8. Ada Apa Dengan Angkasa?

1100 Kata
Gavin tidak melanjutkan ucapannya begitu melihat Raya menunduk. Gadis itu terlihat seperti seorang pencuri yang sedang diinterogasi. Salah satu sudut bibir Gavin terangkat. "Santai aja kali. Gue kan cuma ngajakin lo ngobrol doang," ucapnya. Raya masih menunduk. Gadis itu terlalu takut hanya untuk sekadar mengangkat wajah. Gavin adalah ketua OSIS di sekolahnya. Bisa saja lelaki itu adalah musuh terbesarnya. "Lo orang yang suka diomongin sama murid-murid kan?" Raya menahan napas. Dia paling benci jika sudah membahas hal ini. "Mungkin." "Kok mungkin?" "Gue gak pernah dengerin apa yang mereka omongin." Raya mengangkat wajahnya. Salah satu alis Gavin terangkat. "Bukanya lo bisa baca pikiran orang ya? Emang gak pernah ada yang bilang gitu, tapi gue bisa narik kesimpulan dari setiap omongan mereka." Lelaki yang kini berada di hadapan Raya bisa saja langsung menghantam permukaan dinding hingga hancur. Tapi Raya tahu batasan. Dia tidak ingin menimbulkan masalah. "Dan gue tahu satu rahasia yang gak pernah orang lain tahu." "Maaf, Kak. Bel udah bunyi." Raya semakin tidak tenang. Pikiran Gavin mudah sekali terbaca. Raya bisa dengan mudah mengetahui kalimat yang akan keluar dari mulut Gavin. Namun Gavin sepertinya tidak membiarkannya pergi begitu saja. Lelaki itu langsung mencekal tangan Raya bahkan sebelum gadis itu berbalik. "Lo ... Anak kandung Kepala Sekolah, kan?" Kedua mata Raya membelalak. Dia sudah menduga ini. "Pak Anthony itu, bokap lo. Gue bener, kan?" BRAKKK! Pintu tiba-tiba terbuka lebar dan menampakkan Angkasa di baliknya. "Oh, jadi gini kelakukan Ketua OSIS sebelum jam pertama?" Lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan berjalan mendekati Gavin dan Raya yang cukup terkejut dengan kedatangannya. Angkasa melirik ke arah tangan Gavin yang masih memegang lengan Raya. "Siapa lo?" Gavin menurunkan tangannya dan menatap Angkasa dengan tatapan tidak suka. Apalagi lelaki itu secara tiba-tiba mendobrak pintu ruangan OSIS seenaknya. "Gue?" Angkasa melirik Raya sejenak dan berkata dengan lantang, "GUE TANGAN KANANNYA PAK AGUNG! HAHAHA. MAU APA LO?!" "Tangan kanan Pak Agung?" "Iya! Kalian gak denger barusan bel bunyi? Bukannya masuk kelas malah berduaan di sini. Sepi lagi. Kalian—" "KALIAN MAU BAPAK HUKUM?!" Tiba-tiba Pak Agung muncul dari belakang Angkasa dan langsung menjewer salah satu telinga lelaki itu hingga mengaduh. "Awwww! Ampun, Pak!" "Ngapain kalian di sini? Dan kalian berdua ini baru saja Bapak hukum kemarin. Mau Bapak hukum lagi?" Pak Agung menatap Raya dan Angkasa bergantian. "Dan kamu, Gavin. Kamu Ketua OSIS. Harusnya kamu jadi contoh yang baik. Apalagi kamu itu kakak kelas mereka." "Maaf, Pak." "Hahaha. Sukurin!" Angkasa tertawa dengan tidak tahu malu, apalagi tangan Guru BK sekolahnya itu masih bertengger di telinganya. "KAMU JUGA SAMA!" Pak Agung semakin keras menjewer telinga Angkasa hingga lelaki itu menjerit. "AMPUN PAAAKKKK!" "Maaf, Pak." Raya berujar pelan. "Kalau begitu saya ke kelas." Raya segera pergi dari sana. "Saya? Heh! Maksud lo itu kami, kan? Woi!" Angkasa menatap punggung Raya yang menjauh dengan sebal. "Dasar gak tahu berterima kasih!" Angkasa mencebikkan bibir. "Tuh kan, Pak! Dasar murid durhaka! Masa dia langsung pergi gitu aja? Hukum aja dia Pak!" Pak Agung memelototkan matanya. "Kamu ini berisik sekali! Sekarang kalian pergi ke kelas sebelum benar-benar Bapak hukum!" Lelaki paruh baya itu melepaskan tangannya. Dia menatap kedua murid itu bergantian sebelum akhirnya pergi. Angkasa meringis pelan sembari mengusap telinganya yang memerah. Dia lalu menatap Gavin dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ngobrol di tempat rame juga bisa, kan?" ujarnya dan langsung pergi. ? Raya menutup bukunya begitu pelajaran