Firasat

1336 Kata
Selamat membaca! Setelah tiba di dermaga, keempatnya langsung menaiki mobil yang memang sudah Evans parkir di sana. Kondisi Chris saat itu semakin memburuk, ditambah Alex yang juga terlihat tidak baik, membuat Oscar memutuskan untuk pergi ke Wilton Corporate hanya berdua dengan Evans. Namun, apa yang disampaikan oleh pria itu ternyata mendapatkan pertentangan dari Chris yang tetap memaksakan dirinya untuk ikut. "Tidak, aku harus ikut. Aku harus menyelamatkan Grace!" Chris mengatakan hal itu dengan penuh penekanan. Watak keras kepala sungguh terlihat dalam diri pria paruh baya itu. Membuat Alex berdecih dan langsung menegurnya. "Bagaimana kau bisa menyelamatkan Mommy? Sementara kau sendiri saja butuh seorang dokter untuk mengobati semua lukamu." Alex masih menampilkan raut wajah geramnya. Ini pertama kalinya, ia menegur sang ayah secara langsung setelah pria itu memutuskan untuk pergi dengan membawa Grace ke London. Sebuah pertanda bahwa Alex ternyata masih menaruh perhatian kepada Chris yang sempat menjadi sosok ayah kebanggaannya. Perkataan Alex pun disambut baik oleh Chris yang seketika menghela napasnya dengan kasar. Pria itu memilih untuk tidak berdebat dengan putranya, mengingat hubungan mereka memang sedang tidak baik. "Baiklah, tapi berjanjilah padaku! Kalian berdua harus selamat dan pulang dengan membawa Grace." Oscar pun tersenyum santai menjawabnya. "Pasti Tuan, kau tidak perlu mencemaskan kami. Aku dan Evans pasti akan membawa Nyonya Grace dengan selamat." Berbeda dengan Oscar, Evans malah menanggapi sebaliknya. Ada sebuah keraguan yang dibalut sebuah firasat. Membuat pria itu merasa tidak yakin saat ini. Evans hanya memilih diam tanpa kata. Ingatannya pun langsung tertuju kepada Sierra yang ia tinggalkan di apartemen seorang diri. "Entah kenapa perasaanku tidak enak ya? Tapi aku tidak boleh mengatakan ini kepada mereka. Aku tidak ingin Tuan Alex dan Tuan Chris jadi mencemaskanku," batin Evans hanya termangu menatap ke luar jendela. Mengabaikan panggilan Oscar yang sudah berulang kali memanggilnya. Sampai akhirnya, suara bariton Alex mulai terdengar memenuhi seisi mobil. Membuat Evans seketika menoleh sambil meminta maaf kepada Alex yang berada tepat di belakang tubuhnya. "Maaf Tuan Alex. Saya sedang memikirkan Sierra di apartemen. Entah kenapa saya jadi merindukannya," ungkap Evans coba menutupi apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya. Oscar menatap ragu rekannya itu sambil terus mengemudikan mobil. Ada hal berbeda yang dilihatnya. Evans tampak tidak seperti biasanya. Yakin dan selalu optimis dalam menghadapi setiap misi yang akan mereka jalani. "Ada apa dengan Evans? Apa yang dia pikirkan?" gumam Oscar menjadi cemas atas apa yang ditunjukkan oleh Evans saat ini. Pertanyaan yang disimpan jauh dalam pikirannya. Ia tak ingin menanyakan langsung kepada Evans yang nantinya dapat didengar oleh Alex maupun Chris. Sama halnya dengan Evans, pria itu tak ingin membuat keduanya sampai cemas. Setelah menempuh perjalanan selama kurang dari setengah jam, akhirnya mobil yang dikendarai Oscar mulai memasuki pelataran rumah sakit. "Kita sudah sampai rumah sakit." Oscar dan Evans langsung keluar dari mobil. Mereka dengan cekatan memanggil tim medis dan meminta dua kursi roda untuk Chris juga Alex agar lebih mudah memasuki rumah sakit. Tak butuh waktu lama, dua kursi roda telah tersedia di samping pintu mobil yang terbuka lebar. Oscar kini mulai membantu Chris keluar dari mobil dengan perlahan. "Ayo hati-hati, Tuan Chris!" Setelah Chris sudah dibawa masuk oleh petugas medis, kini giliran Sandra yang mulai memapah tubuh Alex keluar dari arah pintu yang sama dengan mertuanya itu. Sepertinya kehilangan banyak darah benar-benar membuat kondisi Alex semakin melemah. Ditambah lagi, wajah yang memucat menjadi pertanda bahwa memang pria itu tidak dalam keadaan baik saat ini. "Makasih ya, sayang." Alex masih dapat tersenyum kepada istrinya yang terus memapah tubuhnya hingga duduk di kursi roda dengan dibantu oleh Evans. Sebelum Alex dibawa masuk oleh petugas medis, pria itu sempat melihat wajah asistennya dengan senyum getir yang mengembang. "Kenapa Evans kelihatan berbeda? Kenapa aku jadi mencemaskannya? Dia seperti bukan Evans. Ada keraguan yang sedang dipikirkannya, tapi entahlah. Semoga saya pikiranku ini salah," batin Alex yang dapat membaca kegelisahan dalam diri asistennya itu. Setelah Alex dan Chris pergi bersama Sandra juga dua petugas medis itu, kini tiba saatnya bagi Evans dan Oscar untuk pergi ke Wilton Corporate. Mereka sadar bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah orang-orang biasa dan bisa dianggap remeh. Namun, itu bukan alasan mereka untuk takut apalagi gentar. Terlebih Oscar yang begitu percaya diri saat masuk ke dalam mobil. Setelah melajukan mobil, Oscar pun mulai bertanya kepada rekannya itu. Sebuah pertanyaan yang sejak diperjalanan tadi sempat mengusik pikirannya. "Ada apa Evans? Kenapa kau kelihatan tidak yakin seperti biasa?" tanya Oscar membagi pandangan matanya, antara melihat jalan di depannya dengan menatap Evans penuh selidik. "Tidak ada apa-apa, Oscar. Aku hanya sedang merindukan Sierra, apalagi dia sedang hamil saat ini," jawab Evans dengan senyum kecil terulas dari kedua sudut bibirnya. Oscar yang baru mengetahui kabar baik tentang kehamilan Sierra pun seketika tersenyum. "Aku ikut bahagia, Evans. Selamat ya, pantas saja kau jadi merindukan Sierra seperti ini. Kalau begitu ayo kita selamatkan Nyonya Grace dan segera pulang." Dengan penuh semangat Oscar mengatakan semua itu. Sementara Evans hanya tersenyum palsu untuk menutupi kegelisahannya. Ia tak ingin membuat rekannya menjadi cemas dan ikut memikirkan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa itu. Setibanya di Wilton Corporate, Evans yang memang sudah pernah datang ke perusahaan itu meminta Oscar untuk memarkirkan mobil di basemen. Keduanya menggunakan tangga darurat menuju roof top, tempat di mana Grace berada di sana. "Ya ampun, kenapa lewat tangga darurat Evans?" gerutu Oscar dengan sebuah pertanyaan. "Memang akan sangat melelahkan, tapi di sini adalah tempat yang aman karena tidak ada CCTV," jawab Evans sambil terus menaiki anak tangga. "Baiklah. Memangnya gedung ini memiliki beberapa lantai?" tanya pria itu kembali. "Tidak banyak, hanya 35 lantai saja." Seketika kedua mulut Oscar terbuka lebar. Pria itu pun memutuskan duduk di salah satu anak tangga sambil meluruskan kedua kakinya yang terasa mulai melemah. Maklum saja, mereka kini sudah berada di lantai 20. Awalnya keduanya begitu semangat dengan berlari menaiki anak tangga. Namun, di lantai 17 langkah mereka terasa berat. Membuat gerakan keduanya semakin melambat. "Ya Tuhan, Evans. Belum juga kita menghadapi anak buah pria itu, kita bisa pingsan duluan ini," keluh Oscar sambil menepuk dahinya dengan keras. Tampan ekspresi wajah tak percaya ditampilkan oleh pria itu. Membuat Evans seketika terkekeh dengan keras. Ia sampai tak bisa menahan gelak tawanya. Terlebih ketika melihat Oscar yang tiba-tiba ambruk dengan bersandar pada dinding. "Ya sudah kita istirahat dulu saja." Evans pun memutuskan duduk di sebelah Oscar. Rasa lelah juga terlihat dari dahinya yang tampak lembab dengan keringat. Belum lagi napas yang terengah, semakin menasbihkan bahwa memang tak hanya Oscar yang merasa lelah karena menaiki anak tangga, tapi juga Evans. Di sela-sela waktu istirahat mereka, Evans tiba-tiba melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat Oscar sampai tersedak salivanya sendiri. Pria itu kini terbatuk-batuk karena begitu terkejut dengan pertanyaan yang didengarnya. "Apa kamu bilang? Menikahi Sierra kalau kamu tiada. Hai, Evans. Aku tidak akan membiarkanmu mati karena yang harus hidup adalah kamu dan bukan aku. Kalaupun ada yang mati, lebih baik aku. Kamu itu punya Sierra, apalagi dia sedang mengandung anakmu. Jangan berkata demikian ya brother!" Oscar merangkul pundak sahabatnya dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. "Jangan berkata demikian ya, Evans. Aku pasti akan melindungimu dan tidak akan membiarkanmu mati!" sambung Oscar kembali dengan penuh penekanan. Evans hanya tersenyum tipis. Ia coba menguatkan hatinya yang kini lemah. Hati yang entah mengapa sedang dibalut sendu hingga membuatnya berpikir tentang kematian. "Maafkan aku, Oscar. Aku hanya mengatakan apa yang mengganjal di pikiranku sejak tadi, tapi sekeras apa pun kamu melindungiku, bila kematian itu adalah takdirku, maka kematian akan tetap datang kepada sang pemiliknya. Jadi berjanjilah padaku! Bila sampai sesuatu yang buruk menimpaku, kamu harus menjaga Sierra untukku," ucap Evans terlihat penuh kesungguhan. Membuat hati Oscar bergetar hebat. Ia merasa pesan yang disampaikan Evans begitu menakutkan. Sebuah pesan yang tidak ingin didengarnya keluar dari mulut sahabatnya itu. Setelah Evans terus meminta Oscar untuk berjanji, akhirnya pria itu dengan terpaksa menjawabnya. Walaupun dalam hatinya kini terbesit sebuah tekad kuat bahwa jika firasat itu benar adanya, dialah orang yang akan mengorbankan dirinya demi sahabatnya. "Aku akan menjagamu, Evans. Aku tidak akan membiarkan maut itu datang menjemputmu, walau aku harus mengorbankan nyawaku sendiri," batin Oscar menahan kesedihan jauh di dalam hatinya. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN