Selamat membaca!
Setelah tiba di Wilton Corporate, seorang supir pribadi yang bernama Nelson mulai membuka pintu mobil. Alex pun keluar dan merapikan jas hitam yang dikenakannya setelah berada di luar. Kini pria itu melangkah diiringi oleh Evans yang tepat berada di sebelahnya.
Kedatangan mereka telah disambut oleh petugas keamanan yang berjaga di depan lobi dengan sangat ramah. Namun, langkah Alex seketika terhenti, saat kedua matanya menatap sosok pria yang masih diingatnya. Pria itu adalah Mark Well, seorang pria yang pernah menjadi bulan-bulanan Alex karena telah menyulut api cemburu dengan mendekati Sandra.
"Evans, pria itu kenapa ada di sini?" tanya Alex dengan kedua alis yang saling bertaut.
Evans mulai melihat ke arah mana Alex memandang. Sampai akhirnya, ia pun melihat Mark, sosok pria yang menjadi pertanyaan dari tuannya itu.
"Oh dia, dia adalah pemilik Wilton Corporate, Tuan. Apa Anda mengenalnya?" jawab Evans yang diakhiri sebuah pertanyaan.
"Ya Tuhan, pria yang pernah aku hajar itu ternyata akan menjadi rekan bisnisku saat ini," batin Alex merasa tidak enak atas apa yang pernah dilakukannya dulu.
"Jadi Anda sudah mengenal Tuan Mark?" tanya Evans kembali setelah tak mendapatkan jawaban pada kesempatan sebelumnya.
Alex tersadar dari lamunannya. Ia kembali melihat Evans dengan sorot mata yang masih menyisakan keterkejutan. Wajar saja Alex menjadi sangat gugup karena proyek ini sangatlah penting untuk kelangsungan perusahaannya dalam dunia bisnis yang terbilang baru dirintisnya. Terlebih ia tak membawa nama Decker Corporate pada bisnisnya kali ini. Alex lebih memilih menggunakan nama keluarga Sandra sebagai nama dari perusahaan barunya.
"Dia pernah aku hajar sewaktu di restoran karena mendekati Sandra." Alex masih menatap Mark dari tempatnya berdiri. Ia hanya bergeming seolah enggan melangkah maju, padahal Mark di depan sana sudah menunggunya.
Evans yang mendengar jawaban Alex seketika terkejut. Ia tak menyangka bahwa keduanya sempat terlibat sesuatu yang tak mengenakan di masa lalu.
"Jadi bagaimana, Tuan? Apa Anda mau mundur dari kerja sama ini?" tanya Evans setelah melihat keraguan yang ditunjukkan oleh Alex saat ini.
"Tentu tidak, proyek ini sangat penting untuk kita. Ya, semoga saja dia memaklumi apa yang aku lakukan dulu." Alex mulai melangkah penuh keyakinan, diikuti oleh Evans yang setia mengiringi langkah tuannya itu.
Sambutan hangat langsung tertuju pada Alex. Mark terlihat sangat ramah. Tak ada raut kebencian yang menunjukkan bahwa pria itu masih menyimpan dendam padanya. Mark seolah telah melupakan apa yang dulu pernah Alex lakukan terhadapnya. Sesuatu yang tentu saja sangat tidak berkenan untuknya.
"Alex Decker, senang bertemu kembali denganmu. Dunia ini sempit ya?" Kalimat itu terlontar dari mulut Mark ketika Alex dan Evans baru saja tiba di hadapannya.
"Senang juga bertemu dengan Anda, Mark. Semoga Anda melupakan apa yang pernah saya lakukan dulu terhadap Anda." Alex langsung menjabat tangan Mark.
"Tentu Alex, kita lupakan masa lalu. Sekarang kita harus menatap masa depan karena waktu tidak akan pernah bisa kembali ke belakang," jawab Mark dengan senyum yang mengembang.
"Terima kasih, Mark."
"Tentu Alex. Sekarang mari kita ruang meeting." Mark mulai melangkah bersama Alex setelah situasi tegang yang sempat terjadi, kini telah mencair karena sambutan ramah dari Mark.
Alex benar-benar menunjukkan pribadi yang berbeda. Ia tak lagi arogan seperti dulu. Hidup bersama Sandra sungguh merubah karakternya. Sisi hitam dalam dirinya kini telah disinari oleh cahaya. Cahaya cinta yang dibawa oleh Sandra ke dalam hidupnya. Namun, ada satu hal yang membuat Sandra amat sedih. Wanita itu tetap tak bisa melunturkan kebencian dalam hati Alex terhadap Chris, ayahnya. Kebencian yang membuat jarak mereka terpisah cukup jauh, tak lagi dekat.
()()()()()
Sementara itu, Sandra kini sedang berdiri di depan cermin. Menatap penampilannya yang sudah tampak anggun dengan dress panjang berwarna merah jambu. Membuat dirinya terlihat benar-benar feminim.
"Aku sangat bersyukur atas kehamilanku. Terlebih saat ini Alex sudah benar-benar hidup normal dengan meninggalkan segala aktivitas mafianya," ungkap Sandra sambil mengusap bagian perutnya dengan lembut. Senyuman yang terus mengembang penuh kebahagiaan dari kedua sudut bibir merahnya.
Namun, situasi bahagia itu seketika buyar di saat suara Grace terdengar berteriak dari lantai dasar rumahnya. Suara yang dengan cepat lenyap seperti ada sesuatu membungkam mulut Grace. Sandra yang mendengarnya pun terhenyak. Ia begitu terkejut atas teriakan sang mertua yang terdengar aneh menurutnya.
"Mommy, kenapa?" tanya Sandra dengan kedua alis yang saling bertaut dalam.
Sandra sengaja tak keluar dari kamarnya. Ia langsung menuju sebuah nakas dan mengambil pistol yang memang disimpan oleh Alex di dalam laci.
"Ya Tuhan, ada apa dengan Mommy? Apa ada seseorang yang datang ke rumah ini?" tanya Sandra begitu penasaran.
Saat ini, ia benar-benar tak habis pikir atas apa yang dihadapinya. Situasi tegang yang membuatnya teringat ketika dirinya menjadi korban penculikan untuk melemahkan Alex.
"Aku harus segera menghubungi Alex." Sandra pun meraih ponsel miliknya yang berada dalam jangkauannya. Setelah menggenggam ponsel tersebut, ia mulai menghubungi Alex. Namun sayangnya, saat itu Alex tak menjawab panggilan telepon yang masuk pada ponselnya. Ya, di saat Sandra tengah menghubungi Alex, meeting dengan Wilton Corporate tengah berlangsung. Membuat Alex mematikan ponselnya karena tak ingin aktivitas meeting-nya menjadi terganggu.
Di saat kecemasan Sandra kian memuncak. Suara derap langkah kaki mulai menelusup masuk ke dalam rongga telinganya. Tak hanya satu, tapi dua orang terdengar mendekat ke arah kamar. Sandra kini semakin dibuat tegang. Membuatnya terus memutar otak agar dapat lolos dari situasi yang tengah terjadi saat ini.
"Sekarang harus bagaimana ini?" gumam Sandra sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar kamar.
Sampai akhirnya, pandangannya pun mulai terhenti pada balkon kamarnya yang terbuka.
"Tak ada pilihan lain, aku harus keluar lewat balkon itu." Sandra melangkah dengan tergesa-gesa tanpa menimbulkan suara. Ia tetap hati-hati karena tak ingin dua orang yang semakin mendekat, sampai mengetahui keberadaannya di dalam kamar.
Setelah berada di balkon, Sandra dengan cepat menaiki pagar setelah menyimpan pistol yang sejak tadi digenggamnya ke dalam saku dress-nya. Ia tak punya pilihan selain melewati tepi dinding yang terlihat cukup menyeramkan dengan ketinggian yang pasti akan membuatnya mati bila sampai terjatuh. Namun, beruntungnya di sana terdapat sebuah besi sebagai pegangan Sandra untuk melewati tepi dinding yang hanya berukuran setapak.
"Ya Tuhan, aku takut sekali." Sandra dengan hati-hati terus menapaki tepian dinding itu sambil menggenggam erat besi yang menjadi satu-satunya tumpuannya untuk bertahan. Napas yang menderu dengan peluh pada dahinya semakin menegaskan bahwa saat itu Sandra benar-benar ketakutan akan situasi yang tengah dihadapinya. Terlebih di saat suara tembakan mulai terdengar dan diikuti oleh suara pintu yang terbuka secara paksa. Membuat wanita itu semakin mempercepat langkah kakinya.
"Alex, aku mohon hubungi aku secepatnya," batin Sandra penuh rasa takut, berharap agar suaminya menyadari bahwa ia tengah berada dalam bahaya.
Saat ini, jaraknya dengan balkon lainnya hanya menyisakan beberapa langkah lagi. Akan tetapi, sebelum wanita itu tiba kedua orang dengan pakaian serba hitam sudah melihat keberadaannya dan langsung memerintahkannya untuk berhenti sambil menyodorkan pistol yang digenggamnya.
"Cepat berhenti atau aku akan menembakmu!" titah seorang pria dengan suara beratnya.
Sandra pun tercekat. Langkahnya kini terhenti dengan pandangan yang mulai menatap takut wajah kedua pria yang sudah mengancamnya.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Ya Tuhan, Alex tolong aku," batin Sandra berharap sosok Alex saat ini ada dan melindunginya.
Bersambung ✍️