"Besok, Kak Gavin ulang tahun. Gue denger sih, anak-anak OSIS mau bikin kejutan gitu. Tapi kalian jangan bilang-bilang ya. Soalnya gue juga gak sengaja denger Kak Sarah tadi pas di toilet." Gadis dengan bando merah menyala itu terkekeh. Sementara teman-temannya yang mengerubunginya tampak begitu penasaran.
"Kira-kira Kak Gavin bakalan nembak cewek gak ya?" Salah satu temannya memasang raut wajah penasaran.
"Kak Gavin kan gak pernah deket sama cewek mana pun. Yah, paling deket gitu doang."
Raya berusaha mengabaikan obrolan teman-teman kelasnya itu namun percuma. Suara mereka terlalu nyaring untuknya hingga terasa menusuk ke dalam telinga.
Raya pun memutuskan untuk pergi dari sana. Namun perkiraannya salah, karena meskipun dia tidak bisa mendengar ucapan gadis-gadis itu, justru kini ucapan Gavin-lah yang mengganggu isi kepalanya. Ucapan Gavin saat di ruang OSIS bahkan masih dia ingat dengan jelas. Sangat jelas.
"Bukanya lo bisa baca pikiran orang ya? Emang gak pernah ada yang bilang gitu, tapi gue bisa narik kesimpulan dari setiap omongan mereka."
"Lo ... Anak kandung Kepala Sekolah, kan?"
Kepala Raya mendadak pening. Kenapa Gavin bisa tahu tentang semua itu? Dan yang paling penting adalah, dari mana Gavin tahu kalau dirinya adalah anak dari Anthony, Kepala Sekolah SMA Cakrawala?
"Gue harus cari tahu. Bisa gawat kalau dia sampai bocorin hal ini ke anak-anak lain." Raya mempercepat langkahnya menuruni satu per satu anak tangga. Tujuan gadis itu adalah ruang OSIS. Semoga saja Gavin saat ini ada di sana.
Pintu ruangan OSIS tertutup rapat begitu Raya sampai. Suasana di sana pun sepi, padahal biasanya ada beberapa siswa yang berkumpul.
Raya pun mengetuk pintu tiga kali dan menggenggam handle. Pintu perlahan terbuka, gadis mulai melihat siluet seseorang.
Namun bukan ini yang ingin dilihatnya. Otaknya tengah berpikir dengan keras, pemandangan di depannya-
"Kenapa diem? Masuk aja."
Kedua kaki Raya perlahan maju mendekati orang yang duduk di atas meja. Gadis itu menutup pintu dan kedua matanya langsung memicing ketika indra penciumannya terganggu. Gavin memang ada di sana, namun bukan hal seperti ini yang ingin dia dapatkan.
Gavin menatap Raya sekilas dan mengembuskan kepulan asap yang keluar dari bibirnya ke udara.
"Kenapa? Kaget?" Gavin berujar santai dengan salah satu sudut bibir yang naik. Sementara Raya masih bungkam. Gadis itu terlalu terkejut melihat Gavin. Sebuah batang rokok yang masih menyala terselip di antara jari tengah dan telunjuk lelaki itu.
"Lo gak seharusnya ngerokok di sekolah. Apalagi sekarang masih-"
Tiba-tiba Gavin tertawa pelan. "Lo mau laporin gue ke BK? Atau .... Mau aduin kelakuan asli gue ke anak-anak lain?" Lelaki itu lalu mengangkat bahu. "Silakan. Gue gak peduli."
Kening Raya mengernyit. Gavin terlihat begitu santai, apalagi ketika Raya masuk ke dalam dan lelaki itu masih terlihat biasa saja dengan rokoknya. Bagaimana jika guru yang masuk?
"Lo gak takut? Gimana kalo yang tadi masuk itu guru, dan bukan gue?" tanya Raya.
"Karena gue tahu kalau lo bakalan ke sini." Gavin mengembuskan asap rokoknya ke wajah Raya hingga gadis itu terbatuk. Lelaki itu terkekeh. "Lo kepikiran ucapan gue yang tadi, kan?"
Gavin melempar rokoknya ke lantai lalu menginjaknya hingga padam. Digesernya benda itu ke kolong rak buku menggunakan kaki. Entah ada berapa batang rokok yang ada di bawah sana. Dia lalu beranjak dari kursi dan berjalan mendekati Raya.
"Dari mana lo tahu kalau gue anaknya kepsek?" ujar Raya to the point.
"Oh, jadi ucapan gue bener? Wow. Lo anaknya Kepala Sekolah tapi semua orang jauhin lo."
Tangan Raya sudah mengepal. Entah apa tujuan Gavin mengatakan semua itu.
"Ah, gue lupa. Orang tua lo bercerai. Sorry, gue gak bermaksud bikin lo sedih. Tapi ucapan gue bener kan?"
Raya mati-matian menahan diri agar tidak menghabisi Gavin di sana.
"Siapa yang udah kasih tahu lo?"
Bukannya menjawab, Gavin malah tertawa. "Gue baru sadar kalo sekarang lo gak manggil gue pake embel-embel 'Kak' lagi. Dan kayaknya dugaan gue salah. Gue pikir lo cewek lugu. Tapi ternyata, lo monster. Monster yang bisa nipu siapa aja. Berkedok tampang polos sementara di dalamnya tersembunyi monster yang sangat mengerikan."
"Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue."
Gavin mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Tiba-tiba tangannya terulur mengusap puncak kepala Raya dengan lembut. Raya tak tersentuh sama sekali, emosi gadis itu justru semakin naik. Tangannya pasti berhasil memberikan bekas kemerahan di pipi Gavin sebelum lelaki itu lebih dulu mencekal pergelangan tangannya dengan kuat.
"Pulang sekolah nanti, temui gue di belakang sekolah." Gavin mengatakannya dengan nada pelan, namun masih bisa terdengar jelas di telinga Raya. Kedua mata tajam lelaki itu masih menatap padanya.
?
Sesuai ucapan Gavin, Raya pergi ke taman belakang sekolah seusai pelajaran terakhir. Semua murid pun sedikit demi sedikit meninggalkan area sekolah.
Begitu sampai di sana, Raya bisa melihat Gavin yang sudah duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon beringin - tempat favorit Raya -. Tentu saja, dengan sebuah batang rokok menyala yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah.
"Gimana jam terakhir? Banyak tugas? Atau banyak nulis rangkuman?" tanya Gavin tanpa menolehkan kepala.
"Ngapain lo nyuruh gue ke sini?"
Lagi-lagi Gavin hanya tersenyum. Dia masih asyik mengembuskan asap-asap rokok miliknya.
"Guru-guru masih belum pulang dan lo dengan santainya ngerokok di sini. Lo itu Ketua OSIS dan lo murid kelas dua belas. Lo harus kasih contoh yang bagus. Terutama buat adik kelas lo."
"Adik kelas?" Gavin tertawa pelan. "Siapa yang lo maksud? Elo?" Gavin melempar rokoknya ke permukaan rumput dan menginjaknya hingga padam.
"Kalo gak ada hal penting yang mau lo omongin, gue pergi." Raya berbalik dan pergi dari sana. Namun ternyata Gavin juga tidak diam begitu saja, lelaki itu dengan cepat mengejar dan dengan tidak tahu malunya langsung merangkul bahu Raya sampai gadis itu harus menepis tangan Gavin berkali-kali.
"Lo gak ada niatan minta maaf?" tanya Gavin masih dengan tangan yang bertengger di bahu Raya. Selang beberapa detik tidak mendapatkan jawaban, lelaki itu lantas berdehem. "Lo kemarin yang bikin ban motor gue bocor, kan?"
"Lo bahkan gak minta maaf sama gue. Dan gue rasa gue gak perlu minta maaf."
"Gue gak sengaja. Oke, gue minta maaf bikin seragam lo kotor kemarin."
"Lo sengaja. Dan gue tahu itu."
Gavin mengusap wajahnya. Raya benar-benar pintar menguras emosi.
"Lo sengaja ngelakuin itu untuk ngebuktiin dugaan lo. Ngebuktiin ucapan semua orang. Dan lo bener. Gue bisa baca pikiran, dan gue punya kemampuan telekinesis. Meskipun orang-orang gak seteliti isi kepala lo," ucap Raya. Dan ucapannya langsung disambut oleh suara tepuk tangan Gavin.
"Tepat sekali. Keren banget lo. Gue bahkan gak ngomong soal itu sepatah kata pun." Gavin melipat kedua tangannya di depan d**a sesaat setelah melirik jam tangan yang melingkar di salah satu pergelangan tangannya.
"Udah sore. Mau gue antar pulang sekalian?"
"Gak usah."
"Kenapa? Lo takut?"
"Urusan lo sama gue udah selesai. Lo gak perlu nanya-nanya lagi. Sorry, gue duluan." Raya mempercepat langkahnya dan meninggalkan Gavin.
—tbc