Gavin mempercepat laju motornya begitu jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh. Pagi ini lelaki itu terlambat bangun karena semalam harus mengerjakan beberapa tugas sekolah dan juga mengurus beberapa data OSIS.
Menjadi Ketua OSIS memang tidaklah mudah. Selain harus jujur dan bertanggung jawab, juga harus kuat mental dan fisik.
Gavin menyeringai tipis. Jujur?
Mengingatnya saja sudah membuatnya ingin tertawa. Hanya satu orang yang tahu kelakuan aslinya, dan orang itu adalah Raya.
"Raya Avisha, anak kandung dari Kepala Sekolah SMA Cakrawala. Nasibnya berbanding terbalik dengan Kayla. Gue yakin mereka bukan saudara. Dan Kepala Sekolah udah pisah sejak lama sama dia. Tapi ... Kenapa gue ngerasa kalo hubungan antara ayah dan anak yang satu ini enggak bagus?"
Pikiran Gavin teralih ketika melihat seorang gadis berlari-lari. Melihat punggungnya, Gavin tahu siapa itu. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Dia semakin mempercepat laju motor dan secara mendadak berhenti tepat di depan gadis itu.
"Naik," ucapnya.
Raya mengatur napasnya yang tersengal. Dia menatap pantulan wajah Gavin dari spion.
"Naik. Sebelum gue berubah pikiran. Gue tahu lo juga telat."
Raya membuang napasnya dan segera naik ke motor Gavin.
"Lo gak nanya kenapa Ketua OSIS teladan kayak gue bisa telat?" tanya Gavin tidak lama setelah motor melaju.
Mendengar itu, Raya mengernyitkan dahi. Teladan?
"Gak penting."
Tawa terdengar setelahnya. "Wah, lo emang gak punya sisi kepo ya, kayaknya. Tapi gue lihat nilai lo bagus-bagus. Kenapa gak ikut OSIS?"
"Dan lo pengin gue jadi bulan-bulanan anggota OSIS yang lain?"
"Wow. Bukan gue yang bilang, ya. Gue kan cuma nanya."
"Dan gue rasa itu bukan urusan lo," ujar Raya. Berlama-lama dengan Gavin sama saja seperti saat dirinya bersama Angkasa. Sama-sama membuat kepalanya pening.
"Oke, oke. Gue minta maaf."
Gerbang sekolah ditutup ketika motor Gavin melewatinya. Telat beberapa detik saja, bisa habis riwayatnya. Pak Agung pasti akan memberinya hadiah.
Raya langsung turun dari motor Gavin ketika sampai di parkiran.
"Gak ada ucapan makasih?" ujar Gavin sembari melepas helmnya.
Raya menoleh sejenak dan kembali melangkahkan kaki. "Makasih."
Gavin tersenyum miring. Dia lalu bergegas ke kelasnya. Karena arah yang sama, Gavin secara diam-diam memerhatikan Raya dari belakang. Dari luar gadis itu tampak biasa saja, namun siapa sangka dia memiliki sisi yang berbeda dari gadis lainnya. Kemampuannya itu, dia bisa melukai siapa saja dan kapan saja. Tanpa diduga.
?
"HAPPY BIRTHDAY!"
Semua murid yang berada di sekitar lapangan basket mendadak mengerumuni Gavin yang baru saja menyelesaikan jam olahraga. Lelaki itu bahkan masih mengenakan kaos olahraga miliknya. Lantunan lagu ulang tahun terdengar. Bahkan murid-murid yang melihat dari koridor lantai dua pun juga ikut bernyanyi. Kecuali Raya. Gadis itu hanya terdiam memandang Gavin yang terlihat terkejut dengan kejutan yang diberikan oleh rekan-rekan kelas dan OSIS.
Salsa yang merupakan sekretaris OSIS terlihat memegang sebuah kue bertuliskan angka tujuh belas. Lilin pun berhasil ditiup oleh Gavin begitu lagu selesai dinyanyikan. Riuh tepuk tangan terdengar.
"Potong kuenya ... potong kuenya .... "
Raya membuang napas. Jika saja mereka tahu kelakuan asli dari sang Ketua OSIS, Raya yakin 100% hari ini lapangan basket akan sepi. Atau mungkin Gavin akan langsung didepak dari jabatannya.
Seseorang memberikan piring berukuran kecil dan sebuah pisau kepada Gavin.
"Kak, suapan pertama buat siapa?" Salah satu siswi berteriak dari lantai dua begitu Gavin menaruh sepotong kue di piring. Sontak saja pertanyaannya membuat semua murid gaduh.
"Ya elah .... Tinggal makan aja tuh kue, ribet amat." Angkasa berdecak melihat pemandangan di depannya.
"Bilang aja lo iri," timpal Sam.
"Gue? Iri sama dia? Hih! Sorry!" Angkasa menyilangkan kedua tangan di d**a. "Kue punya dia kecil! Nanti, kalo gue ulang tahun, gue bikin kuenya dua belas tingkat!"
Sam tertawa melihat reaksi temannya itu. "Gila lo!"
Sementara itu, suasana ramai masih menyelimuti lapangan. Gavin terlihat memandangi kue dan menatap orang-orang di sekitarnya satu per satu.
"Buat aku aja kak!"
"Buat aku!"
Beberapa siswi berteriak beberapa kali. Beberapa diantaranya ada yang penasaran. Apakah Gavin akan memberikannya pada Juna, Wakil Ketua OSIS? Tapi itu akan terlihat aneh.
Atau pada Salsa yang merupakan sekretarisnya? Tapi semua orang tahu kalau mereka hanya rekan biasa. Kecuali, jika Gavin memiliki orang yang spesial di sekolah.
"Ayo, dong!"
"Buat siapa, Vin?" Juna tersenyum jahil. "Buat gue?"
Gavin terbahak. "Gila lo! Gue masih waras!" Dia memandang satu per satu murid, dan pandangannya berhenti di satu titik. Sudut bibirnya terangkat.
Tiba-tiba Gavin berlari, membuat semua orang terkejut. Semua murid kembali heboh.
"Eh, Sa. Mau ke mana tuh dia?" Sam menyenggol-nyenggol siku Angkasa begitu lelaki itu sibuk dengan game di ponsel miliknya.
"Mana gue tahu! Dapet incaran kali."
Suasana yang tadi riuh mendadak hening ketika Gavin menghentikan laju kakinya di depan seseorang. Lelaki itu tersenyum tipis dengan napas yang masih tersengal karena harus berlari menaiki tangga.
"Suapan pertama ini, gue kasih buat lo," ucap Gavin.
"Eh, anjir. Sa, lihat, Sa!" Sam makin heboh menyenggol siku Angkasa hingga ponsel lelaki itu hampir jatuh.
"Apaan sih?!"
"Lihat! Dia nyamperin si Raya!"
Angkasa terdiam sejenak dan langsung mengalihkan pandangannya ke lantai dua, tepat ke arah Gavin yang kini berdiri di hadapan Raya dengan sebuah piring yang berisi kue.
Raya terdiam dan melirik semua orang yang kini memandanginya. Mereka terlihat begitu terkejut, bahkan tidak percaya. Bahkan beberapa diantaranya terlihat menghentikan gerakan tangan yang awalnya bertepuk.
Apa-apaan semua ini? Apa Gavin mencoba mempermainkannya?
"Apa maksudnya ini?" ujar Raya masih menatap Gavin dan orang-orang bergantian.
"Ini. Buat lo." Gavin menyodorkan sesendok kue itu ke arah Raya yang masih bungkam. Sementara teman-teman Gavin yang masih berada di lapangan memandang mereka dengan tatapan terkejut.
"Gue gak bisa. Lo bisa kasih ke orang lain."
"Lo harus terima ini. Kalo lo pengin ini berakhir, lo harus makan ini."
Tangan Raya mengepal. Sudah pasti dia dijebak. Semua berakhir, namun tidak kedepannya.
Dengan ragu dia membuka mulut dan menerima suapan dari Gavin. Raya mau tidak mau menerima kue itu jika ingin segera terbebas dari situasi ini. Meskipun dia tahu jalan cerita ke depannya.
Gavin tersenyum. Dia lalu kembali menyendokan kue. Namun kali ini untuk dirinya sendiri.
"Kalo gue nyuruh lo buat nyuapin gue, lo pasti bakalan nolak," ujar Gavin di tengah-tengah kegiatan mengunyahnya.
Tiba-tiba Juna bersorak dari lapangan, membuat Gavin tersenyum dan melambai padanya. Samar-samar tepukan tangan mulai terdengar hingga suasana kembali gaduh. Teriakan para gadis menggema di sepanjang koridor.
"Si Gavin kesambet apa sih? Masih banyak yang cakep malah milih cewek mistis itu. Iya gak, Sa?" ujar Sam. Dia lalu ikut bersorak.
Sementara Angkasa masih menatap ke koridor lantai dua, tepat ke arah Gavin dan Raya. Lelaki itu lalu mengalihkan pandangannya ke layar ponsel dengan tulisan Game Over.
—tbc