usai. Fokusnya sedikit teralih selama materi berlangsung setiap kali mengingat ucapan Gavin tadi. Pasalnya, lelaki itu tahu kemampuan Raya. Dia bahkan bisa tahu tentang Anthony. Semua orang di sekolahnya bahkan tidak tahu tentang kedua hal itu. Lalu dari mana Gavin tahu? "Ada yang bisa bantu Ibu membawa buku paket ke ruang guru?" Seorang guru yang baru saja selesai mengajar di kelasnya menatap satu per satu murid. Beberapa pasang mata bahkan terlihat seperti sengaja mengalihkan kontak mata mereka. "Biar saya aja, Bu." Raya maju ke depan dan mengambil setumpukan buku paket Fisika. Gadis itu lalu melangkahkan kakinya ke luar kelas tepat di belakang sang guru. Berusaha mengabaikan obrolan murid lain tentang dirinya. Gadis itu tersenyum kecut. Mau sampai kapan dia sendiri? Tanpa seorang teman, masa sekolah tidaklah berarti. Itulah yang Raya rasakan saat ini. Teman yang harusnya melengkapi masa-masa di sekolah, berjuang bersama, tertawa bersama, justru malah berbalik menyerang secara perlahan, namun bertubi-tubi. Beberapa murid laki-laki menyingkir saat dirinya berjalan melewati tangga. Raya sedikit bersyukur setidaknya dia tidak sendiri kali ini. Dia bersama seorang guru, jadi murid-murid itu tidak akan berani mengganggunya. Di anak tangga terakhir, tiba-tiba seseorang menyusul langkahnya dari belakang. "Lo kok hobi banget bawain buku paket? Cari muka di depan guru ya?" Raya mengabaikan ucapan lelaki di sebelahnya. Telinganya bahkan terlalu bosan mendengar suara itu. Raya tidak mengerti, sejak kapan seorang Angkasa Danial jadi begitu cerewet padanya? Lelaki itu bahkan sering menganggapnya hantu dan ketakutan. "Pecat aja KM kelas lo. Payah banget, masa bawa buku paket segini aja gak mau." Tiba-tiba Angkasa meraih semua buku paket yang berada di tangan Raya. Hal itu tentu saja mengejutkan Raya, namun Angkasa kembali berceloteh ketika dirinya hendak mengeluarkan protes. "Sssttt! Hari ini gue dua kali nolongin lo. Lo harus balas budi sama gue." Kening Raya berkerut. 'Dua kali?' Mereka berdua memasuki ruang guru secara bersamaan untuk kedua kali. "Makasih ya, Ra— loh? Kok malah kamu yang bawa?" Angkasa hanya nyengir dan dengan tidak tahu malunya berkata, "sudah tugas seorang laki-laki membantu setiap wanita." Raya melirik Angkasa yang masih memasang tampang menyebalkan. Sementara guru itu hanya menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan kelakuan Angkasa. "Ya sudahlah, terserah kamu saja. Terima kasih. Kalian bisa kembali." Angkasa dan Raya pamit sebelum akhirnya pergi. "Oh, jadi gak ada ucapan makasih nih?" ujar Angkasa begitu mereka melewati pintu. "Buat?" Kedua alis Raya bertaut. Hal itu membuat Angkasa gemas bukan main. Sepertinya dugaannya benar, kalau Raya bukanlah manusia. "Heh, Markonah! Gue barusan bantuin lo!" Raya semakin bingung dibuatnya. Siapa itu Markonah? Bukankah sudah jelas kalau namanya itu Raya? Angkasa bahkan sudah tahu itu. Dan lagi, Raya tidak pernah meminta Angkasa membantunya, kan? "Gue bukan Markonah," ujar Raya. "Lo punya penyakit Alzheimer, ya?" Angkasa memelotot. Mood-nya seketika turun. Mengajak Raya bicara memang harus memerlukan emosi yang ekstra. Kesabaran saja tidak cukup. "BODO AMAT ANJIR! NYESEL GUE BANTUIN LO! PERGI SANA! HUSSS ... HUSSS!" Angkasa menatap Raya yang langsung pergi begitu saja. Lelaki itu seketika melongo. "Lho, kok langsung pergi? Woi! Setidaknya bilang maaf kek. Yaelah ... Dasar bukan manusia!" Angkasa menghentakkan kakinya sebal. Tiba-tiba sebuah kerikil melayang tepat mengenai keningnya. Pletak! "Awwwww!" Angkasa langsung mengaduh dan mengelus keningnya. "Batu dari mana sih? Berani banget bikin lecet jidat glowing gue! Allahuakbar!" Jauh di depan sana, Raya menyeringai tipis. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN