Selamat membaca!
Memori itu sering muncul dalam ingatan Chris. Kenangan yang mungkin tidak akan pernah hilang dan selalu menghantui pikirannya. Chris masih hanyut dalam lamunannya. Hatinya terasa begitu sakit, seakan semua kejadian itu baru dialaminya kemarin, padahal kenangan buruk itu sudah berlalu 15 tahun yang lalu. Di saat ingatan Chris masih memenuhi pikirannya, tiba-tiba Oscar datang menghampiri dan membuyarkan semua lamunan Chris.
"Tuan, maaf saya mengganggu. Saya hanya ingin melaporkan bahwa saya telah gagal. Saya tidak berhasil membunuh Sierra."
Chris berdecak kesal mendengar perkataan Oscar. Ia langsung bangkit dari posisi duduknya dan dengan cepat mencengkram kerah pakaian anak buahnya itu.
"Gara-gara kebodohanmu, 10 menit yang lalu Alex datang membawa Sierra ke hadapanku. Semua rahasia yang telah aku simpan selama berpuluh-puluh tahun harus terbongkar dalam satu hari!" geram Chris sambil menghempaskan tubuh Oscar dengan keras.
Oscar hanya menunduk dan tak berani menjawab amarah Chris. Amarah yang membuat suasana hatinya merasakan kekecewaan yang mendalam. Ia beberapa kali merutuki kebodohan atas kegagalan yang dialami pada misinya kali ini. Kegagalan yang disebabkan oleh kejelian mata Evans dalam membaca arah pelurunya. Oscar pun merasa sangat bersalah karena Chris terlihat begitu terpukul atas apa yang telah terjadi.
Chris masih terus menatap tajam wajah Oscar yang tertunduk. Raut wajahnya penuh amarah dengan gurat kekecewaan yang tampak jelas terlihat.
"Pergilah! Aku ingin sendiri!" Chris mengusir Oscar sambil menunjuk ke arah pintu depan rumahnya.
Perintah yang tak bisa dibantah oleh Oscar. Pria itu pun mengangguk sambil mengucapkan beberapa kali kata maaf kepada Chris yang kini sudah memalingkan wajahnya. Tak mendapatkan jawaban dari tuannya, Oscar mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Chris sendiri di ruang keluarga dengan amarah dan kekecewaan yang sudah melebur menjadi satu di dalam hatinya.
Sedih dan hening, saat ini tak ada siapapun di rumah kediaman Decker selain Chris dan anak buahnya yang berjaga di pelataran rumah. Chris sengaja memperketat penjagaan di rumahnya karena ia baru saja mendapatkan surat ancaman yang tertuju pada dirinya. Ketika pikirannya masih tenggelam dalam rasa kalut, tiba-tiba suara dering ponsel berbunyi keras, memecahkan keheningan yang terasa lekat kala itu. Chris langsung beranjak mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Setelah melihat layar pada ponselnya, Chris mengernyitkan dahinya dengan penuh tanda tanya.
"Siapa ini?" tanya Chris mengawalinya dengan kedua alis yang saling bertaut.
Chris kemudian mengangkat telepon itu.
"Halo."
"Apa kabar Tuan Chris? Apa kau masih ingat aku?"
Chris terdiam sejenak untuk mengingat suara yang terdengar dari seberang sana.
"Suara ini sepertinya tidak asing untukku," batin Chris hampir menemukan jawaban atas segala rasa penasarannya.
"Ya ada apa? Siapa kau?"
Pertanyaan yang tak dijawab oleh pria itu. Ia hanya terkekeh dengan keras hingga membuat Chris semakin murka karena merasa dipermainkan.
"Tidak perlu membuang waktuku, siapa kau dan katakan apa keinginanmu?" tanya Chris dengan nada lantang.
"Jangan terburu-buru, Tuan Chris! Sepertinya kau harus mendengar suara wanita ini agar amarahmu bisa semakin memuncak!" Pria itu kembali terkekeh sambil mendekatkan ponselnya pada seorang wanita yang mulutnya tersumpal oleh kain.
Chris semakin penasaran mendengar perkataan pria misterius itu. Sampai akhirnya, kain yang menutupi mulut wanita itu pun dilepas. Seketika Naori berteriak meminta pertolongan pada Chris.
"Tolong aku, Chris! Brooklyn street 78," teriak Naori dengan keras yang kini sudah merasa sangat ketakutan.
Pria itu tampak geram atas apa yang dilakukan oleh Naori karena memberitahu lokasi keberadaannya saat ini. Kemarahan yang membuatnya melayangkan tamparan keras pada pipi Naori. Naori pun mengerang kesakitan, merasakan perih sambil memegangi pipinya. Suara jeritan Naori membuat Chris yang mendengarnya semakin murka.
"Berani kau menyentuhnya, aku akan membunuhmu!"
Ancaman yang terlontar dari mulut Chris tak menciutkan nyali pria misterius itu sedikit pun. Ia justru menganggap semua itu hanya sebagai gerakkan saja yang membuatnya terkekeh puas atas kemenangannya.
"Kau tidak perlu mengancam seperti itu. Ingat aku yang memegang kendali saat ini jadi ikuti segala perintahku! Jika ingin wanita ini selamat, tunggu kabar selanjutnya dariku!" ancam pria misterius itu dengan lantang sambil mengakhiri sambungan teleponnya.
Chris berdecih kesal. Amarahnya benar-benar membuatnya murka. Namun, ia menyadari bahwa saat ini yang bisa dilakukannya hanyalah mengikuti permainan dari pria misterius itu.
"Sial, aku tidak bisa melawannya! Setelah menculik Naori, kemungkinan pria itu pasti juga membawa Elsa ikut bersamanya. Sekarang lebih baik aku ikuti saja permainannya," batin Chris menghela napasnya dengan kasar.
()()()()()
Sementara itu, di tempat di mana tubuh yang sudah tak lagi bernyawa disemayamkan, Sandra masih berlutut di samping pusara Albert Kaylee. Wajahnya terlihat sendu. Kedua mata yang sembab menjadi bukti bahwa Sandra begitu sedih atas kehilangan sosok Albert dalam hidupnya.
"Ayah, kau tidak perlu khawatir. Jika polisi tidak bisa memberikan keadilan untuk kita, maka aku akan mengusahakannya sendiri dengan kedua tanganku," ucap Sandra sambil menyentuh batu nisan tempat ayahnya bersemayam dengan tenang.
Sandra terus menitikkan air matanya hingga bulir-bulir bening kesedihan itu jatuh berkali-kali membasahi pusara ayahnya.
"Tunggu pembalasanku Alex, sekarang aku akan kembali sebagai istrimu! Tapi hanya untuk membalas kematian ayahku." Sandra menajamkan sorot matanya. Ia pun perlahan mulai berdiri dengan masih menatap tegar makam sang ayah.
Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini, ia sangat terluka atas kenyataan yang harus dijalaninya bahwa takdir menuntunnya untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya, yaitu membunuh seorang mafia. Terlebih mafia itu adalah suaminya sendiri.
()()()()()
Suasana sore hari dengan sinar kemerahan dari mentari mulai terlihat di setiap sisi langit. Kini Alex dan Sierra sudah terlihat berada di sebuah apartemen mewah yang jarang ditempatinya. Apartemen yang banyak menyimpan kenangan indah, saat mereka masih bersama.
Alex mulai melangkahkan kakinya memasuki lobi apartemen, diikuti oleh Sierra yang mengekor di belakangnya.
"Alex, apa tidak sebaiknya kita kembali ke rumah sakit dan melihat kondisi Evans?" Sierra menampilkan raut wajahnya yang cemas, hatinya masih tidak tenang, walau Mauren telah mengabarinya bahwa keadaan Evans kini sudah mulai stabil.
Mendengar pertanyaan Sierra, membuat Alex seketika menghentikan langkah kakinya. Ia memutar tubuhnya dan maju satu langkah mendekat ke arah Sierra. Kini keduanya saling berhadapan dengan pandangan mata yang mulai bertaut.
"Kenapa Sierra terus saja mengkhawatirkan Evans?" batin Alex dengan penuh tanda tanya.
Sierra menatap canggung kedua mata Alex yang semakin mendekatkan wajahnya hingga membuat embusan napasnya terasa hangat menerpa wajah wanita itu yang kini sudah merona karena menahan rasa gugupnya. Maklum saja situasi romantis seperti ini sudah tidak pernah mereka rasakan selama 2 tahun semenjak mereka dipisahkan oleh keegoisan Chris.
"Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Alex dengan memipihkan sorot matanya.
Sierra tercekat kaget atas pertanyaan Alex. Ia bukan hanya tak bisa menjawabnya. Namun, juga terlihat sangat gugup di depan Alex. Entah sejak kapan keraguan itu tersemat di dalam hatinya. Apa mungkin hatinya saat ini telah terpaut dengan pria lain? Mungkinkah sosok Evans diam-diam mulai bertahta di hatinya.
"Ada apa dengan perasaanku saat ini? Kenapa di saat semua impianku untuk kembali bersama Alex sudah terwujud, hatiku menjadi ragu dan memikirkan Evans ya," batin Sierra dipenuhi rasa bimbang yang kini menguasai dirinya.
Tanpa berniat menunggu jawaban Sierra yang terlihat ragu menjawab pertanyaannya, Alex pun beringsut kembali memutar tubuhnya untuk melanjutkan langkahnya menuju sebuah lift yang terletak di sudut lobi.
"Sudah tak perlu kau pikirkan lagi soal pertanyaanku tadi, Sierra. Nanti jawaban itu akan datang seiring berjalannya waktu." Alex terus melangkah meninggalkan Sierra yang masih termangu menatap kepergiannya.
"Maafkan aku Alex, bukan aku tak mencintaimu lagi, tapi entah kenapa bayangan Evans selalu hadir di dalam pikiranku dan untuk saat ini aku sendiri masih belum tahu ke mana hatiku ini akan berlabuh. Lagipula bukan hanya aku, tapi sikapmu juga penuh keraguan tak seperti biasanya. Jika kau masih mencintaiku seperti dulu, kau pasti sudah mencium bibirku, terlebih wajah kita tadi sangatlah dekat," batin Sierra menilai sikap Alex yang baginya tampak berbeda tak lagi seperti dulu.
Sierra pun mengesah kasar. Ia memutuskan kembali melangkahkan kakinya untuk menyusul Alex yang sudah berada beberapa langkah di depannya.
"Tidak ada yang bisa dipersalahkan dalam hal ini Alex yang bisa kita lakukan adalah mencari tahu ke mana cinta di dalam hati kita akan berlabuh." Sierra masih terus menatap punggung Alex yang kini sudah hampir terkejar olehnya.
()()()()()
Sementara itu di dalam mobilnya, Chris tampak begitu cemas. Terlebih setelah membaca ancaman pesan dari pria misterius itu. Ancaman yang membuat Chris jadi tidak bisa membawa anak buahnya untuk ikut bersamanya.
"Bagaimana mungkin semua anak buahku yang aku tugaskan untuk menjaga Naori dan Elsa dapat dilumpuhkan oleh pria itu? Aku tidak boleh meremehkan pria ini, dia ancaman besar untukku!" ucap Chris yang kini sudah sangat murka dengan pria misterius itu karena telah berani menculik Naori.
Chris memukul keras kemudinya untuk melampiaskan amarah yang kini sudah benar-benar menguasai dirinya. Namun, itu sama sekali tidak menghilangkan rasa takut dan gelisahnya saat ini.
"Aku akan menyelamatkan kalian Naori, Elsa!" ucap Chris penuh keyakinan sambil menginjak dalam gas mobilnya hingga membuat laju mobil semakin cepat, membelah lalu lintas kota Paris.
Bersambung✍️