38. Mimpi

1093 Kata
Seorang anak perempuan menyodorkan sebuah buku gambar kepada kakaknya. "Bagus kan, kak? Tadi aku gambar ini di sekolah," ucapnya dengan senyum semringah. Kayla tersenyum. "Gambarnya bagus banget," pujinya seraya mengelus puncak kepala Tasya. "Tasya kan sering dapet juara menggambar di sekolah," ucap mamanya yang baru saja datang dari dapur. Wanita itu meletakkan sepiring buah-buahan yang telah dipotong. Tasya langsung menghampiri mamanya dan mengambil sebuah garpu. "Aku ke kamar dulu. Banyak tugas." Kayla beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju kamar. Mamanya hanya menatap Kayla yang pergi. Gadis itu selalu merasa diperlakukan berbeda, terutama oleh Anthony- ayah tirinya. Begitu sampai di ujung tangga, Kayla melihat pintu ruangan ayahnya terbuka dan seseorang tampak keluar dari sana. Keningnya berkerut. "Kak Gavin?" Gavin yang menyadari itu hanya mengerjap dan tersenyum tipis. Sementara Kayla masih diam menatapnya bingung. "Kakak ... Ngapain di sini?" tanya gadis itu. "Biasalah, ada yang harus ditandatangani Pak Anthony. Bentar lagi kan mau pemilihan ketua OSIS yang baru." "Bukannya di sekolah juga bisa, ya?" Kayla menatap Gavin yang mendekat padanya. Salah satu sudut bibir lelaki itu terangkat. "Gue butuhnya sekarang." Gavin menepuk bahu Kayla pelan dan berjalan menuruni tangga. Kayla menatap Gavin yang kini menyapa Tasya dan mamanya yang sedang menonton TV. Lalu dia menatap pintu ruangan kerja ayahnya yang menutup. ? "Ra, tolong ambilin loyang di laci." Raya yang tengah mencuci blueberry segera mematikan keran dan mengambil beberapa loyang di sebuah laci. "Red velvet pesanan Angkasa juga, Ma?" tanya Raya sembari mengelap loyang tadi dengan sebuah lap. "Iya." Yuli mematikan mixer dan menuangkan adonan kue yang sudah jadi ke dalam loyang. "Buat dibawa ke rumah kerabatnya. Kalo yang blueberry buat Angkasa. Dia suka kue buatan mama katanya." Yuli melirik Raya langsung memasang tampang masam. "Aku gak tanya itu, Ma." Yuli tertawa. Dia lalu memasukkan adonan tadi ke dalam oven. "Oh, iya, Ra." "Hm?" "Kamu ... Hati-hati, ya?" Ekspresi Yuli mendadak berubah. Wanita itu mendudukkan tubuhnya di kursi yang berhadapan dengan Raya. "Hati-hati kenapa, Ma?" "Akhir-akhir ini perasaan Mama gak enak. Mimpi Mama akhir-akhir ini juga aneh." Yuli menarik napas, "semalam Mama mimpi melahirkan." "Bukannya bagus? Kata orang kalo mimpi melahirkan, bakalan dapet rezeki," ucap Raya. Namun ucapannya tidak membuat ekspresi wajah Yuli kembali seperti semula. Perasaan Raya mendadak tidak enak, namun isi kepala mamanya benar-benar tidak bisa terbaca olehnya. Terlihat buram dan tidak jelas, tidak seperti biasanya. "Mama mimpi melahirkan kamu." Raya terdiam, membuat Yuli menatapnya khawatir. "Ma, itu cuma mimpi." Raya mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Mungkin itu Rama, bukan aku." "Mama takut, Ra." "Aku baik-baik aja, Ma. Gak ada yang perlu Mama takutkan." Raya lalu meminum segelas air. Yuli melihatnya. Tangan putrinya terlihat bergetar dan dahi gadis itu mulai lembab. "Mama khawatir sama kamu. Apalagi dari kemarin Papa kamu terus mengganggu. Dia beberapa kali bikin kita dalam masalah. Sebenarnya apa yang sudah kamu ambil? Kenapa Anthony begitu menginginkan map itu? Apa isinya, Ra?" Kedua tangan Raya mengepal. Semarah apapun mamanya pada mantan suaminya itu, Raya tahu betul kalau sang mama masih memiliki rasa peduli. Itulah kenapa Raya tidak pernah memberitahukan soal map yang telah diambilnya itu. "Raya? Jawab Mama." "Itu ... " Raya menahan napasnya, "itu dokumen punya Papa." "Lalu kenapa kamu ambil itu, Ra? "Papa punya rencana memalsukan ijazah, Ma. Papa juga terlibat kasus korupsi. Aku berpikir buat menghentikan Papa, tapi Papa gak pernah peduli." Kedua mata Yuli membulat. "A-apa?" "Sebenarnya map yang Mama robek kemarin itu isinya palsu. Aku sudah menyembunyikan yang asli, karena aku tahu kalau sewaktu-waktu Papa akan ke sini buat cari itu." "Raya- Ya Tuhan. Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan? Kamu sekarang dalam bahaya, Ra. Bagaimana jika papa kamu marah dan dia berniat celakain kamu?" Yuli mengusap wajahnya kasar. Semula hidupnya kembali tenang, namun sekarang masalah mulai kembali lagi menimpa dirinya. "Aku gak bisa biarin papa hancur, Ma." "Tapi tidak harus membuat kamu dalam bahaya, Ra! Kamu lihat kan? Beberapa kali kamu celaka karena dia dan beberapa orang suruhannya! Segera laporkan dia kepada guru lain." "Tapi aku gak mau papa dipenjara." "Raya!" Yuli berdiri dari posisinya. "Bukannya Mama sendiri yang bilang? Papa Anthony itu tetaplah papa kandung aku." Yuli lemah. Harusnya waktu itu dia habisi saja nyawa Anthony dengan tangannya sendiri. "Maafin aku, Ma." ? "Ma-ma." "Ya ampun, anak Mama udah bisa ngomong. Coba lagi, Nak. Mama mau denger." "Ma-ma." Bayi yang berada di dekapan itu tampak berusaha meraih-raih wajah ibunya. "Lihat, lihat. Dia mau pegang wajah kamu." Yuli tersenyum dan segera mendekatkan wajahnya. Dia tertawa saat tangan mungil itu menyentuh permukaan kedua pipinya. "Mas, lihat. Raya senyum," ucapnya pada Anthony. "Putri Papa yang paling cantik. Cepat besar, biar nanti bisa main bareng." Anthony menggendong Raya. Yuli tersenyum melihatnya. Semoga akan terus begitu. Semuanya tampak bahagia. "Mama ... " Yuli mengerjap. Dia merasa terpanggil dan mencari sumber suara itu. Dia lalu berbalik. Kedua matanya membulat saat melihat seorang anak laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya. Anak itu tersenyum. "Rama?" Namun sebelum Yuli mendekat, anak itu menghilang. ? Yuli menatap ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun. Wanita itu berada di kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul satu pagi. Wanita itu segera keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamar Raya. Putrinya terlihat masih tertidur. Dengan perlahan, Yuli menutup kembali pintunya. Dia berjalan menuju dapur untuk minum segelas air. "Kenapa harus mimpi seperti itu? Aku nggak mau terjadi sesuatu sama Raya," ucapnya seraya menyeka keringat yang membasahi dahinya. Dia lalu berjalan menuju sofa ruang tamu dan mendudukkan dirinya di sana. Matanya menatap sebuah foto yang terpajang di atas TV. Foto yang menampilkan dirinya duduk bersama dua orang anak. Salah satu anak itu harus kembali ke sisi Tuhan tanpa bisa merasakan kasih sayangnya lebih lama di dunia. Sementara si anak perempuan yang tersenyum manis itu, akankah dia bertahan lama? Membayangkannya saja Yuli tidak sanggup. Ibu mana yang rela ditinggalkan oleh anaknya? "Rama sayang sama Mama." "Raya juga sayang sama Mama." Yuli segera menghapus air matanya yang entah sejak kapan sudah membasahi pipi. "Mama juga sayang sama kalian." Raya selalu sendirian semenjak ditinggalkan oleh kembarannya. Dia berubah menjadi penyendiri dan pemurung. Tidak ada yang mau bermain dengannya karena anak-anak lain selalu disuruh menjauhi Raya oleh orang tuanya karena menganggap Raya anak penyihir dan pembawa masalah. Gadis itu semakin menarik diri dari keramaian, sampai akhirnya dia bertemu dengan seseorang saat duduk di bangku SMA. Yuli ingat, tepat sebelum Raya melakukan kegiatan MOS, wanita itu bermimpi dirinya bertemu dengan seorang anak laki-laki seumuran Raya. Yang mengejutkan lagi, wajahnya mirip dengan Rama. "Namaku Angkasa." Meskipun sikap Raya selalu dingin, namun Angkasa selalu berusaha untuk selalu ada di dekatnya. Yuli bisa melihat itu. Dari caranya bicara, sikapnya, dan bahkan bagaimana lelaki itu menatap Raya. -tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN