Selamat membaca!
Di dalam kamar apartemen, Sierra tampak duduk dengan memangku kedua tangannya sambil memandang ke sekelilingnya untuk melihat suasana kamar yang tak banyak berubah dari saat terakhir ia pergi.
"Kamar ini tak pernah berubah. Aku dapat melihat jelas bagaimana kesedihan Alex saat dia mengetahui bahwa aku sudah meninggal," batin Sierra merasa iba dengan perpisahan yang mereka alami dua tahun silam.
Tak lama kemudian, tiba-tiba sepasang tangan kekar melingkar dari belakang tubuhnya. Seketika wajah Alex berlabuh tepat di atas pundaknya. Sierra terhenyak. Ia pun mulai menatap Alex hingga membuat wajah mereka saling berdekatan.
"Aku tahu kamu begitu resah atas apa yang telah kita alami saat ini, tapi ketahuilah aku pun merasakan hal yang sama. Hanya saja saat ini aku sedang memberikan kesempatan kepada hatiku untuk memilih jalannya sendiri," ucap Alex mendekap tubuh Sierra dengan begitu erat.
"Terima kasih ya, kamu sudah membuatku tenang," ucap Sierra lalu memberi kecupan singkat di permukaan pipi Alex.
Tak lama dering ponsel berbunyi, seolah menjeda suasana yang mulai mencair di antara keduanya. Alex pun mengurai dekapannya lalu mengambil ponsel dari saku celana. Ia menatap layar pada ponsel yang seketika membuatnya mengerutkan dahi dalam-dalam.
"Sandra." Alex beringsut menjauh dari Sierra yang terus menatap heran sikap Alex yang entah mengapa harus menjauh darinya, saat hendak menjawab panggilan telepon yang masuk.
"Pasti itu Sandra, aku tahu betul siapa Alex. Dia tidak pernah mengangkat telepon sampai harus menjauhiku," gumam Sierra terus menatap punggung Alex yang kini melangkah menuju ke arah balkon kamarnya.
Alex yang sudah sampai di balkon langsung menggeser lambang hijau pada layar ponselnya.
"Halo Sandra," jawab Alex.
Tiba-tiba terdengar suara tangisan Sandra dari seberang sana. Membuat Alex seketika dibalut rasa cemas dan penuh tanda tanya.
"Ada apa denganmu? Apa ada yang menyakitimu?" tanya Alex sambil mengernyitkan dahinya.
"Apakah kamu tidak menyadarinya? Jika kamulah yang telah menyakitiku, Alex!" jawab Sandra dengan lirih.
Alex terhenyak. Ia terdiam tak mampu menjawab apa yang dikatakan oleh Sandra. Namun, pada akhirnya Alex membuat keputusan yang sangat mengejutkan.
"Datanglah ke apartemenku kita bertemu di sini! Aku akan kirim alamatnya lewat pesan."
Sandra langsung mengiyakannya. "Baik tunggu aku, aku akan datang ke tempatmu."
Alex masih belum beranjak dari posisinya. Ia masih termangu dengan berbagai pikiran di kepalanya. Terutama akan pilihannya dan perasaan hatinya yang tengah ragu dalam memilih antara Sierra, cinta masa lalunya atau Sandra, wanita yang sudah resmi menjadi istrinya.
"Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa adil untuk Sierra jika aku mengabaikannya dan hidup bahagia bersama Sandra," gumam Alex masih memutar-mutar ponsel di tangannya yang terus diusik oleh keraguannya.
Berbeda dengan Alex yang masih ragu dengan pilihan hatinya. Sandra yang mulai menambah kecepatan mobilnya, kini tampak begitu membenci Alex. Ia tidak pernah membayangkan bila suaminya sampai tega membunuh ayahnya hanya karena permasalahan uang. Apa materi lebih berharga dari sebuah nyawa? Setidaknya semua kalimat itu terus menghantui pikiran Sandra yang tengah diliputi oleh dendam. Dendam untuk membalas kematian sang ayah yang telah tiada secara tragis.
"Kenapa kau tega menyuruh anak buahmu untuk membunuh ayahku, Alex? Padahal aku sudah bersedia menjadi istrimu untuk membayar semua hutang ayahku. Kau itu memang tidak punya perasaan, di depanku kau menunjukkan sikapmu yang romantis, tapi ternyata di belakangku kau benar-benar kejam sampai membuatku kehilangan ayahku," gumam Sandra penuh rasa sakit di hatinya.
Tanpa di sadari, lelehan air mata mulai menetes dari kedua sudut matanya. Sandra membiarkan bulir bening itu terus membasahi wajahnya tanpa berniat mengusapnya. Wanita itu benar-benar sangat rapuh dan semakin terisak merasakan kepedihannya.
()()()()()
Setengah jam kemudian, kini Alex terlihat sedang mendekati Sierra yang masih menunggunya. Alex pun mulai duduk di samping Sierra yang sejak tadi terus menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Ada apa Alex? Kenapa wajahmu terlihat murung sekali? Apa yang kau pikirkan?" tanya Sierra menderanya dengan beragam pertanyaan bertubi.
Alex menatap lebih dalam wajah Sierra. Ia merasa tak enak hati untuk mengatakan bahwa Sandra tengah dalam perjalanan menuju apartemennya. Namun, pria itu coba memberanikan diri dengan mulai mengatakan, walau masih dipenuhi keraguan dalam hatinya.
"Aku minta maaf Sierra, nanti Sandra akan datang ke apartemen ini. Apa tidak masalah untukmu?" tanya Alex, walau dengan terbata.
Perkataan Alex membuat sebuah senyuman mengembang begitu saja dari kedua sudut bibir wanita itu.
"Tentu saja, Sandra itu istrimu. Aku malah yang tidak berhak untuk berada di sini. Jadi sebelum dia datang lebih baik aku yang pergi. Aku akan kembali ke rumah sakit saja karena sepertinya Evans lebih membutuhkan kehadiranku." Sierra bangkit dengan cepat dari posisi duduknya. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut pening hingga membuat kedua kakinya mulai limbung.
Alex pun dengan cepat menangkap tubuh Sierra yang hampir saja terjatuh. Kini wanita itu berada dalam dekapan Alex dengan pandangan yang saling bertaut. Dalam beberapa detik, mereka saling menatap hingga menimbulkan cuplikan-cuplikan indah yang pernah mereka jalani di masa lalu. Kenangan saat pertemuan pertama mereka sampai ketika mereka menghabiskan ratusan malam di ranjang yang sama.
Keduanya masih saling mematung tanpa sepatah kata pun. Sampai akhirnya, suara bel dari pintu apartemen memecahkan keheningan yang saat ini terasa pekat menyelimuti keduanya.
"Itu pasti Sandra." Alex melepaskan kedua tangannya yang melingkar pada tubuh Sierra, ketika Sierra sudah dapat berdiri, walau saat ini raut wajahnya kelihatan sangat canggung.
Alex pun bergegas melangkahkan kakinya untuk membukakan pintu. Setelah tiba di depan pintu, ia mulai membukanya, walau dengan perasaan hati yang masih tak karuan memikirkan Sierra tentang apa yang pernah mereka jalani bersama. Semua janji dan impian yang pernah terucap untuk hidup saling mencintai hingga maut memisahkan keduanya.
"Masa lalu itu sepertinya akan sangat sulit kembali karena aku sudah memiliki seorang wanita yang sepatutnya aku jaga dan dicintai. Terlebih aku sudah terikat dengannya di hadapan Tuhan," batin Alex mengesah berat seraya mengusap wajahnya dengan kasar.
Alex kini mulai membuka pintu apartemennya dengan perlahan. Pandangannya begitu merindu sosok wanita yang kini berdiri mematung di depan pintu.
"Sandra." Alex mengembangkan senyuman kecil dari kedua sudut bibirnya.
"Apa aku mengganggu waktumu bersamanya?" tanya Sandra mencoba menahan gejolak rasa cemburu yang dibalut dendam dalam hatinya.
"Dari mana kamu bisa tahu jika di dalam juga ada Sierra?" tanya Alex menautkan kedua alisnya.
Sandra tersenyum tipis. Namun, Alex dapat melihatnya sebelum senyuman itu pudar dari wajah cantik istrinya.
"Resepsionis memberitahuku tadi." Sandra menggunakan gestur tubuhnya untuk menunjukan pada Alex bahwa ia sama sekali tidak mempermasalahkan keberadaan Sierra, walau kini dirinya sedang tersulut api cemburu.
"Aku memang merasa cemburu, tapi saat ini bukan itu alasan aku datang kembali menemuimu. Aku kembali karena ingin membalaskan dendam ayahku yang telah kau bunuh lewat anak buahmu," batin Sandra menatap tajam wajah Alex penuh penekanan.
"Ayo masuk!" titah Alex mempersilahkan Sandra masuk ke dalam apartemennya. Wanita itu pun kini mulai melangkahkan kakinya, mengikuti langkah Alex yang berada tepat di depannya.
Sampai akhirnya, langkahnya terhenti di sebuah ruangan dengan dua sofa yang saling berhadapan dan terdapat meja yang menjadi pemisah di antaranya.
"Kau mau minum apa, Sandra?" tanya Alex coba mencairkan suasana yang mulai terasa canggung.
"Tidak perlu repot-repot, Alex. Aku bisa mengambilnya sendiri, asal kau tunjukan di mana aku harus mengambilnya," jawab Sandra yang masih melihat-lihat sekeliling ruangan.
Tiba-tiba Sierra datang di tengah-tengah mereka dengan membawakan sebotol minuman dan 3 buah gelas kaca yang langsung diletakkannya di atas meja. Inilah kali pertama ketiganya dipertemukan dalam satu ruangan yang sama.
"Ini sudah aku bawakan minuman untuk kalian, pasangan yang berbahagia. Oh ya, selamat ya atas pernikahan kalian berdua." Sierra menyodorkan sebelah tangannya ke hadapan Sandra yang membuat wanita itu seketika terhenyak.
Sandra pun mulai menjabat tangan Sierra dengan mengulas senyum di wajahnya. Kedua matanya terus menatap Sierra yang tengah tersenyum ketika memberi selamat padanya.
"Wanita ini terlihat sangat tegar menyembunyikan kesedihannya," batin Sandra memberikan penilaian atas apa yang dilihatnya.
()()()()()
Chris sudah hampir tiba di sebuah taman yang berada di kawasan bangunan tua di daerah Brooklyn street 78.
"Di mana pria itu?" Chris mengedarkan pandangannya melihat situasi sekeliling. Namun, kedua matanya masih belum menemukan sesosok yang tengah dicarinya.
Tak berapa lama suara jeritan wanita terdengar dari arah belakang tubuh Chris. Seketika Chris menoleh ke arah belakang dengan membalikkan tubuhnya. Ia menatap ke arah sumber suara itu yang ternyata adalah sosok Naori kini sedang berada dalam cengkraman seorang pria dengan topeng hitam pada wajahnya.
"Chris tolong Elsa," teriak Naori dengan wajah histerisnya penuh rasa takut.
Chris menajamkan pandangan matanya dengan penuh amarah.
"Jika kau berani melukai mereka, aku pasti akan membunuhmu! Di mana Elsa, cepat katakan? Anak itu tidak bersalah jadi jangan kau libatkan dalam dendammu!"
Pria itu terkekeh penuh kemenangan dengan suara yang disamarkan agar tidak terdengar oleh Chris yang nantinya akan tahu siapa dirinya. Pria itu benar-benar menyembunyikan identitasnya hingga membuat Chris harus memutar otak dengan keras untuk mengenali siapa pria yang saat ini berada di hadapannya.
"Sabar Chris! Lebih baik kau ikuti permainanku, sekarang buang senjata yang kau bawa! Cepat!" titah pria misterius itu dengan lantang.
Chris tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang diperintahkan oleh pria itu, terlebih pria itu saat ini sudah menodongkan pistolnya pada pelipis Naori.
"Cepat atau kau mau wanita ini mati di hadapanmu!"
Chris pun membuang pistol yang saat ini digenggamnya jauh ke depan. Namun, di luar dugaannya, pria itu tanpa aba-aba langsung menembak sebelah kakinya hingga Chris berlutut dan mengerang menahan rasa sakit pada kakinya yang tertembak.
"Chris," jerit Naori dengan air mata yang berlinang dari kedua sudut matanya.
Pria misterius itu benar-benar menikmati, saat melihat darah mulai bercucuran dari luka tembak pada sebelah kaki Chris.
"Saat ini sudah tidak akan ada lagi yang bisa menolongmu seperti dulu Chris. Dulu kau bisa selamat karena Edward membiarkanmu lolos melewati lubang saluran air itu dan dia meledakkan sebuah mobil yang mengakibatkan ayahku mengalami luka bakar 80% hampir di sekujur tubuhnya. Sampai akhirnya, ayahku mati! Apa kau masih ingat Harvey Miguel Robinson, Chris? Aku adalah anak pertamanya."
Chris terhenyak dengan apa yang didengarnya.
"Jadi dia adalah anak dari Harvey," batin Chris menahan rasa sakit pada sebelah kakinya.
Bersambung✍️