Selamat membaca!
"Bagaimana kondisimu, Alex?" tanya Oscar begitu Alex dan Sandra tiba di hadapannya.
"Hanya luka tembak pada lengan ini. Bukan masalah Oscar," jawab Alex sambil melirik bagian lengannya yang masih terlihat mengeluarkan darah. Di saat rasa sakit masih terasa nyeri di lengannya, tiba-tiba terbesit dalam pikirannya tentang kondisi sang ibu yang masih belum ia lihat sejak awal kedatangannya ke pulau.
"Oh ya, apa kalian sudah berhasil menemukan Ibuku? Bagaimana kondisinya?" tanya Alex yang mengira bahwa Grace telah berhasil diselamatkan. Namun, pikirannya ternyata salah. Pertanyaan Alex seketika membuat raut wajah kedua anak buahnya itu menampilkan kekecewaan yang cepat terbaca olehnya sebelum mereka mengatakan apa-apa.
"Jadi dia tidak dibawa ke tempat ini bersama Sandra. Sekarang bagaimana kita bisa menemukannya?" Alex pun semakin cemas memikirkan sang ibu yang kini masih berada dalam tawanan anak buah Mark. Ia takut bila sesuatu yang buruk terjadi pada Grace. Tentu saja itu akan sangat melukai hatinya. Kehilangan baginya adalah sebuah mimpi buruk. Mungkin bukan hanya Alex, tapi semua orang yang hidup di dunia ini.
Pertanyaan yang membuat Evans dan Oscar seketika diam seribu bahasa. Sampai akhirnya, Sandra mulai teringat ancaman Mark yang menjadikan Grace sebagai alat agar dirinya mau menurutinya.
"Alex, aku sempat diancam oleh Mark. Waktu itu Mommy seperti berada di sebuah gedung tinggi. Saat itu Mommy akan dijatuhkan kalau aku tidak menuruti keinginan Mark." Sandra menceritakan apa yang sempat dialaminya. Membuat Alex geram sambil terus memutar otaknya, menemukan cara agar ia dapat mengetahui tempat di mana ibunya disekap.
"Sebaiknya kita ke rumah itu. Kita selidiki ke mana mereka membawa ibuku. Sekarang ini mereka pasti belum mengetahui jika ternyata tuannya sudah mati."
Oscar dan Evans pun sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Alex. Kini mereka berempat mulai melangkah kembali ke rumah, tempat di mana Sandra ditawan. Rumah yang masih terdapat Chris di dalamnya sedang mencari keberadaan Grace yang hingga kini masih belum ditemuinya.
"Di mana sebenarnya mereka menyekap Grace? Aku sudah mencari hampir di semua ruangan di rumah ini, tetapi tetap tak menemukan keberadaannya." Chris tampak terengah dengan raut cemas yang terlihat jelas di wajahnya. Ia tidak bisa tenang sebelum berhasil menemukan keberadaan Grace.
"Apa jangan-jangan dia tidak ikut dibawa ke sini ya?" Seketika hal itu mulai timbul dalam pikiran Chris. Membuatnya semakin geram dalam situasi yang benar-benar membuatnya hanyut dalam rasa cemas karena memikirkan kondisi Grace.
Di tengah kebimbangannya, langkah kaki Chris terhenti di sebuah kamar yang lebih mewah dari kamar mewah lainnya. Seketika Chris pun berpikir bahwa kamar itu adalah kamar utama di mana sang pemilik rumah menempatinya.
"Mungkin di kamar ini aku bisa menemukan informasi di mana Grace ditawan?" Tanpa membuang waktu lagi, Chris melangkah masuk. Pandangannya terus mengamati ke sekelilingnya. Tak ada satu pun yang luput dari sorot matanya yang begitu tajam dalam menyisir setiap sudut ruangan di kamar mewah yang memiliki luas hampir sama dengan pelataran rumahnya.
"Padahal kamar ini begitu luas, apa tidak ada satu pun yang bisa memberikan aku petunjuk di mana mereka membawa Grace?" Pandangan Chris mulai terhenti pada sebuah laptop yang berada di atas nakas. Laptop yang digunakan Mark untuk menghubungi anak buahnya di tempat penyekapan Grace, sewaktu mengancam Sandra. Laptop yang saat itu terhubung dengan sebuah layar LED berukuran besar yang terdapat di kapal pesiar milik Mark. Kapal yang masih berada di pesisir pantai.
Setelah mengambil laptop itu, Chris langsung duduk di sebuah sofa dan mulai membuka laptop tersebut.
"Semoga saja laptop ini tidak butuh password untuk membukanya." Proses laptop saat menyala pun membuat Chris semakin cemas. Sampai akhirnya, sebuah senyuman seketika mengembang saat layar pada laptop yang sudah menyala ternyata memang tidak membutuhkan password untuk membukanya.
"Bagus. Sekarang aku tinggal mencari, apa yang bisa aku temukan dalam laptop ini?" Chris kini mulai membuka file yang terdapat pada dokumen di laptop itu satu persatu.
Kedua alisnya tampak saling bertaut dalam, menandakan bahwa pria paruh baya itu terlihat fokus menatap layar pada laptop. Sampai akhirnya, sebuah file video yang disaksikan Sandra telah berhasil ditemukannya.
"Ini video Grace." Chris langsung menekan play pada video untuk mulai menyaksikannya. Dengan penuh kejelian ia melihat bagian sekitar roof top tempat di mana Grace berada.
"Sayang sekali ini bukan Paris. Aku kurang hafal kota London. Kira-kira di mana gedung ini berada ya?" Chris masih terus mengamati dengan seksama. Namun, sekeras apa pun ia berpikir dan terus melihat, tetap saja kota London bukanlah rumahnya. Ia merasa sangat asing dengan situasi yang ada di video itu. Hal yang paling dilihatnya adalah raut wajah Grace saat ketakutan, membuat amarahnya seketika meledak. Bahkan ia sampai memukul bagian atas meja, tempat di mana ia meletakkan laptop tersebut.
"Sial, mereka berani sekali membuat Grace sampai ketakutan dan menangis seperti itu!" Dengan penuh amarah, Chris meluapkan rasa kesal yang tertahan dalam dirinya.
Suara gaduh yang terdengar keras, membuat Evans dan Oscar yang mendengarnya mulai bersiap dengan pistol dalam genggamannya.
"Sepertinya ada orang di ruangan itu. Sebaiknya kita hati-hati." Evans melangkah lebih dulu menuju ruangan di mana ia mendengar suara Chris memukul meja dengan keras. Baik Oscar maupun Evans masih belum mengetahui bahwa itu adalah Chris.
Setelah tiba di depan pintu ruangan, Evans dan Oscar secara bersamaan langsung menyodorkan pistol mereka kedua sisi yang saling berlawanan.
"Ternyata Anda, Tuan Chris." Raut wajah yang tegang itu seketika berubah menjadi senyuman, saat melihat Chris tengah berada di sana.
Chris yang sempat terkejut dengan kedatangan kedua anak buahnya itu pun langsung memanggil Evans yang menurutnya lebih paham tentang kota London daripada dirinya. "Evans, kemarilah! Coba lihat video ini. Apakah kau tahu di mana gedung ini berada?" Chris menggeser layar laptop tersebut ke arah Evans saat pria itu sudah berada di sebelahnya.
Evans pun berlutut dengan kedua mata yang masih terus menatap video yang tengah disaksikannya. Latar video yang sama sekali tak asing untuknya. "Ini kan Wilton Corporate. Lihat ini London Eye ada di sisi kanan. Berarti benar ini diambil dari roof top Wilton Corporate, tempat di mana tadi pagi aku dan Tuan Alex meeting dengan Mark."
"Kau yakin Evans?" tanya Chris memastikan apa yang dikatakan oleh salah satu anak buah terbaiknya.
"Saya sangat yakin, Tuan."
"Baiklah, sekarang kita harus segera ke sana. Jangan sampai kematian Mark sampai diketahui lebih dulu oleh mereka."
"Bagaimana kau bisa tahu kalau Mark sudah mati, Tuan? Bukankah kau tidak keluar dari rumah ini." Oscar menatap penuh selidik ke arah majikannya itu.
"Aku melihatnya dari pusat kontrol. Aku juga tahu jika Alex telah berhasil menemukan Sandra. Pulau ini sudah dipasang CCTV hampir di sekelilingnya. Orang ini sepertinya bukan hanya kaya, tapi sepertinya dia juga berbahaya." Chris langsung menutup layar pada laptop tersebut dan meminta Oscar membawanya.
Kini ketiganya mulai melangkah. Tampak Chris sedikit terhuyung ketika bangkit dari posisi duduknya. Amarah yang sempat membuncah tadi, sangat mempengaruhi kondisinya. Membuat Oscar dan Evans yang melihatnya menjadi begitu cemas.
"Kau tidak apa-apa, Tuan?" tanya Oscar langsung memapah tubuh tuannya itu yang hampir terjatuh saat hendak melangkah keluar dari kamar.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh istirahat saja, rasanya aku memang tidak boleh terlalu emosi. Darah tinggiku sepertinya kambuh," jawab Chris sambil memegangi bagian kepalanya yang terasa pening. Rasa pening yang membuat pandangannya mulai berkabut.
"Sebaiknya nanti biar kami saja yang pergi ke roof top itu. Anda sebaiknya beristirahat saja, kalau perlu kami akan mengantar Anda ke rumah sakit."
"Tidak perlu. Ini bukan masalah besar. Sudah ayo! Kita tidak boleh membuang waktu!" titah Chris sambil melepas tangan Oscar yang sempat ingin memapahnya. Kini Chris mulai melangkah lebih dulu. Membuat keduanya tahu bahwa tuannya itu sedang memaksakan dirinya.
"Tuan Chris memang akan selalu seperti itu Oscar. Kau tidak akan bisa melarangnya."
"Kau betul Evans, tapi sebaiknya dia tidak ikut dalam penyelamatan Nyonya Grace nanti. Aku khawatir dengan kondisinya. Tuan Alex pun sedang terluka di lengannya."
"Ya, kau betul Oscar. Sebaiknya kita saja yang pergi," jawab Evans yang sependapat dengan perkataan Oscar.
Keduanya pun kini mulai menyusul langkah Chris yang sudah jauh meninggalkan mereka. Ada sebuah misi yang menanti keduanya. Misi untuk menyelamatkan Grace dari anak buah Mark. Misi yang sebenarnya berat karena mereka harus menghadapi anak buah terbaik yang dimiliki oleh Mark.
Bersambung ✍️