36. Berbeda

1182 Kata
Angkasa melepas helm miliknya dan meletakkannya di salah satu spion motornya. Dia menatap pantulan wajahnya di kaca spion dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah dirasa rapi, dia lalu bergegas menuju kelas. Bel berbunyi lima belas menit lagi. Koridor utama mulai dipadati oleh murid-murid. Lalu kedua mata Angkasa tidak sengaja melihat Raya ketika dirinya keluar dari parkiran. Pandangan keduanya sempat bertemu. "Dia masuk?" gumamnya. Dia baru saja hendak memanggil gadis itu namun langsung dia urungkan saat Raya memutus kontak mata mereka secara sepihak. Gadis itu berjalan lurus seakan tidak pernah melihatnya. Raya memang selalu seperti itu. Tapi Angkasa merasa kalau yang barusan itu terasa lain dari pada biasanya. Tidak diambil pusing, Angkasa melanjutkan kembali langkahnya. Sesekali melihat Raya yang berjalan beberapa meter di depannya. Angkasa mengembuskan napasnya. Oke, setidaknya sekarang gadis itu sudah mau keluar dari rumahnya. Sesampainya di kelas, semua pasang mata langsung tertuju pada Raya. Mereka yang sedang asyik mengobrol, secara tiba-tiba menghentikan obrolan mereka dan menatap gadis yang baru datang itu. Raya tidak ambil pusing soal mereka, karena dia sudah terlalu terbiasa. Beberapa murid tampak menatap satu sama lain. Andre tiba-tiba berjalan menghampiri Raya yang baru saja duduk di bangkunya. "R-Raya," panggilnya pelan. Raya mengangkat wajahnya, namun Andre langsung terlihat gelagapan dan membuang muka tidak berani menatapnya. Namun lelaki itu berusaha agar tetap menatap Raya. "Lo ... Ke mana aja? Bu Jasmin nanyain lo." Raya menatap datar Andre dan beberapa murid lain. "Gue minta maaf." Salah satu alis Andre naik. "K-kenapa lo minta maaf? Harusnya kita yang—" "Kemarin kalian dihukum sama wali kelas gara-gara gue," ucap Raya membuat Andre dan teman-temannya saling tatap. Bagaimana Raya bisa tahu? Andre bahkan belum mengatakannya. "Mita, gue tahu lo benci sama gue. Daftar absen gue yang kemarin bisa lo tulis bolos. Gak masalah." Raya menyandarkan punggungnya dan menatap Mita yang berada di barisan paling depan paling kiri. Mita tersentak, apalagi kini teman-temannya langsung menatap dirinya. "Ra, gue gak bermaksud—" "Gue gak masalah kalo kalian semua benci sama gue. Gak usah maksain diri." Raya berujar kembali, membuat wajah setiap orang pucat seketika. Tiba-tiba salah seorang murid perempuan menyodorkan buku catatan miliknya kepada Raya. "Ini buku catatan gue yang kemarin. Lo ketinggalan cukup banyak materi jadi gue rasa lo pasti butuh rangkuman materi." Raya menatap buku yang disodorkan padanya. Apa saja yang terjadi kemarin sampai semua teman kelasnya bersikap berbeda dari biasanya? Memangnya apa saja yang sudah dikatakan wali kelasnya? "Makasih," ucap Raya begitu menerima buku yang diberikan padanya. "Gue ... Juga minta maaf. Gara-gara gue, lo jadi kena razia sama OSIS waktu itu." "Hm." "Gue juga." Seorang murid berjalan menghampiri meja Raya. Andre menatap teman-temannya dan menghela napas. Dia kembali menatap Raya. "Ra, bisa minta nomor HP lo? Gue ... Mau masukin lo ke grup kelas." ? "Gila njir, kemarin anak-anak XI IPA 5 dihukum sama wali kelasnya disuruh lari keliling lapangan basket." Sam mulai berceloteh di sebelah Angkasa yang tengah fokus bermain game di ponselnya. Lelaki itu juga lihat bagaimana orang-orang itu dihukum di bawa terik matahari. "Hm. Terus?" Angkasa menyahut tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar datar itu. "Aneh aja sih. Gue lihat barusan mereka lagi nyanyi-nyanyi di kelas. Gak ada kapoknya emang. Kemaren mereka bikin ulah apaan coba? Bukannya tobat, malah tambah bar-bar." "Kelas XI IPA 5 emang isinya orang gak ada akhlak semua," ucap Angkasa hingga Sam menoleh. "Gak ada akhlak? Tahu dari mana lo?" Angkasa keluar dari game-nya dan menatap Sam. "Jelas gue tahu lah." "Ke kantin yuk! Laper nih," lanjutnya