34. Renungan

1294 Kata
Gelap dan pengap. Raya tidak mengerti kenapa dia bisa begitu betah berlama-lama dengan keadaan kamar seperti itu. Sudah tiga hari dia mengurung diri di dalam kamar. Dia bahkan mengabaikan ucapan mamanya. Gadis itu sama sekali tidak pernah berniat membuka pintu kamarnya barang sesenti pun. Suara mamanya kembali terdengar dari balik pintu. Entah siapa yang mengajarkan Raya jadi sejahat itu pada Yuli. Tepat di balik pintu itu, entah bagaimana ekspresi Yuli. Wanita itu mungkin sudah lelah bicara pada Raya. Hampir setiap waktu dia datang untuk mengecek makanan yang diletakkannya di depan pintu namun Raya bahkan tidak pernah menyentuhnya. "Jangan seperti ini, Ra," ucap Yuli dengan suara parau dan diiringi suara ketukan pintu. Berkali-kali pula wanita itu menggerakkan handle pintu, berharap benda itu akan terbuka. Sudah tiga hari Raya di dalam, dan sudah tiga hari pula Yuli tidak melihat putrinya. "Kamu makan, ya. Kamu belum makan sama sekali, Ra. Atau kamu mau Mama ambilin buah? Raya, Mama mohon." Tak ada sahutan. Raya memilih memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya. Entah seperti apa rupanya kini karena tidak pernah bersapaan dengan hangatnya sinar mentari dan udara luar. "Maaf, Ma." Hanya itu yang keluar dari bibir Raya. Di dekatnya, terdapat sebuah bingkai foto dengan posisi terbalik. Semuanya hancur. Raya semakin kehilangan dirinya. Anthony benar-benar akan membencinya mulai sekarang dan Angkasa— lelaki baik itu kini akan menambah daftar orang-orang yang menjauhinya. Dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mengerikannya Raya. Dia yang semula peduli, mengulurkan tangan di saat dia jatuh, dan membelanya di depan orang-orang, kini akan mundur dan bergabung dengan mereka yang sudah membencinya lebih dulu. Bagus sekali, Raya. Kau akan semakin membenci hidupmu. ? "Lo kenapa sih? Tumben diem mulu di kelas." Sam bertanya pada Angkasa yang tengah memutar-mutar ponselnya di atas permukaan meja. Lelaki itu hanya membuang napasnya malas tanpa berniat menjawab. "Oh, gue tahu nih. Pasti gara-gara si Raya itu kan? Dia gak berangkat jadi gak ada yang bisa lo gangguin." "Berisik lo." Sam tertawa renyah. Dia menyeruput minuman yang dibelinya dari kantin lalu kembali menatap Angkasa dan kembali berucap, "tapi serius deh. Emang dia ke mana sih? Lo kan hampir tiap hari ngintilin dia, pasti lo tahu." "Gue gak tahu." "Kalian lagi berantem, ya?" Sam menatap Angkasa curiga. Tidak biasanya Angkasa bersikap seperti itu. Atau memang hanya perasaannya aja. "Gak." Bibir Sam mencebik. "Tapi tadi gue gak sengaja denger omongan temen-temen kelasnya di luar. Katanya dia gak masuk tanpa keterangan. Gak ada keterangan sama sekali." Angkasa terdiam. Sudah tiga hari Raya tidak masuk sekolah. Dia pun tidak menghubungi Raya sama sekali. Apa dia sakit? "Tapi lo kok bisa deket sama dia sih? Temen-temennya aja pada jauhin dia. Gue sih gak percaya sama omongan orang-orang. Dia tuh aslinya cantik, tapi kata orang, dia tuh misterius—" Ucapan Sam terhenti saat Angkasa secara tiba-tiba beranjak dari bangkunya dan pergi dari kelas. "Woy, mau ke mana lo?" Angkasa tidak menghiraukan ucapan Sam dan berjalan ke luar. Dia mencari kontak Raya di ponselnya dan berniat menghubunginya. Persetan dengan semuanya, setidaknya jika dia tahu bagaimana keadaan Raya sekarang, dia bisa sedikit lebih tenang. Kedua alis Angkasa bertaut begitu panggilannya malah direspon oleh operator. Ponsel Raya tidak aktif. Dia mencoba lagi, namun hasilnya tetap sama. Angkasa membuang napasnya kasar dan memilih untuk memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Lo baik-baik aja, kan? Angkasa berbalik hendak kembali ke kelasnya namun seseorang memanggilnya. "Apaan?" tanya Angkasa. Entah kenapa akhir-akhir ini Kayla selalu mengajaknya bicara. Padahal sebelumnya mereka tidak saling kenal sama sekali. Angkasa yang memang tidak begitu peduli dengan orang-orang di sekolah, sedikit malas menanggapi Kayla. Apalagi setelah dia tahu bagaimana sifat ayah dari cewek yang kini ada di depannya. "Gue udah beberapa hari gak lihat Raya. Dia ke mana?" tanya Kayla. "Gak tahu. Udah, ya. Udah bel." Angkasa baru saja berbalik namun Kayla langsung menahan lengannya. Tidak nyaman dengan tatapan yang dilayangkan Angkasa padanya, Kayla segera melepas tangannya dan meminta maaf. "Please, bantuin gue biar bisa deket sama Raya. Niat gue baik kok." "Kenapa lo selalu bersikeras minta bantuan gue? Kalo lo emang mau jadi temennya, lo bisa ngomong sendiri sama dia." "Karena dia bahkan selalu ngehindar." "Itu tandanya dia gak mau." "Tapi ... " Kayla menggigit bibirnya. "Gue ngerasa kalo posisi gue dan dia sama. Gue juga ngerasa gak punya temen. Orang-orang deket sama gue cuma karena gue anak kepala sekolah dan mereka gak mau dapet masalah." Helaan napas terdengar dari Angkasa. "Dengar, ya. Lo sama Raya itu gak akan pernah sama. Lo pengin temenan sama dia? Bahkan setelah kejadian beberapa hari lalu? Apa lo gak sadar kalo Raya udah dipermalukan sama bokap lo yang terhormat itu?" "Justru itu. Gue pengin memperbaiki semuanya. Gue pengin minta maaf sama dia. Gue yakin kita bisa jadi teman baik." "Terserah." Angkasa kembali menoleh ketika Kayla memanggilnya lagi. Lelaki itu menatapnya malas. "Apa lagi?" "Lo punya nomor Raya, kan? Boleh gue minta?" Kedua tangan Angkasa bersedekap di depan d**a. "Nomor apa? Nomor sepatu? Nomor celana?" Kayla mengerjap. "B-bukan itu. Maksud gue nomor HP." "Percuma. Dia sekarang gak bisa diganggu." Angkasa langsung pergi. "Eh? Angkasa!" Kayla berusaha mengejar Angkasa yang masuk ke kelas, namun gadis itu mengurungkan niatnya saat ada seorang guru yang hendak masuk. Kayla membuang napasnya. ? Intan menoleh ketika melihat Angkasa yang turun dari kamarnya. Lelaki itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaus hitam dan jeans selutut. "Kenapa, Ma?" tanya lelaki itu. Dia mendudukkan tubuhnya di sofa yang berseberangan dengan mamanya dan mengambil setoples camilan dari atas meja. "Mama bingung. Lusa kan anak tante kamu ulang tahun. Mama pengin bawa kue, tapi Mama bingung belinya di mana." "Kenapa nggak di Tante Yuli? Biasanya juga di sana," ucap Angkasa dengan pandangan lurus ke layar televisi. "Tante Yuli gak bisa dihubungin dari kemarin. Padahal kue buatannya enak. Mama sekalian mau bantu promosi ke tante kamu. Temen arisannya kan banyak, terus usaha Tante Yuli juga masih baru." Angkasa terdiam. Tante Yuli nggak bisa dihubungi? "Kamu mau ya, sekarang ke rumahnya? Mama pesen—" "Angkasa gak mau." "Lho, kok gitu? Biasanya kamu mau. Gini deh, nanti sekalian pesenin juga kue kesukaan kamu, gimana?" Angkasa menggelengkan kepala. "Mama kan masih bisa beli di tempat lain." "Mama maunya di Tante Yuli. Kuenya enak, harganya lebih murah juga. Kamu mau, ya?" "Angkasa gak mau, Ma. Banyak PR." Bibir Intan mengerucut. Biasanya Angkasa tidak pernah menolak permintaannya. Apalagi tempo lalu dia berbohong saat berkata kalau Yuli tidak ada di rumahnya. Alhasil kuenya diantar menggunakan ojek online. "Ya udah deh, Mama aja yang—" Ucapan Intan terhenti saat Angkasa secara tiba-tiba menutup toples dan langsung berdiri dari tempatnya. Intan mengerjap. Apa Angkasa marah? Lelaki itu menatap Intan sejenak dan membuang pandangannya. "Mama pesen apa?" ? Motor milik Angkasa berhenti di halaman rumah Raya yang sepi. Lelaki itu turun dari motornya dan berjalan menghampiri pintu. Ditatapnya sejenak pintu itu sebelum akhirnya dia ketuk. Tidak ada respon dari dalam. Angkasa kembali mengetuk, sampai akhirnya samar-samar dia mendengar derap langkah kaki mendekat. Lelaki itu menarik napas. Kira-kira siapa yang akan membuka pintu? Pintu terbuka. "Maaf, lama— eh, Angkasa. Lama gak ke sini. Gimana kabarnya?" tanya Yuli. Angkasa terdiam selama beberapa saat saat melihat Yuli. Wanita itu terlihat kelelahan, apalagi dengan kantung mata menghitam. "Baik, Tante," jawab Angkasa seraya menyalami tangan Yuli. "Hm ... Mama gak bisa hubungin Tante katanya, jadi nyuruh aku ke sini. Mama pesan kue red velvet sama blueberry cheesecake buat lusa." Angkasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Oh, gitu. Iya, nanti Tante buatin. Makasih, ya. Maaf juga karena HP Tante mati, belum sempat dicas." "I-iya, Tante." Angkasa sedikit melihat ke belakang Yuli. Tidak terlihat tanda-tanda Raya di sana. Mungkin gadis itu tidak sedang di rumah, pikirnya. "Kalau begitu aku pulang dulu. Makasih, Tante." Angkasa berbalik. Namun baru di langkah ke dua, lelaki itu kembali berbalik begitu Yulin memanggilnya. Dia terkejut saat melihat Yuli menangis. —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN