46. Pilihan Sejak Awal

1081 Kata
Kurang lebih mungkin sudah setahun, atau mungkin lebih dari itu. Rasanya Angkasa sudah tak lagi menghitung waktu sejak kejadian menyedihkan yang dialaminya waktu. Lelaki itu meletakkan sebuket bunga di atas sebuah tempat peristirahatan seseorang tanpa adanya ekspresi di wajahnya. Bukan karena ia sudah tak bia menangis atau karena ia yang sudah merasa tak sedih lagi, melainkan karena lelaki itu sudah terlalu berharap lebih bahwasanya air matanya akan membawa sosok yang pernah pergi itu akan kembali ke sisinya. Iya, Angkasa sudah lelah soal itu. Mungkin jika sosok itu masih hidup, Angkasa akan diomeli karena dirinya selalu datang ke sana dengan kondisi menangis. Tampak persis seperti seorang anak kecil yang tak diajak bermain oleh teman-temannya. Kepalanya akan dilempari bebatuan yang jumlahnya lebih banyak. Tapi jika ia bisa memilih, ia lebih baik diomeli setiap hari dan menjadi bahan pelampiasan kekesalan Raya setiap hari selama gadis itu ada di sana. Namun, menangis memanglah tak mengubah segalanya. Angkasa tahu itu. Meskipun ia sudah sekuat tenaga menahan semuanya, ia tetaplah menjadi sosok Angkasa Danial yang begitu cengeng. Ia mungkin bisa menahan agar air matanya tak jatuh, akan tetapi ia tetap tak bisa menahan perasaan sesak yang ada di dalam dadanya. Angkasa menatap ukiran nama yang ada di sana, kemudian mengusapnya secara perlahan. "Andai aja lo gak milih buat pergi, Ra," lirih Angkasa. Jika bukan karena Raya, mungkin saat ini dirinya tak pernah ada di sana. Namun sesekali ia berpikir akan satu hal saat mengingat insiden itu. Angkasa berpikir kalau Raya menyelamatkan memang dirinya mungkin dengan tujuan lain, yakni agar ia bisa mengakhiri hidupnya sendiri dan bertemu dengan Rama dalam kebahagiaan yang abadi. Angkasa sudah pernah menggagalkan rencana Raya yang berniat untuk mengakhiri hidup sebelumnya jadi lelaki itu bisa sampai berpikir ke sana. Antara Raya yang mungkin menyelamatkan Angkasa dari ambang pintu kematian dan juga Raya sendiri yang sudah menyerah berjuang sendirian. Angkasa tahu, sejak awal Raya memang sudah menginginkan kematiannya. Rasa kehilangan yang dialami oleh gadis itu membuat sebagian kehidupannya berubah begitu menyedihkan. Keluarga yang berantakan, kehilangan seseorang yang begitu berharga, dan juga melindungi ibunya adalah sesuatu yang harus Raya tanggung di pundaknya. Gadis itu tak memiliki sosok untuk bercerita. Namun Angkasa merasa takjub karena gadis itu bisa bertahan dalam waktu yang lama. Bahkan ketika Angkasa sadar kalau dirinya memiliki kemiripan dengan Rama, hal itu tak membuat Raya menginginkan lagi kehidupan. Gadis itu hanya menginginkan Rama, bukan seseorang yang memiliki paras menyerupainya. Lalu bagaimana dengan Rama yang asli? Bagaimana perasaannya setiap kali melihat Raya menangis? Melihat betapa menyedihkannya kehidupan adiknya ketika ia pergi. Menangis sendirian dalam diam, dirundung oleh orang-orang hingga tak menginginkan sebuah ikatan bernama pertemanan karena rasa percayanya yang sudah dihancurkan. Angkasa membuang napasnya kasar. Kemudian lelaki itu menatap sebuah makam yang berada tepat di sebelah makam Raya. Mereka berdua, pada akhirnya bisa bertemu kembali. Mungkin, Angkasa juga perlu berterima kasih pada Raya atas apa yang ia lakukan saat itu. Tapi rasa penyesalan itu masih saja bisa Angkasa rasakan. Ia begitu menyesal karena tak bisa menyelamatkan Raya di hari itu, bahkan ia berulang kali mengucapkan permintaan maaf pada Yuli. Harusnya Angkasa yang menjaga Raya dan bukannya malah sebaliknya. Harusnya Angkasa yang menyelamatkan Raya dan gadis itu tak akan berakhir meregang nyawa. Apapun keputusan Raya, pada akhirnya Angkasa hanya bisa berusaha merelakan. Gadis itu hanya ingin bertemu dengan kembarannya, Angkasa tahu itu. Namun bukan berarti Raya bisa meninggalkannya dengan sesuka hati, kan? Setidaknya gadis itu juga harus memikirkan perasaannya juga saat ia tinggalkan. Kini, Angkasa yang harus menanggung rasa sakitnya sendirian entah sampai kapan. Helaan napas itu kembali terdengar. Angkasa perlahan beranjak dari sana, menatap kedua makam itu selama beberapa saat sebelum akhirnya pergi. Perjalanan pulang sekolahnya sudah tak lagi menyenangkan semenjak setahun terakhir. Sekali dalam hidupnya, Angkasa hanya bisa melihat senyuman Raya selama beberapa kali dan ia tak akan pernah bisa melihatnya lagi secara langsung. Mungkin Angkasa masih memiliki satu foto yang berisi mereka berdua saat pergi bersama. Namun hal itu tak akan cukup mengobati lukanya. Bahkan sampai saat ini ia masih tak menyangka kalau pakaian berwarna merah muda yang dipakai Raya dalam foto itu akan berubah menjadi warna merah dalam hitungan jam saja. Jika saja Angkasa tahu hal itu akan terjadi, ia tak akan mengajak Raya pergi. * "Ra, gue boleh nanya gak?" tanya Angkasa seraya melirik gadis yang duduk di sebelahnya. Usai melihat sebuah anggukan kepala, lelaki itu lantas melanjutkan, "seandainya lo punya kesempatan satu kali buat balik ke masa lalu, hal apa yang bakalan lo perbaiki?" Kedua mata Raya perlahan bergerak menatap dedaunan kering yang bergerak di atas permukaan tanah. "Nukar posisi gue sama Rama," ujarnya dengan begitu tenang seperti biasa, namun ia tak menyadari kalau kalimat singkat itu cukup berdampak pada lelaki di sebelahnya. "Dari sekian banyaknya hal, lo masih tetap pilih itu?" Angkasa membatin. Ia memandangi wajah pucat Raya dari samping. Sudah cukup lama mereka saling mengenal, namun kepedihan tak juga kunjung beranjak dari kedua netra milik gadis itu. Sejak awal, yang Angkasa lihat hanyalah kekosongan di sana. Walau raga mereka tampak serupa, namun Angkasa tak akan pernah bisa menggantikan posisi Rama. "Saat itu terjadi, mungkin saat ini keluarga gue masih utuh dan Rama bisa hidup bahagia. Gue gak akan ngerasa keberatan kalau emang kematian gue bisa bikin mereka bahagia." Kedua mata Raya masih menatap ke atas sana. Wajahnya tampak tenang, akan tetapi setiap kata yang diucapkannya menyimpan keseriusan yang begitu mendalam. Raya sungguh-sungguh dengan kalimatnya. Gadis itu serius saat berkata kalau dirinya lebih memilih kematian sebagai jalan keluarnya, dan pada akhirnya gadis itu benar-benar pergi hingga tega membiarkan ibunya menjalani sisa hidup sendiri. * Kedua mata Angkasa perlahan terbuka. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap sebuah jam yang berada tak jauh dari posisinya. Masih pukul dua dini hari. Angkasa memijat pelipisnya dan ia membuang napas. Terkadang ia tak paham, kenapa ia masih harus melihat Raya yang tampak begitu sedih bahkan di dalam mimpi. Ia hanya ingin melihat Raya yang ceria, hanya itu. "Ra, lo bahagia kan, di sana? Lo seneng kan bisa ketemu sama Rama lagi?" batin Angkasa. Ia menyingkap selimutnya dan memutuskan pergi ke balkon, menatap bulan yang saat itu masih bersinar dengan terang di atas langit sana. "Lo itu gak suka ditanya, ya?" "Kenapa sama bulannya? Lo gak suka? Ganti aja sama lampu kamar lo." "Atau lo gak suka karena bulannya jerawatan? Dia jarang perawatan, jadinya gitu. Haha." "Sekali lagi lo ngomong, gue pastiin kepala lo yang ada di sana." Raya yang menurutnya tak suka ditanya oleh siapapun, tiba-tiba mengenal orang yang banyak bicara dan super aktif. Tanpa sadar bibir Angkasa membentuk seulas senyuman. —TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN