavin menatap penuh Angkasa.
"Di mana Raya, sialan?!" Angkasa kembali mendorong tubuh Gavin menjauh. Sesekali meringis saat merasa salah satu pipinya berdenyut.
Gavin menyeringai. "Di tempat yang gak akan pernah bisa lo temukan."
"b******k!"
Tubuh Gavin menubruk meja dan lelaki itu kembali terpelanting ke lantai.
"Manusia kayak lo, gak pantes buat hidup!" Angkasa mengusap salah satu sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Dia lalu berjalan menuju tas milik Gavin dan mengambil sesuatu dari dalam.
Persis dugaannya. Ponsel milik Raya berada di sana. Benda tipis yang tadi pagi dilihatnya, ternyata benar-benar milik Raya. Dia sudah menduganya. Pasti Gavin yang sudah membuka pesan yang dia kirimkan. Angkasa kembali mendekati Gavin dan berjongkok. Dia menarik kasar kerah baju milik Gavin hingga benar-benar kusut.
"Sekarang jawab gue di mana Raya!"
Gavin tertawa. "Cari aja sampai ketemu. Lo, gak akan pernah bisa menemukannya."
"Sialan!" Angkasa menghempaskan tubuh Gavin kasar dan langsung berlari keluar. Lelaki itu langsung melesat menuju parkiran dan segera mengeluarkan motornya. Tidak perlu memerlukan waktu yang lama karena motor Angkasa sudah melesat cepat keluar dari area sekolah.
?
Tubuh Raya tidak bisa bergerak. Kedua tangan dan kakinya diikat. Gadis itu bahkan tidak bisa melihat apa pun. Semuanya terlihat gelap karena kedua matanya ditutupi oleh sesuatu.
Raya berusaha mengenali suara-suara di sekitarnya, namun dia tidak mendengar apa-apa. Begitu hening.
"Sudah sadar, hm?" Seseorang bertanya.
Kening Raya berkerut, berusaha mengenali suara itu. Dia berusaha melepaskan diri namun ikatan di tangannya begitu kuat. Lalu dia mendengar suara beberapa langkah kaki mendekat.
"Apa mau kalian?"
"Tenanglah, kami hanya disuruh dan dibayar oleh ayahmu."
"Ayah?"
"Oopss ... Apa maksudnya mantan ayah?" Mereka tertawa. "Pak Anthony menyuruh kami agar menghabisimu di sini. Kamu pengganggu. Dan karena dia berkata kalau kamu beda dari manusia kebanyakan, jadi kami terpaksa menutup kedua mata kamu. Bisa gawat kalau sampai kamu membaca setiap rencana kami."
Rahang Raya mengeras. Lagi-lagi ini ulahnya Anthony.
"Gawat. Gavin bilang Pak Anthony sudah ditangkap dan dia dibawa ke kantor polisi. " Seseorang berkata dengan nada cukup panik.
"Sial. Benar-benar merepotkan."
Raya menajamkan indera pendengarannya.
Gavin?
Mendengar nama itu membuat kebencian di dalam dirinya membuncah. Betapa busuknya lelaki itu. Kemarin dia yang merencanakan semuanya. Dia menyuruh anak buah Anthony meneleponnya dan berkata kalau Angkasa dalam bahaya. Raya sudah menyangka kalau ada yang tidak beres dengan lelaki itu. Terutama dia beberapa kali terlihat keluar dari ruangan Anthony.
Tidak lama kemudian Raya merasa ada seseorang yang mendekat padanya. Dia semakin was was.
"Jadi, Nona. Tidurlah lebih lama lagi."
Tubuh Raya tersentak saat merasa sesuatu yang keras menghantam kepala belakangnya hingga berdenyut hebat. Gadis itu kembali tidak sadarkan diri.
?
Angkasa berlari menyusuri lorong-lorong gedung yang sudah tidak terpakai. Namun dia tidak menemukan apa pun. Kedua kakinya mulai kelelahan. Lelaki itu tidak menyerah dan kembali melajukan motornya.
Sementara beberapa orang dari pihak polisi dan sekolah tampak pergi ke suatu tempat setelah polisi berhasil menginterogasi Anthony dan memaksanya membuka mulut. Kini polisi bahkan mengejar Gavin, salah satu orang yang dibayar Anthony. Mereka pergi ke sekolah namun lelaki itu sudah kabur melarikan diri.
Yuli tidak henti-hentinya menangis. Sesuai interuksi, dia diharuskan menunggu di kantor polisi karena situasi yang mungkin bisa membahayakannya.
Kayla yang juga berada di sana tampak berjalan mendekati Yuli. Kedua matanya tampak bengkak karena terus menangis. Gadis itu lalu bersimpuh di depan Yuli.
"Maafkan papa saya," ucapnya dengan suara yang hampir habis. "Saya benar-benar tidak tahu. Maafkan saya."
Yuli segera membantu Kayla berdiri. Wanita itu menghapus air mata Kayla. "Ini semua bukan salah kamu. Berhentilah minta maaf. Tolong doakan saja semoga putriku baik-baik saja di sana."
?
"Sebelum Rama meninggal, mama beberapa kali mimpi tentang Rama."
"Mama ... Mimpi ngelahirin gue."
Pandangan Angkasa mengabur. Dia semakin menaikkan kecepatan motornya. Angkasa hampir saja menabrak sebuah mobil jika saja dia tidak cepat menepi. Lelaki itu memukuli motornya begitu frustasi.
"Sial! Di mana lo, Ra?!"
Bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi. Dia segera melihatnya dan segera mengangkatnya saat tahu kalau itu dari Yuli.
"Gimana, Tante?"
"Sa, Tante udah tahu di mana posisi Raya."
Kedua mata Angkasa membulat. Dia langsung memutuskan sambungan telepon dan kembali melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Bertahanlah sedikit lagi, Ra. Gue mohon.
Angkasa semakin menaikkan kecepatan motornya. Dia bersumpah jika sampai terjadi sesuatu pada Raya, Angkasa tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
—tbc