Selamat membaca!
Roof top luas dengan sebuah ruangan di sisi kirinya. Terlihat 3 anak buah Mark berjaga di sana. Mereka kini sedang kebingungan karena Mark belum juga menjawab telepon mereka. Ketiganya ingin menanyakan apa yang harus mereka lakukan kepada Grace. Wanita paruh baya yang sejak tadi membuat mereka terus berada di atas roof top tersebut.
"Sebaiknya kita bunuh saja wanita ini. Sepertinya Tuan Mark sudah bersenang-senang dengan wanita cantik itu," ucap salah satu anak buah Mark yang bernama Thomas.
"Iya, aku juga bosan di sini terus. Mana panas lagi. Sebaiknya kita bunuh saja wanita ini, lalu mayatnya kita buang ke jurang," timpal Bobby, anak buah Mark lainnya dengan wajah yang sudah terlihat jenuh karena tugas dari tuannya untuk menjaga Grace.
Sementara itu, Grace yang sejak tadi hanya terikat di sebuah kursi dengan mulut tersumpal kain, hanya bisa merintih dengan air mata di kedua pipinya. Ia benar-benar takut saat ini. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya, selain pasrah menanti maut yang mulai mendekat ke arahnya.
"Ya Tuhan, apa ini adalah akhir dari hidupku? Alex, Mommy minta maaf karena tidak bisa selalu menemanimu sampai anakmu lahir ke dunia. Maafkan, Mommy," batin Grace penuh kesedihan.
Di saat Bobby sudah mendekat ke arah Grace dengan sebilah pisau di tangannya, tiba-tiba suara tembakan terdengar dari arah luar ruangan. Membuat langkah Bobby seketika terhenti. Keduanya kini saling tatap penuh selidik dengan rasa penasaran yang mulai memenuhi pikiran mereka.
"Kau dengar itu. Itu suara Frank. Sepertinya ada yang menembaknya." Bobby pun meraih pistol yang ia letakkan di atas naskah. Bersama Thomas, keduanya mulai melihat ke luar dari sebuah jendela yang berada di dekat pintu ruangan.
Sementara itu, salah satu anak buah Mark lainnya yang sejak tadi hanya diam sambil membaca sebuah buku di sudut ruangan, kini bangkit dari posisinya dan mulai melangkah mendekati Grace setelah meletakkan buku yang dibacanya di sebuah nakas. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari pria itu. Pria bernama Lucas itu terlihat amat dingin. Ia memang lebih sering menyendiri dan sangat berbeda dari kedua rekannya yang lain.
"Ayo bangun, nenek tua!" kecam Lucas singkat dengan rahang yang mengeras.
Baik Bobby dan Thomas hanya menatap bingung apa yang hendak dilakukan Lucas saat ini tanpa bertanya. Keduanya tahu watak rekannya itu. Percuma saja mereka bertanya karena Lucas pasti akan mengabaikannya.
"Pria itu lagi dan lagi selalu bertindak tanpa bertanya dulu kepada kita. Aneh sekali ya, kenapa Tuan Mark menugaskannya bersama kita ya. Harusnya orang seperti Lucas diberikan tugas seorang diri saja karena dia sebenarnya tidak butuh bantuan kita."
Mendengar celotehan Thomas, Bobby menyikapinya dengan santai. Ia kini kembali duduk di kursinya dan membiarkan Lucas menyelesaikan kegaduhan yang sedang terjadi. "Sudahlah Thomas, kita biarkan Lucas yang mengurusnya. Lagipula dengan begitu kita jadi bisa santai." Bobby tersenyum tipis dengan sorot mata yang tajam menatap Lucas yang sudah keluar dari ruangan sambil membawa Grace.
"Di antara kita bertiga, memang Lucas-lah yang paling kuat. Walaupun dia lebih sering diam dan suka membaca buku, tapi kalau soal pertarungan, di dunia ini belum ada yang bisa mengalahkannya," batin Bobby dengan seringai menakutkan terlihat di wajahnya.
Setibanya di luar ruangan, Lucas dengan lantang mengancam Evans dan juga Oscar yang masih bersembunyi untuk keluar.
"Keluar atau aku akan membunuh wanita ini!" Ancaman Lucas terdengar bukan main-main. Pria itu kini mulai menempelkan pistol pada pelipis Grace dan sengaja melepas kain yang menyumpal mulut wanita paruh baya itu agar suara ketakutannya bisa terdengar oleh Oscar maupun Evans.
Dari tempatnya bersembunyi pandangan Evans mulai dapat melihat sosok Lucas tengah mendekap tubuh Grace. "Itu Nyonya Grace, Oscar. Sekarang mau tidak mau kita harus keluar." Baru beberapa langkah Evans beranjak, tiba-tiba saja Oscar menahannya.
"Tapi kita belum punya rencana Evans. Bisa saja setelah kita keluar, pria itu akan menembak kita." Oscar tak sependapat dengan apa yang akan dilakukan Evans. Baginya, terlalu berisiko bila keluar dari tempat persembunyian tanpa memiliki sebuah rencana.
"Tidak ada waktu untuk berpikir, Oscar. Tunggu saja di sini, kau jangan ikut keluar juga!" Evans kembali melangkah keluar. Sementara Oscar kini mulai dihantui oleh firasat yang sempat Evans katakan padanya.
"Ayo cepat keluar dan buang senjata kalian!" titah Lucas yang tengah menduga bahwa ia tak sedang berhadapan dengan satu orang saja, melainkan dua orang sekaligus.
Setelah keluar dari tempatnya bersembunyi, Evans langsung meminta kepada Lucas untuk melepaskan Grace dengan penuh penekanan. "Lepaskan wanita itu! Jika kau ingin berhadapan tangan kosong denganku, aku akan sangat menghargaimu sebagai seorang pria." Evans melempar pistolnya ke samping kirinya. Kini sorot matanya mulai menajam. Ia bersiap dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Ditembak atau Lucas mau menerima tantangannya.
Sejenak diam dan hanya saling menatap tajam dengan Evans. Pria itu tiba-tiba menghempaskan tubuh Grace hingga membuat wanita itu mengerang kesakitan karena terbentur keras aspal.
"Nyonya Grace," ucap Evans dengan raut cemas di wajahnya.
Baru saja Evans selesai mengatakan hal itu, sebuah tembakan tepat bersarang di dadanya. Bukan hanya satu, tetapi pria itu memuntahkan seluruh isi pistolnya. Membuat Evans terpelanting beberapa langkah ke belakang dan seketika langsung roboh.
Oscar yang melihat semua kejadian itu dari tempatnya berada hanya dapat menahan keterkejutan. Benar dugaannya bahwa pria itu akan menembak begitu Evans melepaskan pistolnya.
"Evans," lirih Oscar yang hanya bisa menahan suaranya agar Lucas tak mengetahui keberadaannya yang tengah berjalan di samping tepi roof top dengan berpijak pada sebuah pipa besar yang terdapat di sana.
Oscar terus mendekat ke sisi di mana Grace berada. Saat ini rencananya adalah menyelamatkan Grace terlebih dulu sebelum berhadapan dengan pria yang saat ini tengah mendekati Evans.
"Kau jangan banyak bersandiwara, bangunlah!" Lucas mulai mencengkram kerah kemeja Evans dengan keras. Membuat pria itu begitu terkejut karena ternyata Lucas mengetahui bahwa ia menggunakan rompi anti peluru untuk melindungi tubuhnya.
"Dari mana kau bisa tahu?" tanya Evans yang langsung menyudahi sandiwara kematiannya.
"Kau tidak bisa membohongiku!" jawab Lucas dengan penuh kemarahan.
Lucas mulai menyerang dengan sebuah pukulan yang cepat ditepis oleh Evans. Keduanya kini terlibat pertarungan cepat yang sengit. Namun, semakin lama pertarungan berjalan tak seimbang karena Lucas ternyata jauh lebih unggul dari Evans.
"Sial, pria ini ternyata lebih kuat dari dugaanku," batin Evans yang semakin kewalahan menghadapi Lucas.
Di tengah pertarungannya, Evans dapat melihat posisi Oscar yang mulai menaiki tepian roof top dan berjalan mendekati Grace dengan mengendap-endap.
"Kamu memang cerdik Oscar. Sekarang kita bisa leluasa menghadapi mereka kalau Nyonya Grace tidak dalam ancaman," batin Evans kembali membalas serangan Lucas.
Sementara itu, Oscar yang sudah melihat bahwa Evans ternyata baik-baik saja kini sudah dapat bernapas dengan lega. Walaupun ada rasa kesal karena rekannya itu tak memberitahu padanya tentang rompi anti peluru yang dikenakannya.
"Dasar Evans. Kenapa tidak bilang jika kau telah mengenakan rompi anti peluru itu? Hampir saja aku jatuh dari roof top ini saat melihatmu tertembak. Sekarang aku harus segera membawa Nyonya Grace ke tempat yang aman," Oscar mulai melihat sekelilingnya guna mencari sebuah tempat untuk Grace bersembunyi.
Bersambung ✍️