Selamat membaca!
Sandra sudah tiba di depan hotel, ia termangu sejenak sebelum memasuki lobi. Pikirannya saat ini tak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh pria misterius dengan suara bariton itu. Sampai akhirnya, ketika memasuki sebuah kamar sesuai dengan isi pesan yang masuk dari pria misterius itu. Kedua mata Sandra membulat sempurna ketika melihat sosok pria yang kini berada di hadapannya dalam keadaan tak bernyawa dengan bersimbah darah.
"Ayah," lirih Sandra sambil berlutut di samping tubuh ayahnya. Sekujur tubuhnya seketika gemetar dengan bibir yang memucat. Air mata yang sudah menganak di kelopak matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya saat wanita itu memejamkan kedua matanya, menahan rasa perih yang teramat dalam. Suara tangisannya pecah, ia begitu histeris meluapkan kehilangannya. Membuat beberapa pekerja dan pengunjung di hotel itu mulai berdatangan menghampiri Sandra yang sudah bersimpuh di samping tubuh ayahnya. Sandra terus menangis sekeras-kerasnya, rasa sakit yang terasa jauh lebih sakit dari apa yang dirasakan sebelumnya, saat melihat suaminya melupakannya untuk wanita lain.
Tangisan Sandra pun sejenak terhenti ketika pandangannya menangkap sebuah objek yang membuat kedua alisnya saling bertaut dengan sorot mata yang lebih tajam. Sandra melihat ke arah sebuah ukiran darah yang bertuliskan nama "Alex" di dasar lantai, sebuah nama yang tentunya tidaklah asing untuknya. Suami yang baru saja menyakiti hatinya hingga membuat kebahagiaan yang ia rasakan, melebur bersama air matanya.
"Alex, kau tega sekali telah menyuruh anak buahmu untuk membunuh satu-satunya keluarga yang masih aku miliki di dunia ini!" Sandra sesenggukan dengan napas yang terasa begitu sesak menghimpit dadanya. Kesedihan yang dirasakan Sandra, menimbulkan rasa empati dari beberapa orang yang sudah berada di dekatnya.
"Sabar, Nona. Apa ini orang tuamu?" tanya seseorang di sana, coba menenangkan Sandra dengan mengusap lengannya.
Sandra pun hanya mengangguk, bibirnya tertutup rapat tak mampu berkata sepatah katapun. Namun, tangisannya tetap tak mampu dihentikannya. Ia masih terisak. Rasa sakit yang terasa menghancurkan seluruh hidupnya. Membuat Sandra mulai merasakan percikan dendam yang tengah bergemuruh dalam dirinya. Dendam yang tertuju pada sosok Alex. Seseorang yang namanya terukir jelas di lantai dengan telunjuk Albert yang terkulai lemah di akhir huruf X.
()()()()()
Sementara itu, di dalam klinik, Alex mulai mengedarkan pandangan melihat ke arah sekitarnya. Mencari keberadaan seorang wanita yang sejak tadi terus bertahta di pikirannya. Sampai akhirnya, kedua matanya pun berhasil menemukan keberadaan Sierra. Langkahnya kini mulai tertuju lurus ke arah wanita itu yang tampak sendu dengan memangku kedua tangannya.
Langkahnya tepat terhenti di hadapan Sierra. Wanita itu kini menengadahkan kepalanya, menatap sendu wajah Alex yang secara berangsur kini berlutut di depan Sierra yang sama sekali tak mengalihkan pandangannya.
Alex mulai menangkup kedua sisi wajah Sierra dengan lembut. Isak tangis yang tak mereda, membuat pria itu semakin mendekatkan wajahnya dengan wanita yang mendadak hadir kembali dalam hidupnya, wanita yang sudah hampir dilupakannya. Kini keduanya saling beradu kening, manik mata Alex yang berwarna kebiruan memantulkan sosok Sierra dengan raut penuh penyesalan yang tak pernah pudar dari wajahnya.
"Seharusnya aku tidak kembali ke Paris, Alex," lirih Sierra sambil terisak. Ia terus merutuki dirinya atas semua terjadi saat ini.
"Ini bukan salahmu, Sierra. Sekarang coba ceritakan padaku apa sebenarnya yang terjadi denganmu selama ini!"
Sierra pun terdiam tanpa kata. Lidah mulai terasa Kelu hingga mengunci niatnya untuk jujur. Ia masih ragu membongkar semua rahasia yang selama ini membuatnya harus terpisah dengan Alex. Namun, saat Alex mencium keningnya, keyakinan itu seketika timbul dari balik rasa takutnya. Sierra pun akhirnya mulai menceritakan semuanya kepada Alex dengan perlahan.
Ingatan masa lalu yang tersimpan jauh di dasar pikirannya. Sierra coba menghadirkannya, walau mungkin luka yang sudah mengering di hatinya bisa menganga kembali.
Satu hari itu adalah hari yang paling kelam dalam hidupnya. Kebahagiaannya dengan Alex sekejap sirna. Bahkan harapannya agar bisa menikah dan menjadi ibu dari anak-anak Alex, saat itu hanya tinggal sebuah impian belaka.
Sierra menghela napasnya dengan kasar, sebelum ia mulai membuka suaranya yang sedari tadi terkunci rapat oleh kesedihannya.
"Semoga ini bukan keputusan yang salah. Aku hanya berharap, kebahagiaanku dengan Alex akan kembali, tapi aku juga menginginkan Evans selamat karena tidak ada yang perlu mati. Terlebih semua masalah ini adalah kesalahanku," batin Sierra sambil terus mengingat momen itu. Momen di mana hidupnya seketika berubah karena melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihatnya.
()()()()()
Sore itu di sebuah mall, Sierra melihat dengan kedua mata yang membulat sempurna. Sekujur tubuhnya gemetar hebat dengan kedua alis yang saling bertaut, menatap tajam atas apa yang dilihatnya saat ini.
"Itu Papi Chris, sedang bersama siapa?" batin Sierra penuh tanda tanya.
Sierra perlahan mulai mendekat ke arah Chris agar dapat melihat dengan lebih jelas. Sierra benar-benar tak menyangka bahwa ia akan memergoki calon mertuanya bersama seorang wanita dan gadis berusia 12 tahun. Bahkan sebutan kata "Daddy" terlontar dari mulut gadis itu.
Sebuah mall yang jauh dari kota Paris. Mall yang tidak terlalu ramai karena Mall ini berada di pinggir kota. Namun, hari itu Sierra memang berada di sana untuk menemui sahabatnya yang memang sudah lama sekali tak dikunjunginya.
"Apa jangan-jangan Papi Chris memiliki keluarga lain? Jika sampai Alex mengetahui semua ini, dia pasti akan sangat marah karena aku tahu Alex selalu memuji-muji Papi Chris yang sangat setia terhadap Mommy Grace," batin Sierra masih mengintip dari sebuah pilar yang berhadapan lurus dengan tempat Chris berada.
Sierra terus menatap penuh selidik. Bahkan ia hendak mengambil foto atas apa yang saat ini dilihatnya. Namun, saat ia mulai membidik ke arah Chris dengan menggunakan kamera ponselnya, tiba-tiba Chris melihat ke arahnya, membuat Sierra terkesiap dan kembali bersembunyi di balik pilar. Raut wajah yang pucat dengan napas tercekat, menampilkan kecemasan dalam diri Sierra. Kala itu, ia sangat takut bila akhirnya Chris mengetahui keberadaannya di sana.
"Untung saja, aku bisa cepat menghindar," batin Sierra sambil mengusap dadaanya. Ia terlihat sudah bisa bernapas dengan lega, walau masih memejamkan kedua matanya.
Sierra pun mengurungkan niatnya untuk mengambil foto Chris yang tengah bersama seorang wanita dan gadis berusia 12 tahun, ia kini bergegas meninggalkan pilar tempatnya bersembunyi, menuju parkiran mobil. Napasnya terdengar terengah karena Sierra melangkah dengan setengah berlari. Ia benar-benar takut, Chris akan mengetahui keberadaannya. Sampai akhirnya, ia mulai membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam.
"Akhirnya aku bisa lolos. Sekarang aku harus memberitahukan hal ini kepada Alex atau Mommy Grace, walau kenyataan ini memang sangat pahit, tetapi mereka berdua harus mengetahuinya," batin Sierra memutuskan untuk menuju kantor tempat di mana Alex memimpin perusahaannya.
Perjalanan Sierra pun di mulai. Ia masih tak menyangka atas apa yang dilihatnya. Kecewa, itu sudah pasti. Namun, yang lebih mengherankan lagi adalah ketika Chris berhasil menyembunyikan rahasia besarnya itu selama bertahun-tahun, sungguh membuat Sierra tak habis pikir.
"Papi Chris sangat pintar menyembunyikan rahasianya. Bahkan Alex sampai tidak mengetahui semua ini," batin Sierra masih merasa heran dengan semua yang telah dilihatnya.
Setelah satu jam menempuh perjalanan, kini mobil Sierra mulai memasuki area perkantoran. Setibanya di parkiran, ia dengan cepat memarkir mobilnya dan bergegas masuk ke dalam lobi kantor. Saat itu raut wajahnya tampak menutupi apa yang baru saja dilihatnya. Ia coba menampilkan senyum di wajahnya, walau terkesan dipaksakan.
Sierra pun tiba di depan lift dan sedang termangu menunggu pintu lift untuk terbuka. Namun, sampai pintu lift itu kembali menutup Sierra kunjung beranjak dari posisinya.
"Apa aku memang harus menceritakan semua yang aku lihat kepada Alex? Kalau Papi Chris marah bagaimana?" batin Sierra tengah bergelut dengan keyakinannya.
Tiba-tiba suara teguran yang tak asing di telinganya langsung membuyarkan lamunan Sierra kala itu.
"Hai, kamu kenapa masih di sini?" Sepasang tangan dengan lengan yang kekar mulai melingkar di tubuh wanita itu yang sedari tadi hanya termangu di depan pintu lift.
Sierra menengadahkan kepalanya melihat wajah Alex yang semakin manja bertumpu pada pundaknya.
"Iya sayang maaf ya, aku lagi kepikiran sesuatu yang aku lupakan." Sierra berusaha menutupi apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya.
"Memang apa sayang yang kamu pikirkan?" Alex semakin bergelayut manja pada tubuh Sierra.
Sierra sejenak terdiam. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Alex.
"Aku tidak mungkin menceritakan apa yang aku lihat kepada Alex, dia pasti akan sangat emosi, lebih baik aku menceritakan terlebih dahulu kepada Mommy Grace," batin Sierra memutuskan, sambil melepaskan dekapan Alex yang semakin erat memeluknya.
Setelah melepaskan kedua tangan Alex dari tubuhnya, Sierra kini menghadap ke arah pria yang sudah dicintainya selama dua tahun ini. Tiba-tiba Sierra melabuhkan kecupan singkatnya ke arah bibir Alex, yang membuat Alex seketika terhenyak mendapatkan ciuman dari kekasihnya itu. Sebuah ciuman yang ternyata adalah ciuman perpisahan, tanpa dapat disadari oleh keduanya.
"Sayang aku lupa, harus pergi ke rumahmu, karena aku sudah ada janji dengan Mommy Grace untuk pergi ke salon bersama." Sierra menyentuh tengkuk lehernya untuk menepis rasa cemas di dalam hatinya, ia mencari alasan untuk dapat pergi dari Alex.
Sierra langsung pergi keluar dari kantor, dengan masih mengulas senyum manisnya ke arah Alex, namun belum lama Sierra keluar dari kantor, ia sudah terlihat kembali ke hadapan Alex, sambil memasang wajah polosnya.
"Sayang aku pinjem mobil kamu ya, soalnya mobil aku enggak bisa keluar terhalang mobil lain."
Alex dengan senang hati memberikan kunci mobilnya kepada Sierra. Setelah menyambar kunci mobil dari tangan Alex, Sierra pun memberikan kunci mobilnya kepada Alex. Kedua saling bertukar mobil saat itu.
Sierra kembali beranjak keluar dari kantor, sedangkan Alex bergegas menuju ruang pribadinya.
"Semoga keputusan yang aku ambil ini sudah tepat untuk menceritakan semua kepada Mommy Grace," batin Sierra penuh harap sambil masuk ke dalam mobilnya.
Mobil yang dikendarai Sierra mulai melaju meninggalkan pelataran kantor. Saat itu mobil melaju dengan kecepatan yang tinggi menuju rumah kediaman Decker.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit. Tiba-tiba di sebuah belokan tampak sebuah mobil menghadang hingga membuat Sierra seketika menginjak dalam rem mobilnya.
Sierra mengaduh kesakitan, saat kepalanya terantuk kemudi mobil karena mendadak menghentikan laju kendaraannya yang sedang melaju cepat.
"Aduh, sakit banget. Siapa yang menghalangi jalanku ya?" tanya Sierra sambil mengusap dahinya yang masih terasa sakit.
Wanita itu pun bergegas keluar dari mobil dengan penuh amarah karena merasa hal yang baru saja dilakukan pengendara mobil itu sangat membahayakannya. Namun, Sierra terkesiap atas apa yang dilihatnya, saat Oscar dan Evans keluar dari dalam mobil.
"Evans, Oscar."
Seketika terbesit hal yang baru saja dilihatnya sewaktu di mall. Ia pun dengan cepat berlari, masuk ke dalam mobilnya. Namun, tanpa di sangka, saat ia sudah masuk ke dalam mobil dan mengunci mobil itu, seorang laki-laki sudah duduk di samping kursi kemudi dengan menyodorkan sebuah pistol ke pelipisnya.
"Papi Chris." Sierra tercekat begitu kaget, sampai kesulitan menelan salivanya sendiri.
"Ikuti mobil di depan, cepat!" titah Chris menempelkan dengan erat ujung pistolnya pada pelipis Sierra.
Kala itu mungkin lebih menyeramkan dari saat Sierra menonton film horor. Detak jantungnya berdebar sangat kencang, darahnya berdesir dengan peluh yang mulai membasahi seluruh wajahnya. Sierra benar-benar merasa ketakutan.
"Kau harus pergi dari kota Paris ini!" titah Chris dengan rahang yang mengeras.
Sierra mulai memohon kepada Chris. Ia tak ingin dipisahkan dari Alex, pria yang sudah dicintainya selama ini. Sampai akhirnya, ia tak kuasa menahan air mata yang mulai deras membasahi kedua pipinya.
"Takdirmu yang telah melihat rahasiaku adalah jalan hidupmu untuk jauh dari Alex! Anggap saja kalian memang tidak berjodoh."
Sierra terus menangis sambil mulai melajukan mobilnya untuk mengikuti mobil yang dikendarai oleh Oscar di depannya. Isak tangisnya tak menggoyahkan hati Chris sedikit pun. Ia tetap pada keputusannya agar Sierra pergi meninggalkan kota Paris dan pergi dari hidup Alex untuk selamanya.
"Aku mohon maafkan aku! Jangan pisahkan aku dengan Alex," lirih Sierra memohon dengan terisak.
Bersambung ✍️