Dendam Lama

1148 Kata
Selamat membaca! Meeting pun baru saja usai. Tampak Alex tengah menjabat tangan Mark sebagai tanda bahwa kedua pihak telah sepakat atas kerja sama mereka. "Terima kasih, Mark. Semoga kerja sama kita lancar dan saling menguntungkan." Dengan senyum yang mengembang Alex menyampaikan harapannya kepada Mark. "Tentu saja, Alex. Kerja sama ini pasti akan baik untuk perusahaan barumu. Saya sangat bangga karena menjalin kerja sama dengan seorang jenius dalam urusan bisnis." Pujian pun terlontar dari mulut Mark. Membuat Alex balik memuji rekannya itu. "Kau terlalu berlebihan, Mark. Saya masih pemula masih perlu banyak belajar dari Anda." Mark pun terkekeh, saat mendengar apa yang Alex katakan. Pria itu pun tersenyum menanggapinya. "Kau tidak perlu merendah, Alex. Aku tahu semua hal tentangmu, sebelum kau memutuskan untuk menjadi seorang mafia, kau itu adalah seorang pengusaha sukses di Paris jadi jangan pernah bilang kau ini masih pemula." Alex tercekat tak menyangka ketika Mark tahu akan masa lalunya. Namun, Alex tetap menyanggah semua pujian itu. "Semua itu biasa saja, Mark. Malah kau ini yang hebat. Kau bisa menyelidiki silsilah dari rekan bisnis yang ingin menjalin kerja sama denganmu." Mark kembali menampilkan senyumannya, saat mendengar perkataan Alex. "Tentu saja itu harus aku lakukan. Kerja sama kita bukan hanya melibatkan kedua perusahaan saja, tapi juga investasi yang besar. Saya tidak ingin merugi. Makanya, hal itu perlu untuk saya lakukan." Alex yang tengah dalam perbincangan dengan Mark kembali merasakan ponselnya yang bergetar pada saku jasnya. Sebenarnya ia ingin menjawabnya. Namun, Alex merasa kurang sopan bila harus memutus percakapannya dengan Mark secara tiba-tiba. Sampai akhirnya, beberapa menit kemudian, Evans mulai menghampirinya dengan wajah yang terlihat cemas. "Alex, maaf mengganggu waktumu. Permisi Tuan Mark." Evans datang dan membuat kedua pria yang masih asyik dalam pembicaraannya mulai berhenti. "Ada apa, Evans?" tanya Alex melihat sesuatu yang tidak beres dari wajah sang asisten. "Begini Alex, Nyonya Grace diculik dan saat ini Sierra belum berhasil menemukan di mana Sandra berada. Kemungkin Sandra juga tertangkap oleh para penculik itu." Kedua alis Alex saling bertaut dalam. Rahang yang seketika mengeras, membuat rasa panik dan amarah mulai berdesir dalam aliran darahnya. "Apa maksudmu, Evans?" tanya Alex masih bingung mencerna perkataan yang baru Evans bisikkan padanya. Bagaimana tidak, ia merasa dalam beberapa bulan ini hidupnya baik-baik saja. Tanpa masalah, tanpa adanya musuh, dan tiba-tiba Evans menyampaikan sesuatu yang membuatnya tak habis pikir akan maksud dari orang-orang tersebut menculik Grace maupun Sandra. Melihat Evans dan Alex mulai terlihat percakapan yang serius, Mark pun memutuskan pergi setelah pamit kepada Alex. Pria itu meninggalkan ruang meeting diikuti oleh asistennya yang setia mengekor di belakangnya. Selesai mendengar semua penjelasan Evans, Alex melangkah pergi dengan tergesa-gesa. Pria itu bahkan sampai berlari meninggalkan ruang meeting dan mendahului Mark yang tengah santai melenggang di koridor kantor. Sorot mata tajam yang memicing dengan seringai tipisnya, seolah menjadi sebuah isyarat bahwa Mark mengetahui atas apa yang kini menimpa Alex. "Sekarang pasti kau sedang panik, Alex. Kita lihat apa aku bisa membalas apa yang dulu pernah kau lakukan padaku?" batin Mark yang ternyata masih memendam dendam atas apa yang Alex lakukan padanya dulu di sebuah restoran. ()()()()() Di rumah kediaman Decker, tepatnya di dalam kamar, Naori terlihat sibuk mengeluarkan seluruh pakaian untuk memindahkannya ke dalam sebuah koper yang telah ia buka di atas ranjang. Wajahnya masih sendu dengan air mata di kedua pipinya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu menyayat hatinya. Perih, saat mengetahui bahwa suaminya ternyata telah berbohong padanya. Padahal dulu saat ia ingin pergi, pria itu menahannya dengan mengatakan bahwa ia sangat mencintai Naori dan tak ingin kehilangannya. Naori pun akhirnya luluh. Ia memutuskan untuk tetap tinggal setelah permintaannya diabaikan oleh Chris. Ya, sewaktu Grace pergi, Naori meminta Chris agar pergi mengejarnya. Namun, saat itu Chris seolah tak memedulikannya. "Kenapa? Apa ini karena pesan dari Edward? Kau merasa berhutang padanya hingga memilih aku, padahal hatimu hanya untuk Grace." Lelehan air mata terus membasahi kedua pipi Naori tiada henti. Isak tangis dengan napas yang sesak seakan terdengar begitu haru memenuhi seisi kamar kala itu. Sampai akhirnya, Chris mulai menghampiri setelah tak menemukan Naori di lantai dasar. "Naori, aku harap kau mengerti posisiku. Aku hanya ingin menjaga Grace dan Alex dari identitas yang aku tinggal pada mereka. Aku adalah seorang mafia yang banyak dibenci oleh musuh-musuhku. Aku hanya khawatir pada mereka, apa aku salah?" Chris coba meraih tubuh Naori yang langsung menolaknya dengan beringsut mundur sambil menjauhkan tangan suaminya. "Pergilah, biarkan aku berkemas. Aku akan kembali ke rumahku bersama Elsa. Setelah aku pergi, tolong jangan pernah mencari aku! Aku bisa hidup tanpa kamu, percayalah! Jangan pernah merasa lagi kalau kamu berhutang budi pada Edward. Semua yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup, Chris. Kamu harus sadar dan kejar kebahagiaanmu. Mungkin aku tidak bisa menjadi wanita yang kamu cintai, tapi setidaknya melihatmu bahagia dengan wanita yang kamu cintai akan membuatku merasa bahagia. Aku tidak ingin hanya menjadi benalu dalam kehidupanmu. Lepaskan aku dan Elsa! Pergilah ke London, jemput Grace dan putramu kembali! Jangan pernah bohongi dirimu sendiri hanya demi membalas budi yang sebenarnya sudah kau penuhi." Perkataan Naori seolah menjadi tamparan keras untuk Chris yang kini hanya mematung diam tanpa suara. Pria itu sejenak merenung dan mencerna kalimat demi kalimat yang mulai membuka pikirannya. Membuatnya merasa sangat bersalah kepada Grace maupun Naori. Semua perkataan Naori tidak bisa ia bantah. Perkataan itu seolah mewakili semua isi hatinya yang selama ini terpendam dan hanya bisa ia rasakan seorang diri. Terpuruk dalam janji kepada sahabatnya yang membuat seorang Chris Decker bisa melepas kepergian Alex dan juga Grace begitu saja. "Maafkan aku, Naori." Chris kembali coba merengkuh tubuh Naori. Kali ini wanita itu membiarkan Chris mendekapnya dengan erat. Naori pun menghamburkan kesedihannya yang begitu menyesakkan dadaanya. Situasi yang penuh haru itu hanya berlangsung singkat. Naori mulai mengurai dekapan Chris sambil menatap wajah sendu pria yang selama ini selalu menjaga dirinya dan juga Elsa. Sosok Chris yang selama ini bisa menggantikan peran Edward sebagai ayah dari Elsa, putrinya. "Aku yang minta maaf karena telah merusak kebahagiaan keluargamu," jawab Naori yang masih berkutat dengan isak tangisnya. "Kau tidak salah, Naori. Aku yang salah, seharusnya aku jujur tentang kamu sejak dulu kepada Grace. Kalau saja itu aku lakukan, mungkin semua tidak akan seperti ini jadinya." Chris mulai mengusap air mata di kedua pipi Naori dengan jemarinya. Ia tak ingin melihat ada kesedihan di wajah Naori. Wanita yang selama ini selalu dijaganya demi janjinya terhadap Edward, sahabatnya. Namun, tiba-tiba saja ponsel milik Chris berdering, memecahkan suasana haru yang terasa pekat kala itu. Chris pun mulai meraih ponsel dari saku celananya. Pandangan matanya tampak menajam ketika melihat layar pada benda pipih yang sudah digenggamnya, menampilkan nama putranya di sana. "Alex," ucap Chris mulai kembali cemas. Seketika pria itu teringat akan firasat buruknya. Firasat yang sempat ia sampaikan kepada Oscar. "Ada apa ya? Biasanya kalau dia sedang marah, jangankan berbicara denganku, menghubungiku saja pasti tidak akan dia lakukan, kecuali bila keadaannya sudah sangat terpaksa," batin Chris yang tanpa berlama-lama kini langsung menjawab panggilan telepon itu. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN