Mengumpulkan Keberanian

1086 Kata
Selamat membaca! Setibanya di rumah sakit, Sierra melangkah dengan santai memasuki area lobi. Tak lupa wanita itu pun mampir ke sebuah mini market yang berada di sisi kiri lobi untuk membeli minuman dan makanan ringan kesukaan Oscar, walau sebenarnya pria itu tak memesannya. Setibanya di dalam mini market, Sierra mulai menilik beberapa makanan dan minuman yang akan dibelinya. Sampai akhirnya, pandang matanya terhenti di sebuah lemari pendingin. Dilihatnya, minuman kesukaan suaminya berada di sana. Minuman yang selalu di minum oleh Evans di sela-sela aktivitasnya saat sedang bekerja di apartemen. Hal yang seketika membuat wanita itu kembali menitikkan air mata. Tangannya pun kini bergerak perlahan menyentuh sebuah botol minuman dengan sorot mata yang sendu. "Evans. Kenapa kamu pergi secepat ini dariku? Kenapa semua kebahagiaan yang kita rasakan bisa lenyap dan tak tersisa sedikit pun. Bahkan aku juga harus rela kehilangan buah hati kita." Tak kuasa menahan kesedihannya, Sierra menangis terisak sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia tak ingin suara tangisannya akan terdengar oleh pengunjung lain yang berada di sana. Seolah melupakan apa yang ingin dibelinya, Sierra pun bergegas pergi dengan membawa kesedihannya keluar dari mini market. ()()()()() Sementara itu di ruang meeting, Alex coba menepikan segala pikiran tentang Sierra. Ia berusaha fokus menjalani meeting-nya saat ini, walau sebenarnya masih teringat apa yang dikatakan oleh Sierra padanya. "Semoga saja Oscar bisa menenangkan Sierra. Ya, untung saja tadi sebelum meeting di mulai aku masih sempat menghubungi Oscar. Semoga Sierra tidak menolak apa yang akan Oscar tanyakan padanya nanti," batin Alex yang sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh rekannya itu kepada Sierra. ()()()()() Kembali kepada Sierra yang kini sudah berada di dalam lift, wanita itu terlihat masih menahan air mata yang sejak tadi membasahi kedua pipinya. Ia benar-benar merasa rapuh ketika pikirannya kembali mengingat sosok Evans dalam hidupnya. Sosok pria yang amat dicintainya. Pria yang berhasil membawanya jauh dari cinta masa lalunya. Membuatnya yakin untuk merelakan Alex dan membiarkan hidup bahagia bersama Sandra. "Ya Tuhan, kenapa begitu berat ujian ini? Kenapa Kau mengambil Evans begitu cepat? Kenapa Tuhan?" Sierra masih bergelut dengan kesedihannya. Suara isak tangisnya, kini terdengar begitu menyesakkan. Untungnya saat itu, Sierra hanya sendiri di dalam lift. Membuatnya begitu leluasa, meluapkan segala kesedihan yang tengah berkecamuk dalam dirinya. Sadar bahwa pintu lift akan segera terbuka, Sierra pun segera mengusap air mata yang masih membasahi wajahnya. Ia coba tegar. Menguatkan hatinya untuk bisa melangkah. Melewati semua yang tak mudah dijalaninya. Wanita mana yang tidak terpuruk, kehilangan suaminya. Terlebih pernikahan Sierra dan juga Evans baru berjalan selama 3 bulan. Kebahagiaan yang sebenarnya baru mereka rasakan. Namun, kini semua itu hanya tinggal kenangan yang menggoreskan luka terdalam di hati Sierra. Pintu lift pun terbuka. Sierra yang sudah selesai mengusap air matanya, kini mulai melangkah. Langkah gontai yang terasa berat karena kesedihan masih menyesakkan dadanya. "Oscar tidak perlu tahu jika aku habis menangis." Sierra menghentikan langkah kakinya di depan pintu. Sejenak ia membuka tasnya, mengambil sebuah cermin kecil yang memang selalu ia bawa. "Tuh kan, make up-ku semua luntur karena tadi menangis. Nanti Oscar pasti bisa tahu. Sebaiknya aku bedakan dulu deh." Sierra pun memutuskan duduk di salah satu kursi tunggu yang kebetulan memang tersedia di depan ruang rawat Oscar. Setelah melabuhkan tubuhnya, Sierra dengan cepat merias wajahnya. Setidaknya ia ingin menghilangkan sisi air mata yang masih tertinggal membasahi wajahnya. "Nah, kalau begini pasti Oscar tidak tahu kalau aku habis menangis. Aku hanya tidak ingin membuatnya kembali bersedih karena mengingat Evans. Jadi sebisa mungkin aku tidak perlu membahas tentang ini. Biarlah kesedihan ini aku rasakan sendiri," ucap Sierra yang kembali teringat saat pertama kali Oscar mengetahui kematian Evans, pria itu begitu histeris. Bahkan sampai membuat kondisinya kembali tak sadarkan diri. Sierra pun bangkit dari posisi duduknya, wanita itu kini melangkah mendekati pintu ruangan dan mulai membukanya. Wajah dengan senyuman langsung tampak ketika Oscar melihat kedatangannya. "Semoga aku berani mengatakannya kepada Sierra. Semoga ini yang terbaik. Lagipula memang ini yang diinginkan oleh Evans," gumam Oscar yang juga tersenyum untuk membalas senyuman Sierra. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?" Sierra langsung menempati sebuah kursi yang kebetulan memang tersedia di samping ranjang, tempat di mana Oscar terbaring. "Aku baik, Sierra." Oscar menatap dalam wajah Sierra. Wajah yang terlihat sekali baru saja dipoles oleh bedak. Namun, kedua mata wanita itu tak bisa menghilangkan kesedihan yang masih tampak jelas oleh Oscar. "Sepertinya Sierra habis menangis tadi. Ini pasti berat untuknya. Kehilangan Evans dan juga kandungannya pasti sangat mengganggu mentalnya," batin Oscar yang begitu empati akan nasib Sierra. "Oh ya, apa yang kamu mau katakan Oscar?" tanya Sierra langsung kepada inti pembicaraan yang sempat Oscar katakan padanya. Pertanyaan yang seketika membuyarkan segala kekhawatiran Oscar terhadap Sierra. Kini pria itu coba meyakinkan hatinya. Menepikan keraguan yang seketika timbul dan membuatnya bungkam untuk bicara. Hal yang sama sekali tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa ia akan mengatakan hal ini kepada wanita yang merupakan istri dari sahabatnya. Sesuatu yang canggung, membuatnya begitu gugup dan hanya mampu diam sambil terus menatap Sierra penuh arti. "Andaikan saja aku tidak perlu bicara dan bisa mengatakannya saja lewat tatapan mata, pasti ini akan jadi mudah untukku," batin Oscar menghela napasnya yang terasa berat. "Oscar, mau sampai kapan kamu diam? Ini sudah dua jam lho kamu diam? Kamu sebenarnya diam apa tidur sih?" tanya Sierra coba mengejutkan Oscar dengan candaannya. Oscar pun tersadar dari lamunannya dengan wajah terkejut. "Apa iya selama itu aku berpikir?" tanya Oscar, membuat Sierra mulai menahan gelak tawa karena berhasil mengelabuinya. Oscar pun secara spontan menatap waktu yang terpampang pada dinding ruangan. Seketika sebuah senyuman mulai mengembang, mencairkan suasana canggung yang kian terasa di antara keduanya. "Jadi kamu sengaja membohongiku ya. Tadinya aku pikir itu benar kalau aku sudah melamun sampai selama itu." Oscar terkekeh singkat. Kini wajahnya berubah serius dengan sorot mata yang penuh kesungguhan. "Baiklah Sierra. Jadi begini, aku itu sebenarnya malu untuk mengatakan semua ini, tapi apa yang aku katakan adalah pesan terakhir yang sempat Evans katakan padaku." Wajah semringah Sierra seketika berubah datar saat nama suaminya kembali terdengar. "Maksud kamu apa, Oscar?" tanya Sierra penuh tanda tanya. "Aku mau menikahimu, Sierra. Apa kamu bersedia menjadi istriku?" Walaupun dengan terbata, tapi Oscar akhirnya mampu mengatakan apa yang ingin dikatakannya kepada Sierra. Sesuatu yang selama beberapa hari ini, terus mengusik malamnya. Membuat pria itu tak bisa lelap tertidur karena perkataan Evans selalu terngiang di telinganya. Pesan terakhir untuk menjaga Sierra sebagai istrinya. Sementara itu, Sierra masih tak menyangka dengan apa yang didengarnya. Wajah penuh keterkejutan, membuatnya diam seribu bahasa dan hanya menatap Oscar dengan penuh pertanyaan. "Menikah?!" batin Sierra coba menata hatinya yang tengah terguncang. ()()()()() Bersambung✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN