6. Permintaan Pertemanan

1110 Kata
"Lo pasti mau ketawain gue kan?" tuduh Angkasa begitu keluar ruangan. Salah satu alis Raya terangkat. "Kenapa gue harus ketawain lo?" "Tadi wali kelas lo nyebutin aib gue! Dan sekarang lo pasti mau ngejek gue, iya kan?" Raya tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki itu. Kenapa isi otaknya selalu saja negatif setiap kali mereka bertemu? "Setiap murid pernah dihukum. Apanya yang lucu?" Angkasa bungkam telak. Benar juga, pikirnya. Seketika dia merasa bodoh. Kenapa juga harus berpikir sampai ke situ? Jangankan mengejek, jatuh dari tangga saja ekspresi Raya masih tampak datar. Benar-benar gadis aneh. Langkah mereka terhenti saat berpapasan dengan seseorang. Angkasa tersenyum tipis. "Siang, Pak," sapa lelaki itu pada sosok di depan mereka. Namun Angkasa terdiam saat menyadari tatapan pria dewasa di depannya tertuju pada Raya. Sementara Raya terlihat membuang mukanya ke arah lain. Pria di depannya kembali berjalan hingga melewati mereka berdua. Angkasa lalu menatap Raya yang masih menatap ke arah lain. Ketika hendak bertanya, Angkasa tanpa sengaja melihat tangan Raya mengepal. Seketika keningnya berkerut. "Heh! Lo punya dendam kesumat apaan sama Kepsek?" tanya Angkasa. Terselip nada candaan di dalamnya, namun ketika Angkasa menyentuh bahu Raya, gadis itu langsung menepis tangannya dengan begitu kasar dan segera melangkahkan kaki meninggalkannya. Namun bukan Angkasa namanya jika hanya berdiam diri. Lelaki itu segera menyusul langkah Raya. "Woi! Gue barusan nanya sama lo! Sikap lo kok kayak gitu sama Kepala Sekolah? Emangnya lo gak takut apa di DO—" bibir Angkasa secara otomatis mengatup saat Raya secara tiba-tiba membalikkan badannya. Aura gadis itu seketika berubah suram, entah kenapa. Tatapannya seakan menghujam masuk ke dalam bola mata Angkasa. "Jangan ganggu gue," ucap Raya dengan nada rendah. Dia kembali pergi. Meninggalkan Angkasa dengan sejuta tanda tanya di kepalanya. Lelaki itu kini hanya menatap punggung Raya yang menjauh. "Kenapa dia harus semarah itu?" gumam Angkasa. Seketika tanda tanya lain muncul di kepalanya. Memang tidak jelas, namun dia yakin. Kalau tadi dia melihat ada cairan yang menggenang di pelupuk mata milik Raya. *** Pintu ruangan itu ditutup dengan cukup kasar. Helaan napas berulang kali terdengar. Seorang pria duduk di sebuah sofa dan memijit pelipisnya. Mengingat kejadian tadi entah kenapa membuat dadanya terasa agak sesak. Raya. Iya, gadis itu. Mengingat tatapannya tadi mendadak dadanya terasa aneh. Anthony mengusap wajahnya kasar dan menengadahkan kepala menatap langit-langit ruangan. Kebencian masih membekas dalam dirinya. Dia yang masih begitu yakin kalau gadis itulah yang selama ini menghancurkan hidup serta menyebabkan rumah tangganya dengan Yuli retak dan dia kehilangan putra kebanggaannya. Sampai saat ini dia yakin kalau Raya adalah penyebab kematian Rama beberapa tahun silam. Namun apakah dia harus membenci Raya sampai sejauh itu? Dan lagi, kini Raya dan Yuli –mantan istrinya– telah membencinya. Melihat bagaimana reaksi Raya tadi saat mereka bertemu, membuat Anthony yakin kalau putrinya itu kini benar-benar membenci dirinya. Sial. Mengingat semua itu membuat kepala Anthony pusing. Raya pasti memantrai dirinya ketika mereka berpapasan tadi. Tangannya bahkan sampai bergetar saat hendak mengambil segelas air di atas meja. Suara nyaring terdengar begitu gelas itu meluncur begitu saja dari tangannya ke lantai hingga berubah menjadi kepingan. Kepalanya menoleh dengan cepat ke jendela ruangannya dan melihat siluet seseorang yang berlari menjauh. Rahangnya seketika mengeras. "Aku sudah menduga kalau ini semua ulah kamu," ucapnya. "Kamu sama saja dengan ibumu yang penyihir itu. Dasar biadab. Merencanakan kematian anaknya sendiri demi menguasai semua harta kekayaanku. Memangnya dia pikir dia siapa? Dia hanya wanita yang beruntung pernah aku nikahi. Dan itu tidak lagi." "Batalkan Rama ke perlombaan itu. Biarkan dia tetap di rumah. Tolong. Atau sesuatu terjadi pada anakku nanti. Tolong, Mas. Ini menyangkut hidup dan mati anak itu. Anak kita." Mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduk Anthony meremang. Ucapan itu bukanlah yang pertama kali dilontarkan Yuli padanya. Karena jauh sebelum itu, Yuli beberapa kali berkata tentang hal-hal tidak masuk akal tentang Rama. Melarangnya ikut lomba mana pun dan menyuruhnya untuk diam di rumah ketika pulang sekolah. Sementara Raya –kembarannya- sering bertingkah aneh. Barang-barang seringkali jatuh saat di dekatnya dan berakhir dengan tangisan anak itu. Dia selalu menangis histeris saat Anthoni memikirkan hal buruk tentangnya, juga setiap kali ada orang-orang yang berbisik di dekatnya, Raya pasti tidak segan untuk memarahi dan membentak mereka. Pernah suatu hari Anthoni mencoba membuktikan pemikirannya. Dia memaki-maki putrinya di dalam hati ketika mendapat nilai ulangan anak itu jelek dibanding Rama. Anthony bahkan membanding-bandingkan Raya dengan Rama. Dan hasilnya? Sangat mengejutkan. Raya secara mengejutkan terisak di hadapannya. Padahal Anthony tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dari situlah dia mulai paham. Putrinya itu memiliki dua kelebihan yang dipercayakan Tuhan padanya. Yakni membaca pikiran dan telekinetik. Sementara Yuli bisa membaca masa depan seseorang. Setelah Anthony mengetahui itu semua, dia segera mengusir Yuli dan Raya pergi dari rumahnya tidak lama setelah kematian Rama. Entah dari mana asalnya kemampuan mereka itu berasal, Anthony tidak peduli dan tidak ingin hidupnya dikutuk oleh hal-hal tidak masuk akal lainnya. *** Raya mempercepat langkahnya menjauhi ruangan milik Anthony dengan napas yang memburu. Gadis itu tidak bisa berlama-lama di sana, atau semua kenangan pahit masa lalunya kembali lagi dan memaksa dirinya untuk menghancurkan pria itu. Pria jahat yang membuang dirinya dan sang mama dengan tidak manusiawi. Pria jahat yang tidak lain adalah ayah kandungnya sendiri. Bruk! Tubuh Raya terhuyung ke lantai begitu dirinya menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan? Maaf. Gue gak sengaja." Orang itu membantu Raya berdiri. "Maaf, ya," ulangnya lagi. Raya terdiam. Dia segera bangkit dan menjauhkan tangan itu hingga membuat si pemiliknya sedikit terkejut. "Gue gak apa-apa kok," ucap Raya. "Lagian lo gak perlu minta maaf. Gue yang nabrak lo." Diluar dugaanya, orang yang berada di hadapannya itu malah tersenyum hingga mengulurkan tangan secara tiba-tiba padanya. "Gue Kayla," ucapnya masih dengan senyum yang mengembang. Raya menatap tangan itu tanpa berniat membalasnya. Dia tentu tahu siapa yang sedang berada di depannya. Bahkan semua orang di sekolahnya juga tahu. Kayla adalah putri dari kepala sekolahnya yang tidak lain adalah Anthoni, ayah Raya. Tidak kunjung mendapatkan respon, gadis bernama Kayla itu secara tiba-tiba menarik tangan Raya agar menjabat tangannya. "Lo pasti Raya, kan? Orang-orang suka ngomongin lo. Emm ... Gue gak terlalu ngikutin apa yang mereka omongin sih. Dan gue gak peduli." Kayla kembali tersenyum padanya. Raya baru saja hendak pergi, namun Kayla buru-buru menahan lengannya. "Gue ... Boleh kan jadi temen lo?" Dahi Raya berkerut. Apa dia tidak salah dengar? Atau Kayla memang sedang menjebaknya? "Plissss ... Gue gak ada niat jahat kok. Suer deh." Tangan Kayla membentuk huruf V. Raya masih bergeming tanpa ada satu pun kalimat yang keluar dari bibirnya. "Lo ngomong sama orang yang salah." Raya berujar dengan begitu dingin sembari melepaskan tangan Kayla dan langsung pergi meninggalkannya. Kayla membuang napas. Bibirnya membentuk sebuah garis yang melengkung ke bawah. "Gue salah ngomong ya?" —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN