Suasana kelas mendadak ramai begitu Pak Tomi keluar. Beberapa gadis terlihat berkumpul, dan hal itu terlihat sangat menyebalkan bagi Angkasa yang berada tepat di belakangnya. Lelaki itu mengambil ponsel dan membuka salah satu game favoritnya.
"Sejak kapan sih Kak Gavin deket sama Raya?"
"Tadi gue lihat mereka berangkat bareng."
"Hah? Serius?"
"Gavin gak mungkin naksir tuh cewek, kan?"
"Ah, enggak mungkin. Masa iya sih?"
"Raya tuh serem tauk, dia kan sering celakain orang gitu. Masa tiba-tiba meja di kantin ambruk pas ada dia. Kan serem."
Salah satu tangan Angkasa mencoba menutup sebelah telinga. Mendengar gosip bukanlah hal yang dia sukai. Itu sangat mengganggu konsentrasi, apalagi ketika dia bermain game seperti saat ini.
"Tapi tadi so sweet gak sih pas Gavin nyuapin kue ke Raya?"
"Gue iri banget, sumpah."
"Jangan-jangan Gavin dipelet!" Kerumunan itu mendadak semakin gaduh dan heboh.
"Ih, zaman sekarang kok masih mainan pelet!"
"Mereka pacaran gak sih?"
"Ah, palingan Gavin tuh cuma iseng. Gue yakin. Mereka kan emang gak pernah kenal."
"BERISIIIKKKKK!!!!" Tiba-tiba Angkasa menggebrak meja hingga gadis-gadis di depannya terlonjak.
"Ini sekolah woi! Bukan tempat buat ngegosip! Berisik banget!" Angkasa beranjak dari bangkunya dan pergi. Lelaki itu bahkan sampai menendang salah satu kursi hingga terjungkal. Orang-orang yang berada di kelas seketika menatapnya, termasuk Sam yang baru saja masuk.
Angkasa memasukkan ponselnya ke dalam saku. Namun ucapan gadis-gadis tadi seperti berbekas di kepalanya.
"Kenapa sih, hobi banget ngurusin hidup orang? Dasar cewek!" ujarnya sebal. Kedua matanya mendadak memicing saat melihat seseorang yang berjalan tidak jauh di depan. Sudut bibirnya tertarik dan dia diam-diam berlari menghampiri sosok itu.
"DORRR!!!" Dia berteriak sembari menepuk bahu orang itu hingga orang-orang di sekitar menoleh padanya. Namun si pemilik bahu tampak biasa saja, bahkan menolehkan kepala pun tidak.
"Lho, lo gak kaget?" Angkasa terlihat kebingungan karena usahanya gagal. Raya sama sekali tampak biasa saja, tidak terkejut sedikit pun.
"Apaan sih, gak jelas." Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya mendahului Angkasa. Lelaki itu sampai terbengong-bengong. Orang-orang saja sampai terkejut, kenapa Raya tidak?
"Heh! Telinga lo bermasalah, ya?" Angkasa menyusul langkah Raya dengan cepat.
"Lo gak punya jantung? Kok lo gak kaget?"
Raya membuang napas. Dia ingin sekali meninju mulut Angkasa. Lelaki itu benar-benar tidak bisa jadi pendiam, sehari saja.
"Oh, iya. Tumben lo gak bawa buku paket lagi?" Angkasa tertawa mengejek. "Gak mau gue bantuin lagi ya? Tenang, gue gak bakalan minta bayaran kok."
Raya mempercepat langkahnya, namun Angkasa lagi-lagi menyusul bahkan sampai ke kantin.
"Lo mau pesen apa? Jus otak? Sup ginjal? Bola-bola mata crispy?"
"Gue bukan psikopat! Dan sebaiknya lo pergi. Jangan ganggu gue." Raya menatap Angkasa dengan pandangan sebal. Gadis itu berjalan ke salah satu penjaga kantin dan memesan bakso dan es jeruk. Sejujurnya mendengar ucapan Angkasa barusan membuat perutnya sedikit bergejolak. Jus otak? Yang benar saja. Membayangkannya saja sudah membuatnya mual.
Bibir Angkasa maju. "Galak amat."
Raya mendudukan tubuhnya di salah satu bangku yang masih terdapat ruang kosong. Namun murid-murid yang berada di sana terlihat menghentikan aktivitas makan mereka dan menatap Raya, sebelum akhirnya mereka semua beranjak pergi hingga tersisa Raya sendiri. Dan hal itu terekam dengan baik oleh kedua mata milik Angkasa. Lelaki itu melipat kedua tangannya dan berjalan menghampiri Raya.
"Lo tahu gak sih alasan mereka jauhin lo? Lo itu—"
"Gue itu aneh, serem, mistis, monster, pembawa sial. Lo mau bilang itu kan?"
Angkasa terdiam. Mulutnya bahkan masih setengah terbuka. Dia tidak menyangka Raya akan berbicara seperti itu.
"Wait. Gue bahkan belum ngomong apa pun." Angkasa terkekeh. "Heh, itu namanya suudzon. Kata Pak Ustaz, itu gak boleh. Gak baik! Nih, ya. Menurut gue perangai lo itu mesti diubah. Coba deh, ramah sedikit sama orang yang lo temuin. Ajak ngobrol. Lo itu jarang banget ngomong—" Ucapan Angkasa terhenti saat seorang penjaga kantin datang membawa semangkuk bakso dan es jeruk.
"Makasih, Bi." Raya tersenyum tipis.
Angkasa berdecak. "Giliran bibi-bibi kantin aja lo senyumin, giliran serbuk berlian kayak gue malah lo lemparin kerikil. Dasar bukan manusia!"
Raya tidak menggubrisnya sama sekali dan terus melanjutkan makan. Namun ekspresi wajahnya berubah di suapan ke dua. Kedua alisnya saling bertaut.
"Kenapa?" tanya Angkasa begitu menyadari perubahan ekspresi Raya.
Raya menatap Angkasa sekilas dan kembali menyendokkan makanannya. Keringat mulai membasahi peluh gadis itu.
Menyadari ada yang tidak beres, Angkasa segera meraih sebuah sendok dan memasukkan sesendok kuah ke dalam mulutnya. Kedua matanya seketika membulat.
"Buset! Pedes banget inimah. Lo gila makan sambel segini?" Angkasa mengibaskan telapak tangannya di depan mulutnya yang terasa terbakar. Dia dengan tidak tahu malunya malah meraih es jeruk milik Raya dan meminumnya hingga tersisa setengah gelas.
"Ini lo yang naruh? Perasaan gue lihat dari tadi lo cuma nuangin kecap." Angkasa mengusap peluh yang mulai membanjiri dahinya. Sementara Raya masih memasukkan bakso itu ke dalam mulut. Bahkan wajahnya sampai memerah.
Kedua mata Angkasa membulat. Dia dengan cepat merebut mangkuk bakso milik Raya.
"Udah, woi! Lo mau bikin perut lo meledak?!" bentaknya. Dia mengaduk bakso milik Raya dan menemukan banyak sekali biji cabai di bagian bawah hingga kuah berubah warna menjadi begitu merah. Dia lalu melihat ke sekeliling, dan menemukan beberapa gadis yang tengah terkekeh sembari sesekali melirik ke mejanya dan Raya. Angkasa mengernyit. Mereka terlihat tidak asing.
"Mereka kan .... Anak-anak PMR!"
"Wah, gak beres nih. Heh! Lo kok diem aja? Emangnya lo gak denger obrolan mereka? Harusnya lo samperin mereka, terus lo lempar mangkuk—"
"Gue gak mau celakain mereka," ujar Raya dengan susah payah. Dia meminum sisa es jeruk yang tadi diminum oleh Angkasa. Namun mulutnya malah terasa semakin panas dan terbakar. Poni gadis itu bahkan sampai basah karena keringat.
Melihat itu, Angkasa secara tiba-tiba berlari dan membuka salah satu lemari pendingin yang berisi minuman. Lelaki itu langsung mengambil beberapa s**u kotak dan langsung memberikannya pada Raya.
"Lo gak apa-apa? Minum nih! Gue denger katanya s**u bisa bikin rasa pedes ilang. Buruan!" Lelaki itu bahkan sampai ikut membantu membuka plastik sedotan dan memberikannya pada Raya.
Raya menatap s**u kotak yang disodorkan Angkasa padanya.
"Tapi—"
"Udah, buruan minum! Gue tahu lo kepedesan!"
Raya pun meraih s**u kotak itu dan segera meminumnya hingga habis. Tanpa sadar kalau sedari tadi Angkasa masih memandanginya. Entah ke mana sifat cerewet dan menyebalkannya.
"Habisin aja. Kalo kurang biar gue ambilin lagi."
Raya segera menggelengkan kepalanya begitu dia menghabiskan s**u kotak yang ke tiga. Rasa panas di mulutnya berangsur menghilang.
"Gimana? Masih pedes?" Kali ini Angkasa mengatakannya dengan nada pelan. Kepala Raya mengangguk. Namun gadis itu masih merasakan panas di dalam perutnya.
"Syukur deh. Gila kali mereka! Dasar nenek-nenek lampir!"
Raya memandangi Angkasa yang masih bersungut-sungut. Gadis itu terdiam. Dia jadi teringat takdir yang dikatakan oleh mamanya.
—tbc