"Kalau begitu saya permisi, Pak." Gavin meninggalkan meja Anthony dan segera keluar. Lelaki itu membuang napasnya pelan.
"Eh, lo ternyata. Ke mana aja kemarin?" tanya Gavin begitu melihat Raya.
Gadis itu menatapnya datar sebelum akhirnya menjawab, "gak enak badan."
Mulut Gavin membentuk huruf o dan entah kenapa Raya masih menatapnya dengan tatapan yang tidak biasa. Bahkan kedua matanya sesekali menyipit.
"Kenapa sih? Ada yang aneh?" Gavin memperhatikan seragamnya dan tidak menemukan sesuatu yang membuat Raya menatapnya sebegitu intens.
"Barusan lo ngapain?" tanya Raya tiba-tiba.
"Hah?" Salah satu alis Gavin terangkat. Ia mencoba mencerna maksud dari pertanyaan Raya barusan.
"Lo abis ketemu sama kepala sekolah, kan?" ujar Raya. Gadis itu bertanya dengan raut wajah yang masih datar, seolah tak menunjukkan adanya rasa penasaran.
"Oh, itu. Iya, gue abis ngomongin jadwal pemilihan ketua OSIS yang baru. Kenapa emang?"
Kedua mata Raya menyipit. Entah kenapa itu membuat Gavin tertawa.
"Lo kenapa kayak orang curiga gitu sih? Gue mencurigakan, ya?" Gavin hendak mengelus puncak kepala Raya namun gadis itu langsung menepis tangannya. Tak ada kalimat balasan, sebelum akhirnya Raya pergi melewatinya tanpa sepatah kata pun. Gavin berbalik dan menatap punggung Raya yang kian menjauh. Lelaki itu bersedekap.
Tanpa dia sadari, seseorang tampak menyimak obrolannya dengan Raya barusan. Orang itu bersembunyi di balik salah satu pilar tidak jauh dari posisinya.
?
Angkasa mengetuk-ngetuk pulpennya di permukaan meja sambil bertopang dagu. Kedua matanya fokus ke depan, tepat ke arah seorang guru yang tengah menulis di papan tulis. Namun otaknya kini berfokus pada hal lain. Dan hal itu membuat Angkasa tidak bisa menyimak materi dengan benar.
Sam melirik Angkasa yang kini justru terlihat melamun. Lelaki itu menyikut pelan lengan Angkasa. Bisa gawat jika guru lebih dulu menyadari dan mengomelinya. Pasalnya, guru yang saat ini tengah mengajar di kelasnya merupakan salah satu guru killer di sekolah. Namun reaksi Angkasa sungguh di luar dugaan Sam. Lelaki itu malah merespon dengan nada nyolot nan menyebalkan hingga semua pasang mata menyorot ke arah mereka berdua, termasuk sang guru killer.
Tidak sampai satu menit, Angkasa dan Sam langsung didepak dari kelas karena dianggap tidak memperhatikan.
"Malah gue juga yang kena." Sam mencebik.
Angkasa menyandarkan tubuhnya di pembatas koridor dan memperhatikan murid-murid yang tengah latihan upacara bendera. "Sori, ya. Gue bener-bener gak fokus tadi."
"Lo kenapa sih, Sa? Kayaknya dari kemaren sikap lo gak kayak biasanya. Lo ada masalah?" tanya Sam yang ikut berdiri di sebelah Angkasa.
"Gue juga gak ngerti sama diri gue sendiri."
Kening Sam berkerut. Lelaki itu lantas menatap Angkasa. "Lah? Lo aja gak ngerti apalagi gue?"
Angkasa membuang napasnya dan menatap Sam. "Menurut lo, gue kenapa?"
"Bodo amat anjir, Sa. Lo kira gue bisa baca pikiran lo?" Sam memutar matanya dan menatap kegiatan di bawah sana.
Baca ... Pikiran?
"Napa sih? Lo lagi jatuh cinta?" Pertanyaan Sam membuat Angkasa mengerjap. Jatuh cinta katanya?
Sam menolehkan kepalanya dan menatap Angkasa yang terdiam. "Kenapa? Ucapan gue bener?"
"Menurut lo ... Gue jatuh cinta?"
"Gue kan cuma nebak, Sa. Gue gak tahu isi kepala lo. BTW lo pernah jatuh cinta, kan?"
"Ya pernah lah! Enak aja lo gue udah segede gini belom pernah jatuh cinta." Angkasa mendadak sewot. Dia pernah menyukai seseorang sewaktu masih SD dulu, tapi dia sudah lupa dengan orang yang disukainya karena memang sudah lama. Lagi pula dia juga tidak pernah mengingatnya lagi.
"Oh, baguslah. Berarti lo normal. Asal yang lo suka itu bukan gue." Sam terbahak. Kedua mata Angkasa memelotot dan reflek tangannya menabok bahu Sam.
"Najis!"
?
"Biar gue aja." Ketua kelas segera mengambil alih tumpukan buku paket yang Raya ambil dari meja guru.
"Buat nebus kesalahan kemarin." Andre tertawa renyah sebelum akhirnya pergi. Raya hanya diam memperhatikan sikap ketua kelasnya yang berubah itu. Bukan hanya ketua kelas, namun sikap murid lain juga berbeda padanya.
"Duluan ya, Ra." Seseorang menepuk pelan bahu Raya. Gadis itu hanya mengangguk sebagai respon. Kemudian dia sendiri bergegas keluar. Sesekali dia mengelap keringat yang membasahi keningnya dengan punggung tangan. Cuaca kali ini benar-benar lebih panas dari biasanya.
Raya merogoh saku dan mengecek ponselnya ketika merasa benda itu bergetar.
From : Tuan Tampan
Oi.
Kening Raya berkerut. Dia hampir lupa siapa pemilik nama kontak yang super konyol itu.
"Gak penting," gumamnya dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.
"Oi, gue denger loh."
Raya menoleh ke belakang dan mendapati Angkasa yang berjalan tepat di belakangnya dengan memasang tampang yang super menyebalkan.
"Bales kek," ucap lelaki itu dan mensejajarkan langkahnya dengan Raya hingga mereka bersebelahan.
"Lo kan di sebelah gue."
Bibir Angkasa mencebik. "Ah, gak seru lo. Biasanya gue udah kena serangan para pasukan kerikil sebelum gue ngomong. Tumben sekarang anteng."
Raya terdiam selama beberapa saat sebelum bersuara, "gak ada kerikil."
"Terus adanya apaan?"
"Pegangan tangga."
Kedua mata Angkasa memelotot tepat ketika mereka berdua menuruni tangga. "Ngeri, woi!" Dan setelah itu Angkasa kembali mengoceh. Raya tidak terlalu menanggapi karena gadis itu kini sibuk memperhatikan beberapa murid yang mengobrol di dasar tangga. Sesekali matanya menangkap beberapa murid yang menatap ke arahnya. Kedua alis Raya bertaut.
Pikiran mereka ...
"Heh, kenapa?" Raya mengerjap saat Angkasa menyenggol lengannya. "Lo gak enak badan?"
"Gak apa-apa kok." Raya menunduk, sesekali melihat murid-murid di sekitarnya.
Ada apa ini?
Kedua mata Raya menyipit. Entah kenapa kepalanya mendadak terasa pening. Gadis itu hampir saja kehilangan keseimbangannya namun dia segera berpegangan pada bahu Angkasa hingga lelaki itu menoleh padanya.
"Lo gak apa-apa?"
"G-gue gak apa-apa. Maaf." Raya kembali menjauhkan tangannya dari bahu Angkasa. Jantungnya terasa berdetak lebih kencang dari biasanya.
"Lo mau pulang bareng gue?" tanya Angkasa.
"Gak usah. Gue bisa naik angkot."
"Beneran?"
Raya mengangguk. "Gue duluan."
Angkasa tidak langsung masuk ke parkiran. Lelaki itu masih menatap Raya yang kini berjalan menuju gerbang.
?
Raya membuang napasnya berkali-kali. Dia sedari tadi hanya memandangi langit malam yang sudah dihiasi bulan dan ribuan bintang. Dia seolah mengabaikan beberapa buku yang telah dia buka sebelumnya dan memilih memandangi langit.
"Ini aneh," gumamnya. Sejak pulang sekolah dia tida bis berkonsentrasi dengan benar.
Kedua matanya kini teralih pada ponselnya begitu benda tipis itu bergetar. Dia kembali membuang napas saat mengetahui kalau Angkasa yang meneleponnya.
"Halo?"
"Kenapa?"
—tbc