17. Rama Avian

1016 Kata
Bagaimana rasanya memiliki seorang kembaran? Dia adalah belahan jiwamu, separuh hidupmu, dan dia adalah refleksi dirimu. Jika yang satu tengah berbahagia, maka yang satu lagi akan merasakan hal yang sama. Begitu pun sebaliknya, jika yang satu tengah sedih maka hal yang serupa pun akan dirasakan oleh yang satunya lagi. Namun, bagaimana jika kesedihan itu disebabkan oleh kembaranmu? Dia pergi, jauh sekali dan takkan pernah kembali. Meninggalkanmu sendiri. Kau harus berjuang menjalani hidup, kehilangan separuh hidup dan warasmu. Air mata kembali jatuh menuruni pipi Raya. Dia bersimpuh di depan sebuah pusara. Dengan bahu yang bergetar, dia menyentuh ukiran nama yang berada di sana. Rama Avian Gadis itu tersenyum getir. Orang yang berada di hadapannya, yang kini sudah berada di hadapan Tuhan adalah kembarannya, belahan jiwanya, dan juga separuh hidupnya. Raya selalu merasa gagal menyelamatkan nyawa lelaki malang itu. Lelaki yang mengorbankan segalanya bahkan ketika maut menjemputnya. "Maaf, Ram. Harusnya aku yang ada di sana, bukannya kamu. Maaf." Raya memeluk pusara Rama dan menumpahkan air matanya. Dia selalu teringat ketika mobil Anthony yang dia naiki bersama Rama menabrak pembatas jalan karena sebuah kecelakaan beruntun. Jeritan, teriakan, dan ledakan langsung kembali menghampiri ingatannya. Tubuh Raya kecil yang terpental keluar dari mobil membuat kepalanya terluka cukup parah. Sementara Anthony berusaha keluar dari mobil yang sudah mengeluarkan asap dan tidak lama dia kehilangan kesadarannya. Raya yang tergeletak di permukaan aspal berteriak semampunya dengan suara bergetar bercampur tangis. Bukan, bukan dia yang harus ditolong. Tapi seseorang yang masih berada di dalam mobil itu. Seorang anak laki-laki yang hampir kehilangan kesadarannya. Anthony melupakan anak itu! Meskipun samar, namun Raya kecil bisa melihat Rama yang menatapnya. Anak itu tersenyum tipis. "Kak Rama!" Raya berusaha berontak ketika ada beberapa orang yang mengangkat tubuhnya. Jeritan kembali terdengar, ketika mobil milik Anthony jatuh ke sebuah sungai dan diikuti oleh sebuah ledakan. "KAKAK!!!" ? Kedua mata Raya mengerjap sebelum benar-benar terbuka sempurna. Dia melihat ke sekeliling yang sudah mulai gelap, sebelum akhirnya dia menatap kembali pusara milik kembarannya. Rupanya dia tertidur. "Hei .... " Raya menoleh ketika seseorang memanggilnya. Matanya seketika membulat. "R-Rama?" lirihnya dengan mata yang kembai berkaca-kaca, namun masih bisa terdenga jelas oleh orang itu. "I-ini gue, Angkasa." Orang itu langsung gelagapan ketika Raya menyebut Rama. Dan setelah mengucapkan itu, bayangan Rama perlahan memudar. Wajahnya diganti oleh wajah milik Angkasa. "Sori, gue—" "Iya, gapapa. Gue ngerti kok." Angkasa menatap ukiran nama Rama. "Lo ngapain di sini?" "Gue ngikutin lo." Sedetik kemudian ekspresi wajah lelaki itu kembali berubah. "Eh, tapi lo gak usah kepedean! Gue bukan khawatir, cuma gak sengaja liat lo ke sini! Jadi gue ikutin. Gue ngira kalo lo tuh mau ke tempat asal lo! Lo kan asalnya emang dari tempat kayak gini. HAHAHAHA." Raya hanya memandang datar Angkasa tanpa berniat ikut tertawa. Gadis itu lalu beranjak dan membersihkan seragamnya yang agak kotor. "Ehh .... Kok gue ditinggal sih? Woi!" Angkasa menatap sekeliling yang sepi dan langsung berlari mengejar Raya. "Lo mau gue anterin pulang? Udah mau malem nih." "Gak usah." "Lo gak takut?" "Kenapa gue harus takut kalo nyatanya orang-orang yang takut sama gue?" Hening. Raya selalu bisa membuat Angkasa bungkam. Hampir setiap ucapannya menyiratkan kekesalan dan kesedihan. Gadis itu benar-benar kesepian. "Gak usah ngerasa kasihan sama gue," ujar Raya ketika langkah mereka berhenti di tepi jalanan. Tatapan matanya lurus ke depan namun terlihat sendu. "Gue tahu kalo nyokap gue cerita sama lo tentang apa yang terjadi sama Rama. Dan lo ngerasa kasihan sama gue. Lo ngerasa kalo gue kesepian dan butuh seorang teman. Iya kan? Gue tahu itu. Gue tahu semua yang ada di otak lo tentang gue." Angkasa masih terdiam. Ya, ucapan Raya memang benar. Gadis itu selalu bisa dengan mudah menebak pikirannya. "Gue gak mau ngelibatin lo dalam kehidupan gue. Sebaiknya lo pergi, kalau lo gak mau dapat masalah. Gue bisa ngelakuin apa pun yang gue mau bahkan dengan mata tertutup sekalipun." Raya memberhentikan sebuah taksi yang lewat. Gadis itu langsung masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meninggalkan Angkasa yang masih berada di sana. Lewat spion, Raya bisa melihat Angkasa yang menatap ke arahnya. "Maaf. Gue gak mau libatin lo dalam kehidupan gue. Gue yakin takdir ini bisa diubah. Maafin Raya, Ma. Raya gak bisa nerima takdir seperti ini. Raya gak mau melibatkan siapa pun." ? Lantunan lagu milik Kodaline yang berjudul All I Want terdengar memenuhi kamar milik Angkasa. Lelaki itu berbaring di ranjang sembari menatap langit-langit kamarnya. Ucapan Raya selalu terngiang di benaknya. Raya memang benar, Angkasa memang kasihan terhadapnya. Terlebih ketika mengetahui kalau wajah kembaran gadis itu mirip dengan dirinya meskipun hanya sedikit. "Meskipun tatapan dia dingin, gue bisa lihat kesedihan di mata dia." Angkasa menatap ke luar jendela kamarnya. Selama ini dia memang tidak begitu mendengarkan obrolan teman-teman kelasnya setiap kali membicarakan Raya. Selain karena tidak tertarik, dia juga beranggapan kalau obrolan mereka hanya omong kosong dan tidak masuk akal. Namun siapa sangka kini malah dirinya sendiri yang terjebak di dalamnya. Sosok Raya yang selalu dibicarakan oleh orang-orang, ternyata menyimpan begitu banyak luka. Gadis misterius yang tidak pernah tersenyum dan jarang bicara, membuat siapa saja mengurungkan niat untuk mengajaknya berteman. Namun ada satu hal yang Angkasa sadari. Raya tidak pernah menyakiti siapa pun meskipun itu justru menyakiti dirinya sendiri karena harus menelan setiap ucapan yang didengarnya. Gadis itu hanya akan memberikan sedikit pelajaran seperti melayangkan kerikil-kerikil kecil seperti apa yang dia lakukan pada Angkasa, merubuhkan meja, atau pun membuat mata setiap orang kelilipan. Hanya sebatas itu, tidak lebih. Dan satu lagi. Meskipun Angkasa belum menanyakannya secara langsung, dia yakin kalau gadis yang menolong mamanya dari preman adalah Raya. Dia yakin. Angkasa bahkan masih ingat ketika tangan Raya terluka. "Gue gak mau ngelibatin lo dalam kehidupan gue. Sebaiknya lo pergi, kalau lo gak mau dapat masalah. Gue bisa ngelakuin apa pun yang gue mau bahkan dengan mata tertutup sekalipun." Raya sudah menarik dirinya dari orang lain dan memilih sendiri. Sudah terlalu banyak luka yang diterimanya selama ini. Haruskah Angkasa melakukan sesuatu? Tapi berkali-kali Raya menolaknya bahkan ketika dia baru saja melangkah. Gadis itu memintanya pergi, menjauh sejauh mungkin dan memintanya agar tidak kembali lagi. Ataukah ada sesuatu yang dia sembunyikan? Lantas kali ini apalagi? —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN