Raya memasukkan satu per satu buku miliknya ke dalam tas. Diam-diam gadis itu melirik teman-temannya yang mengobrol dan bercanda satu sama lain.
Benar juga. Selama dia bersekolah di sana, belum ada satu pun murid yang benar-benar mau berteman dengannya. Apalagi setelah kejadian tahun lalu. Ketika ada seorang siswi yang hampir tertimpa rak buku di perpustakaan. Raya berniat menolongnya dengan mendorong siswi itu hingga membentur sebuah meja. Alhasil Raya sendirilah yang tertimpa rak buku besar itu.
Namun bukannya ucapan terima kasih yang didapat, justru malah cacian dan makian dari semua orang. Siswi yang ditolongnya justru malah menyalahkan dirinya. Beralibi kalau Raya yang berusaha membuatnya celaka. Padahal jelas-jelas Raya menolongnya, bahkan sampai berkorban hingga tertimpa rak buku. Gadis itu bahkan sampai izin tidak masuk selama beberapa hari karena luka memar dibeberapa bagian tubuh terutama di bagian punggung.
Tersadar dari lamunan, Raya bergegas keluar. Langkahnya tampak terhenti sejenak saat melihat seseorang yang berdiri di dekat tangga. Menyadari kedatangannya, orang itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan padanya.
"Raya!" panggilnya. Namun senyumannya memudar saat Raya berjalan melewatinya begitu saja.
"Lho, kok gue ditinggal? Raya, tunggu!" Dia langsung mengejar Raya yang sudah terlebih dahulu menuruni tangga.
"Lo gak lupa sama gue kan? Kita kan baru aja ketemu pas istirahat tadi. Ini gue, Kayla," ucapnya. "Pulang bareng, yuk! Kebetulan hari ini bokap gue ke sekolah jadi kita bisa—"
Apa Raya tidak salah dengar? Pulang bareng? Itu artinya bersama Anthony? Satu mobil dengan pria jahat itu? Bahkan tidak dalam mimpi.
"Gimana? Mau ya?" Kayla terus saja mengoceh tanpa memedulikan respon Raya. Mereka bahkan sudah hampir sampai di gerbang dan Raya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dirinya ingin menjawab.
"Gue bisa pulang sendiri," ucap Raya pada akhirnya. Dia memandang Kayla dengan tatapan tidak suka sehingga gadis itu bungkam.
"Ray—"
Keduanya tersentak saat sebuah mobil berhenti di dekat mereka dengan diiringi bunyi klakson yang nyaring. Kaca mobil terlihat diturunkan hingga menampakkan si pemilik. Anthony menatap Raya dengan tatapan tidak suka.
"Kayla, masuk!" titah Anthony pada Kayla. Nada Anthony yang sedikit meninggi membuat Kayla tersentak. Pasalnya, gadis itu baru kali ini mendengar suara sang ayah yang terlihat begitu marah. Padahal ayahnya tidak pernah seperti itu ketika dirinya sedang bersama teman-temannya yang lain, meskipun itu laki-laki.
"Pa, tapi aku pengin Raya—"
"Masuk!"
Raya menatap Anthony yang masih menatapnya selama beberapa saat.
"Raya! Raya!"
Raya tidak memedulikan panggilan Kayla dan terus berjalan melewati gerbang. Cewek itu terus berjalan hingga mobil milik Anthony benar-benar melewatinya. Langkahnya sempat terhenti saat melihat Kayla yang memerhatikannya dari jendela.
"Satu hal yang harus lo tahu, Kayla. Gue sama sekali gak benci sama lo. Tapi gue benci sama orang yang lo panggil dengan sebutan Papa."
?
Raya menatap langit yang masih kelabu. Hujan masih enggan berhenti, membuat gadis itu mau tidak mau berhenti di depan sebuah toko. Sesekali kedua matanya menyipit tatkala lututnya berdenyut. Kakinya juga pasti memar karena jatuh dari tangga tadi.
Kalo aja Rama masih ada, gue gak bakalan ngalamin semua ini.
Raya tersenyum kecut. Lagi-lagi Rama. Rasanya dia sudah terlalu banyak bergantung pada saudara kembarnya itu. Waktu berlalu dengan cepat, namun Raya seakan belum melepaskan Rama sepenuhnya.
Kenapa sih Tuhan gak pernah adil?
Dia kembali menatap langit. Hujan deras kini berganti menjadi gerimis. Dengan setengah berlari, Raya menerobos rintik-rintik itu dan pergi dari sana dengan menahan sakit di bagian kaki.
Dia sudah terlambat pulang karena hujan, dia juga tidak boleh telat karena rasa sakit di kakinya.
"Ini cuma luka kecil, gak seberapa." Raya bermonolog. Pandangannya bergantian menatap ke kanan dan kiri, berusaha menemukan angkutan umum. Gadis itu menggerutu karena ponselnya malah mati di saat seperti ini.
Splash!
Kedua mata Raya membelalak begitu sebuah sepeda motor melaju melewatinya. Menginjak genangan air di depannya dengan kecepatan tinggi hingga air itu mengenai rok milik Raya. Bahkan sepatunya pun kotor.
Raya menggigit bibirnya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah motor tadi. Menatap orang itu nyalang dengan tangan mengepal.
Beberapa saat kemudian motor itu terlihat berhenti secara mendadak dan si pengemudi terlihat kebingungan begitu melihat kedua ban motornya bocor.
Raya menyeringai puas. Orang itu pantas diberi pelajaran. Namun seringaiannya hilang ketika orang itu secara tiba-tiba membuka helm dan menoleh padanya. Kedua mata Raya membulat.
"Gavin!" Raya langsung memutar tubuhnya dan langsung pergi. Habislah dia. Gavin pasti melihatnya. Meskipun Gavin Ketua OSIS yang terkenal ramah dan baik, namun itu bukan jaminan bagi Raya. Meskipun Raya cukup mengaguminya, baginya semua orang di sekolah adalah ancaman. Tidak terkecuali.
Beruntung ada angkot yang lewat, jadi Raya bisa langsung pulang. Dia berdoa semoga Gavin tidak menyadari kehadirannya tadi.
Sekitar 20 menit akhirnya dia sampai di rumah. Pakaiannya yang kotor langsung disambut dengan serangkaian pertanyaan yang membuat kedua telinganya berdengung.
"Ulah siapa lagi ini? Bajumu kok kotor?" tanya Yuli. Wajahnya terlihat begitu khawatir. Hal itu sudah hal biasa bagi Raya. Mamanya terlalu sering mendapati anaknya 'babak belur' karena dijadikan bahan bully oleh teman-teman sekolahnya.
"Kecipratan sama motor. Gak apa-apa kok, Ma." Raya tersenyum tipis.
"Bener? Gak ada yang luka, kan?"
Raya menggeleng. "Enggak, Ma."
"Bilang sama Mama kalo ada yang bikin ulah lagi."
Raya hanya menghela napas. Gadis itu langsung pergi menaiki tangga. Kalimat terakhir mamanya sama sekali tidak membawa pengaruh apa pun. Entah sudah berapa kali dia melapor pada Kepala Sekolah tentang kasus bully yang dialami Raya. Namun ya tetap saja, Kepala Sekolah SMA Cakrawala adalah Anthony, mantan suaminya. Jadi hal itu tidaklah berguna sama sekali.
?
Suasana sekolah sudah cukup ramai ketika Raya sampai. Pagi ini dia bangun kesiangan. Gadis itu tidak bisa tidur karena kakinya yang terus berdenyut. Benar saja dugaannya, kakinya memang memar.
"Raya!"
Raya tahu namanya dipanggil. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Dan dia juga tahu siapa pelakunya, jadi dia tidak perlu repot-repot menolehkan kepala.
"Kok lo jalannya agak pincang gitu? Kaki lo sakit?"
Raya terlalu malas menanggapi. Dia hanya bergumam pelan dan menyingkirkan tangan Kayla yang melingkar di bahunya.
"Lo jatuh?"
Raya tidak menjawab. Dia justru mempercepat langkah dan meninggalkan Kayla yang kini tengah menggembungkan pipi. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang. Kayla menoleh.
"Sabar, ya. Dia tuh gak suka temenan sama manusia." Orang itu terkekeh. Namun di detik berikutnya tubuhnya limbung hampir menubruk tiang koridor karena menginjak tali sepatunya sendiri.
"Astagfirullah!" Angkasa mengelus dadanya karena wajah tampannya terselamatkan. Sementara Kayla hanya menatap Angkasa dengan tatapan aneh dan pergi meninggalkan lelaki itu.
Tepat di depan sana, Raya mengangkat salah satu bibirnya. Memberi Angkasa pelajaran memang tidak pernah puas baginya.
Namun langkah Raya mendadak berhenti ketika seseorang tiba-tiba berdiri menghadangnya. Tubuhnya seakan membatu.
Perasaan Raya mendadak tidak tenang. Kenapa Gavin tiba-tiba menghadangnya begini? Jangan-jangan dia menyadari dirinya yang membuat ban motornya bocor kemarin. Habislah!
Tapi sungguh, jika saja Raya tahu kalau pemilik motor itu adalah Gavin, dia tidak akan melakukannya.
"Ikut gue." Gavin memberi kode agar Raya mengikutinya. Gadis itu menurut ketika mereka masuk ke dalam ruangan OSIS yang sepi.
Gavin menutup pintu. Hanya ada mereka berdua, dan hal itu membuat pikiran Raya tidak keruan.
Lelaki itu menyandarkan pinggulnya di sebuah meja dengan kedua tangan yang sengaja dilipat di depan d**a. Kedua matanya menatap lurus ke arah Raya.
"Lo Raya, kan?"
Raya menelan ludah. "I-iya."
"Ada yang pengin gue omongin."
Deg.
Kedua mata Raya mengerjap. Apa Gavin akan memukulinya? Mencaci maki dirinya? Atau memberinya hukuman?
"Kemarin—"
Sungguh, Raya tidak ingin mendengarnya.
—tbc