Selamat membaca!
Laju mobil yang dikendarai oleh Alex, kini mulai memasuki area perkantoran. Tak ada percakapan yang terdengar setelah pria itu menegur Sierra untuk tak perlu lagi membahas masa lalu. Keduanya saling diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Sepertinya Sierra marah padaku karena teguran ku tadi," gumam Alex dapat membaca sikap Sierra dari keterdiamannya.
Mobil pun mulai berhenti tepat di pelataran lobi. Salah satu petugas keamanan yang bekerja di sana terlihat sudah berada di sisi mobil. Menyambut kedatangan Alex yang seperti biasa, tak punya waktu untuk memarkirkan mobilnya.
"Terima kasih tumpangannya ya, Lex." Hanya kata-kata itu yang terucap dari mulut Sierra diiringi gerakan membuka pintu mobil, lalu wanita itu bergegas keluar tanpa menunggu jawaban dari Alex.
"Sierra tunggu dulu!" titah Alex yang coba menahan kepergian wanita itu. Namun sayangnya, Sierra terus saja melenggang dan mengabaikannya.
"Dasar para wanita! Selalu saja menyusahkan jika sedang marah," gerutu Alex yang tak punya pilihan lain untuk menyusul Sierra. Ia kini mencemaskan kondisi wanita itu ketika pergi dengan amarah dalam hatinya.
Setelah keluar dari mobil, Alex melangkah cepat menghampiri Sierra yang terus saja pergi tanpa melihatnya.
"Sierra tunggu!"
Panggilan Alex kali ini membuat langkah Sierra seketika terhenti. Wanita itu pun mulai membalikkan tubuhnya dengan sorot mata yang penuh tanda tanya akan maksud Alex memanggilnya.
"Kenapa lagi, Lex?" tanya Sierra terdengar ketus.
"Kamu jangan marah ya atas apa yang aku katakan tadi sewaktu di mobil! Maaf kalau itu ternyata menyinggung perasaanmu. Hanya saja aku perlu mengatakan itu karena memang sangat penting demi kebaikan kita."
Sierra menaikkan sebelah alisnya sambil menajamkan sorot matanya. Tampak jelas bahwa wanita itu begitu tersinggung akan teguran Alex kepadanya. Ditambah lagi perkataan yang baru saja Alex katakan, semakin menyulut amarah Sierra yang kian memuncak.
"Kebaikan kita! Bukan kebaikan aku, tapi kebaikan dan kebahagiaanmu! Sudahlah, aku pergi dulu!" Sierra kembali memutar tubuhnya dan mulai melangkah. Namun baru dua langkah ia pergi, Alex langsung meraih lengannya. Menahan langkah Sierra dan membuat rasa kesal kian terlihat di raut wajahnya.
"Apa lagi sih Alex? Apa kamu lupa dengan perkataanmu tadi sewaktu di mobil? Asal kamu tahu ya, Lex! Aku itu tidak pernah mempunyai niat untuk mengusik rumah tanggamu dengan Sandra, apalagi merusak kebahagiaanmu. Aku tahu diri Lex, aku juga tidak akan mungkin membicarakan tentang kita di depan Sandra. Aku tahu batasannya!" Sierra sejenak menjeda kalimatnya dengan mengembuskan napasnya yang kasar. Ia coba menahan amarah yang semakin berkecamuk dalam dirinya.
Alex pun hanya diam. Pria itu bingung harus mengatakan apa. Sampai akhirnya, suara sekretarisnya yang bernama Alia mulai terdengar memanggilnya dari kejauhan.
"Tuan Alex." Alia terus melangkah menghampiri Alex yang seketika teringat akan meeting pagi ini.
"Ya Tuhan, aku kan harus meeting." Alex mulai menatap arloji yang melingkar pada pergelangan tangannya dengan kedua alis yang saling bertaut.
"Ya sudah, Lex. Sana pergilah! Nanti kamu telat meeting-nya. Oh ya, besok aku akan kembali ke Paris. Aku ingin bekerja di sana dan menerima tawaran Mauren untuk tinggal bersamanya."
Alex seketika terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Sierra. Namun aktivitas meeting-nya, membuatnya menahan diri untuk bertanya kepada Sierra terkait keputusannya itu.
"Nanti kita bicarakan hal ini setelah aku selesai meeting ya! Aku akan menghubungimu nanti." Alex mulai melangkah bersama Alia setelah sekretaris pribadinya menyampaikan bahwa seorang pria asia bernama Makoto selaku pimpinan Japanese Corporate telah tiba di ruang meeting.
Sementara itu, Sierra pun melanjutkan langkah kakinya untuk pergi keluar dari area kantor agar dirinya bisa menemukan taksi yang ingin dinaikinya.
"Ini mungkin keputusan yang terbaik untukku, Lex. Kalau aku pergi, pasti kamu tidak akan lagi mendengarku membicarakan tentang masa lalu kita," batin Sierra menahan kesedihan yang kian mengurai air matanya untuk menetes.
Tanpa keduanya sadari, seorang pria yang merupakan wartawan dari sebuah media cetak tampak semringah karena berhasil mendapatkan foto yang bisa menjadi bahan berita. Berita yang pastinya bisa menjadi sebuah headline. Terlebih beberapa hari lalu, berita kematian Evans yang merupakan asisten Alex sebagai CEO yang namanya tengah jadi bahan perbincangan dalam dunia bisnis sempat menjadi headline.
"Ini akan menjadi berita yang menghebohkan. Foto di saat Tuan Alex menggenggam tangan wanita itu pasti akan menjadi headline besok," ucap pria itu dengan senyum puas yang terlihat di wajahnya.
()()()()()
Setelah memberhentikan taksi yang kebetulan melintas di depannya, kini Sierra sudah berada di dalam taksi. Ada perasaan sakit yang teramat dalam bila mengingat semua perkataan Alex. Ia merasa kehadirannya hanya beban untuk kehidupan pria itu.
"Ini sudah keputusanku. Lebih baik aku pergi dari kota ini dan kembali ke Paris. Aku tidak ingin semakin lama kesedihan ini malah membuatku perasaan yang sudah lama mati untuk Alex kembali lagi. Aku benar-benar tidak mau merusak kebahagiaan Sandra. Walaupun aku sakit hati dengan perkataan yang telah Alex katakan tadi, tapi setelah aku pikir lagi, dia memang benar. Aku yang salah karena tidak bisa membatasi diri." Sierra menghela napasnya dengan kasar sambil beberapa kali mengusap wajahnya yang kalut.
Di saat lamunannya belum sepenuhnya usai, tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Sierra pun meraih benda pipih miliknya dari dalam tas yang dibawanya. Setelah menggenggam ponsel tersebut, Sierra mulai menatap layar pada ponsel yang bertuliskan nama Oscar di sana.
"Oscar." Sierra pun langsung menjawab panggilan telepon itu.
"Halo Oscar, ada apa?" tanya Sierra melontarkan sebuah pertanyaan sesaat panggilan itu terhubung.
"Apa kabar kamu, Sierra?" tanya Oscar memulai percakapannya.
"Iya, aku baik Oscar. Kamu sendiri gimana? Aku dengar dari Sandra hari ini Daddy Chris sudah diperbolehkan pulang. Bagaimana dengan kamu?" jawab Sierra balik bertanya keadaan pria itu yang masih dirawat di rumah sakit.
"Dokter sih bilang dua hari lagi baru aku sudah bisa pulang. Ya, syukur kalau Tuan Chris sudah bisa pulang. Oh ya, apa kamu jadi ke sini? Tadi Alex baru saja menghubungiku, katanya dia cemas sama kamu. Memangnya kalian ada masalah ya?"
Sierra pun akhirnya mulai mengetahui bahwa tujuan Oscar menghubunginya adalah atas permintaan Alex. Pria yang sempat bersitegang dengannya.
"Tidak apa-apa. Tadi hanya ribut masalah sepele doang. Sudahlah tidak perlu dibahas! Oh ya, kamu mau nitip apa? Biar nanti aku belikan." Sierra enggan menceritakan kekesalannya kepada Oscar dan lebih memilih untuk mengalihkan pembicaraan ke topik pembahasan yang lainnya.
"Baiklah kalau kamu enggak mau cerita. Ya sudah, aku tunggu di rumah sakit ya. Kamu hati-hati ya, nanti ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ucap Oscar coba memberanikan diri untuk menyampaikan hal yang memang sudah beberapa hari lalu ingin disampaikannya.
"Kamu ini bikin penasaran deh. Kenapa tidak lewat telepon saja sih?" timpal Sierra dengan kedua alis yang saling bertaut dalam. Ada rasa penasaran yang tersirat jelas di raut wajah wanita itu.
"Sudah nanti saja di rumah sakit ya. Aku tunggu! Kamu hati-hati pokoknya ya."
"Baiklah, Oscar. Ya, paling beberapa menit lagi aku sampai di sana."
Panggilan pun berakhir dengan menyisakan beragam tanda tanya dalam pikiran Sierra. Namun, wanita itu harus menahan dirinya, setidaknya sampai Oscar mengatakan apa yang ingin dikatakannya.
"Sebenarnya apa yang ingin Oscar sampaikan padaku ya? Apa ini ada hubungan dengan pertengkaran ku dengan Alex tadi? Lagian kenapa sih, Alex pakai ngadu-ngadu segala ke Oscar? Dasar Alex, lihat saja nanti!" Sierra semakin merasa kesal karena ia berpikir bahwa Oscar nanti akan menasehatinya tentang keributan yang terjadi dengan Alex. Keributan yang dipicu karena wanita itu tak bisa menahan diri untuk mengungkit masa lalu yang pernah terjadi di antara keduanya.
Bersambung ✍️