dan langsung merangkul bahu Sam. "Kantin masih pada penuh gak?" "Kayaknya sih enggak. Maybe." Mereka berdua berjalan melewati koridor dan Angkasa menoleh tepat ketika dia melewati pintu kelas XI IPA 5— kelas Raya. Gadis itu terlihat keluar dari kelas dengan dua orang murid perempuan. Salah satu di antara mereka tampak merangkul bahu Raya. Meskipun wajah gadis itu datar seperti biasanya, namun dia tidak protes sama sekali. Angkasa menaikkan alisnya melihat pemandangan aneh itu. "Tumben pada akur." Sam yang juga menyadari itu tertawa renyah. Dia sesekali menatap ketiga gadis tadi yang berjalan tidak jauh di belakangnya dan Angkasa. "Atau jangan-jangan kemarin mereka dihukum gara-gara wali kelas mereka turun tangan? Tahu lah maksud gue. Si Raya itu kan emang sering dijauhin, gak cuma sama temen kelasnya doang." Angkasa terdiam. Benarkah? Apakah ucapan wali kelas berpengaruh sebesar itu? ? Angkasa sesekali memperhatikan Raya yang kini tengah makan bersama gadis-gadis tadi di salah satu meja. "Ini aneh," gumamnya. "Apanya yang aneh, Sa?" tanya Sam. "Eh? Nggak. Ini, kuah bakso gue rasanya aneh," jawab Angkasa ngasal. Sementara itu di meja Raya, sedikit ramai karena celotehan kedua gadis tadi. "Tapi serius deh, Ra. Kita sekelas kayaknya emang terpengaruh sama anak-anak kelas lain. Kita bakalan berusaha buat bersikap lebih baik sama lo. Ya, meskipun agak sulit sih. Tapi gue yakin kita bakalan terbiasa," ucap Amanda— gadis yang tadi memberikan buku catatannya pada Raya. "Sekali lagi, maaf ya. Lo pasti selama ini gak betah di kelas." "Gak masalah." "Hm ... Kemarin itu lo ke mana sebenernya?" tanya Amanda. "Cuma gak enak badan." Kedua gadis itu saling menatap. Raya masih saja bersikap dingin. Apa dia masih tidak percaya? Apa dia berpikir kalau mereka berpura-pura? "Gue gak pernah berpikir begitu," ucap Raya membuat kedua gadis itu terdiam. Lagi, mereka terkejut. Saat mereka hendak bertanya, tiba-tiba seseorang datang dan duduk di sebelah Raya tanpa izin. "Ra, lo beberapa hari gak masuk. Lo ke mana aja?" tanya Kayla. "Lo sakit?" "Lo kenal sama dia, Ra?" Salah satu gadis itu mengerjap menatap Kayla yang tampak akrab dengan Raya. Atau lebih tepatnya SKSD? "Gue ... Minta maaf soal sikap bokap gue. Dia salah paham, padahal lo yang udah nolong gue. Dan gue juga mau ngucapin makasih." "Iya." Kayla membuang napas saat Raya tidak menatapnya sama sekali. "Gue cuma mau jadi temen lo. Please. Kenapa lo selalu menghindar tiap kali ada gue? Salah gue apa?" "Eh, bentar. Apa-apaan nih? Temen lo kan udah banyak, Kay. Ngapain minta Raya jadi temen lo? Lo gak lihat? Dia kayaknya gak mau. Dan gue gak kasih izin. Gue gak mau dia jadi bahan bulan-bulanan bokap lo lagi." Lisa— gadis yang merasa dirinya penyebab Raya terkena razia langsung angkat bicara. Kayla menatap gadis yang duduk di depan Raya sengit. "Kenapa tiba-tiba jadi lo yang ngatur? Sejak kapan kalian deket sama Raya? Oh, gue paham. Kemarin kelas kalian dihukum, kan? Gara-gara itu jadi kalian sok baik sama Raya?" Lisa sontak berdiri dari tempatnya dan menatap Kayla tidak suka. "Jaga mulut lo, ya! Setidaknya kita lebih baik karena masih berusaha ngubah sikap daripada temen-temen lo yang bisanya cuma manfaatin lo doang karena lo anak kepala sekolah!" Kayla bungkam. Dia marah, namun tak ayal kalau ucapan yang didengarnya barusan itu benar adanya. "Udah, Lis. Ini di kantin. Ntar dilihatin banyak orang." Amanda segera menarik lengan Lisa agar gadis itu kembali duduk. Beberapa orang melihat pertengkaran di meja itu. Angkasa yang melihat keberadaan Kayla hanya menggelengkan kepala. Sampai kapan pun, Raya gak bakalan nerima permintaan pertemanan lo itu, Kay. "Gue gak bisa jadi temen lo," ucap Raya dan langsung disambut oleh seringaian puas Lisa. Kayla mengerjap. "K-kenapa?" "Karena gue gak pantes jadi temen lo." —tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN