Berikan Waktu

1424 Kata
Selamat membaca! Hari yang ditunggu Elsa untuk pergi camping pun tiba. Ya, sejak pagi Naori sudah disibukkan dalam mengurus berbagai keperluan putrinya. Walaupun ia sebenarnya tidak mengizinkan Elsa berpatisipasi dalam acara camping yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Namun pada kenyataannya, Chris malah memberikan izin dan mendukung putrinya itu untuk ikut serta. "Elsa, apakah kamu sudah siap?" teriak Naori memanggil putrinya yang masih berada di kamarnya. Tak mendapatkan sahutan dari putrinya, Naori pun masuk ke dalam kamar yang memang tidak terkunci. "Elsa, kamu di mana? Ini sudah jam 11 siang, sayang. Nanti kamu telat Miss Diana bisa marah lho." Naori mulai menilik ke setiap sisi kamar. Namun, ia sama sekali tak melihat putrinya berada di sana. "Lho, ke mana Elsa?" Naori terlihat kebingungan. Ia pun langsung mencari ke berbagai tempat di setiap sisi kamar putrinya. Bahkan sampai ke dalam bathroom sekalipun. Namun sayangnya, usahanya tetap tak berhasil karena Elsa masih belum juga ditemukan. Seketika rasa cemas menelusup masuk ke dalam pikirannya. Pikiran yang tadinya tenang, kini mulai terusik hingga membuatnya terlihat panik. "Ya Tuhan, ke mana Elsa?" Naori terus berteriak memanggil nama putrinya. Langkahnya pun terhenti di balkon kamar yang menghadap ke arah sisi belakang rumahnya. Di saat pandangannya terus mengamati sekitar, tiba-tiba sorot matanya terhenti di satu titik. Ia pun begitu terkejut, saat mendapati sang putri tengah berada dalam dekapan seorang pria yang sedang menuju sebuah mobil hitam, terparkir tidak jauh dari pagar halaman belakang rumahnya. "Elsa. Ya Tuhan, Elsa diculik." Naori teriak berulang kali memanggil nama putrinya yang kini sudah masuk bersama pria itu ke dalam mobil. Melihat akan hal itu, Naori kemudian berlari dengan cepat keluar dari kamar. Ia bergegas menuruni anak tangga dan bermaksud mengejar mobil hitam yang masih belum melaju di belakang rumahnya. "Ya Tuhan, aku mohon lindungilah putriku. Aku mohon, Tuhan." Tangisan Naori pun seketika pecah. Air mata kini terus berderai bersama napasnya yang mulai terdengar tak berirama. Naori masih terus berlari menuju pintu belakang yang ternyata dalam posisi terbuka saat kedua matanya sudah dapat melihatnya. "Jangan-jangan penculik itu masuk lewat pintu belakang ini. Ya Tuhan, kenapa aku bisa lupa mengunci pintu ini tadi pagi?" Naori terus merutuki segala penyesalan yang semakin mengusik dirinya. Ia berharap agar masih dapat menyelamatkan putrinya, walau nyawa sekalipun harus menjadi taruhannya. Namun sayangnya, posisi wanita itu terlampau jauh dari halaman belakang, tempat di mana Elsa berada saat ini. Membuat harapan Naori harus pupus karena mobil hitam itu kini sudah tak lagi terlihat di sana. "Elsa. Maafkan Mommy karena tidak bisa menjagamu. Maafkan Mommy, Elsa." Naori terus menangis dengan napas yang terengah karena begitu lelahnya berlari. Saat ini, pikirannya begitu buntu. Naori yang memang berusaha untuk tak mengganggu waktu Chris selama di London pun, akhirnya mulai terbesit untuk menghubungi suaminya itu karena ia memang tak punya pilihan lain. Dengan kembali berlari, Naori bergegas masuk ke dalam rumah. Tujuannya adalah untuk mengambil ponsel miliknya yang berada di atas nakas, tepatnya di ruang keluarga. "Aku harus cepat memberitahukan hal ini kepada Chris." Setelah berhasil meraih ponselnya. Wanita itu pun langsung menghubungi Chris. Namun lagi dan lagi, ia harus menelan rasa kecewanya karena ponsel Chris saat ini sedang tidak aktif. "Ya Tuhan, kenapa teleponnya tidak aktif sih? Aku mohon Chris, tolong aktifkan ponselmu!" Naori terus mencobanya lagi. Akan tetapi, hasilnya tetaplah sama. Hanya berujung dengan kekecewaan karena panggilan itu harus berakhir dengan jawaban dari operator. ()()()()() Sementara itu, situasi di ruang rawat Oscar pun tak kalah tegang. Sierra kini masih bergelut dengan rasa bimbangnya. Ia masih belum mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Oscar. "Sierra, kamu tidak perlu menjawab sekarang. Aku tahu ini pasti begitu mengejutkanmu, tapi kamu harus percaya kalau aku benar-benar serius mengatakan semua itu. Terlebih Evans telah menitipkan pesan padaku sebelum kami menghadapi orang-orang yang telah menculik Nyonya Grace," ungkap Oscar mengingat percakapan yang sempat terjadi di tangga darurat bersama Evans. Saat itu, Evans mengatakan sebuah pesan. Pesan yang ternyata menjadi momen terakhir mereka saling bicara. "Jadi Evans memang sempat memiliki firasat bahwa ia akan pergi. Makanya, dia mengatakan pesan terakhir kepada Oscar," gumam Sierra masih menata hatinya yang tenggelam dalam keterkejutan. Sierra yang sejak tadi tak berani menatap langsung wajah Oscar pun coba mengalihkan pandangan matanya. Kini kedua manik matanya yang sendu mulai menatap dalam wajah Oscar. Wajah yang sejak tadi begitu cemas menanti jawaban darinya. "Apa kamu sungguh-sungguh ingin menikahiku?" tanya Sierra membuat penantian Oscar pun terbayar. Pria itu pun mulai tersenyum saat menjawab pertanyaan yang terucap dari mulut Sierra yang sejak tadi terkunci begitu rapat. "Aku sungguh-sungguh, Sierra. Seiring dengan berjalannya waktu, aku yakin pasti kita berdua bisa saling mencintai. Sekarang memang aku hanya menganggapmu seperti adikku sendiri, tapi percayalah padaku bahwa rasa cinta itu pasti akan tumbuh dengan perlahan." Sierra masih tak percaya perkataan itu terucap dari mulut Oscar. Pria yang merupakan sahabat dekat suaminya. Pria yang sudah dianggapnya seperti seorang kakak baginya. "Aku perlu waktu, Oscar untuk berpikir. Apa kamu bersedia menunggu jawabanku?" jawab Sierra diakhiri dengan sebuah pertanyaan. "Baiklah, aku akan selalu menunggunya. Tak peduli berapa lama pun kau siap, aku pasti akan menunggunya, tapi apa aku boleh meminta satu permintaan padamu?" "Apa itu?" tanya Sierra menautkan kedua alisnya penuh rasa heran. "Tolong tetaplah di London! Setidaknya sampai aku sembuh. Setelah itu jika kamu ingin kita tinggal di Paris, kita akan pergi bersama-sama. Bagaimana? Apa kamu bersedia menungguku?" Permintaan Oscar membuat Sierra langsung teringat atas apa yang telah ia katakan kepada Alex. Kini wanita cantik yang tengah dilanda kebimbangan dalam hatinya itu pun, coba menjawab tanpa harus memikirkan lebih jauh. "Itu tidak masalah. Aku akan menunda kepergianku jika itu keinginanmu. Walaupun aku tidak yakin apakah ini adalah keputusan yang baik karena semakin sering aku bertemu dengan Alex, aku takut perasaan yang dulu mati bisa timbul lagi. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Sandra. Makanya dengan jauh dari mereka, menurutku itu adalah pilihan yang terbaik," ungkap Sierra membuat Oscar mulai mengetahui alasan di balik keputusan Sierra yang tiba-tiba itu. "Kalau begitu, sebaiknya kamu tinggal saja di apartemenmu. Apa kamu bisa?" Sierra seketika diam kembali. Pikirannya mulai mengingat saat terakhir ia berada di apartemennya. Kala itu, semua memori indah saat bersama Evans selalu berhasil membuat air matanya berderai membasahi pipinya. "Baiklah, aku akan coba." Sierra menghela napasnya dengan kasar. Ada perasaan ragu yang berkecamuk dalam dirinya. Keraguan apa dirinya bisa untuk kembali menempati apartemen yang memiliki berjuta kenangan indah bersama Evans. Pria yang begitu dicintainya. "Baguslah kalau begitu. Oh ya, ngomong-ngomong apa rencanamu jika tinggal di Paris?" Oscar coba mengalihkan pembicaraan di saat wajah sendu Sierra semakin jelas terlihat. Sierra pun seketika tersadar dari lamunan yang hampir membuatnya kembali menangis. Sambil memalingkan wajahnya ke sisi lain, wanita itu dengan cepat mengusap air matanya yang nyaris menetes. "Iya, aku sih rencananya akan bekerja bersama Mauren dan tinggal di sana. Kemarin malam dia menghubungiku. Dia ikut bersedih atas kematian Evans dan menawarkan aku sebuah pekerjaan jika aku memang ingin kembali ke Paris, tapi saat itu aku hanya mengatakan padanya kalau aku belum bisa berpikir sejauh itu. Apalagi kamu tahu sendiri kan, setelah aku keguguran yang aku pikirkan saat itu hanyalah kematian. Aku merasa seperti tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Semua kosong dan benar-benar terasa hampa." "Sudah ya Sierra! Kamu jangan terus bersedih karena kamu tidak sendirian. Kamu punya aku yang akan selalu jadi pelindungmu, tak peduli seberapa sulit pun itu, aku pasti akan selalu membuatmu bahagia." Perkataan Oscar kali ini, entah kenapa mampu menggetarkan hati Sierra. Wanita itu pun tak mampu lagi menahan air mata yang sempat tak diizinkannya untuk menetes. Membuat Oscar langsung bangkit dari posisi tidur. Ia tak lagi memedulikan rasa sakit pada tubuhnya yang sempat terasa ketika ia bangun. "Oscar, kamu tidak perlu bangun. Maafkan aku ya, gara-gara aku kamu jadi kesakitan gini." Sierra beranjak dari posisi duduknya untuk membantu Oscar agar kembali berbaring di atas ranjang. "Sekarang aku tidak bisa lagi melihatmu menangis Sierra. Air matamu adalah sebuah kegagalan bagiku karena itu artinya, aku tidak bisa menjalankan apa yang telah Evans titipkan padaku, yaitu menjagamu dan selalu membuatmu bahagia." "Ini bukanlah air mata kesedihan, tapi aku terharu mendengar apa yang kamu katakan tadi, Oscar. Maafkan aku ya. Aku jadi membuatmu cemas." Keduanya pun saling melempar senyuman. Bagi Sierra, perkataan Oscar membuatnya hampir yakin untuk melabuhkan hidupnya pada pria itu. Hidup yang sebelumnya tak memiliki harapan karena ia kehilangan sandaran hidupnya. "Semoga keputusan yang akan aku ambil nanti adalah yang terbaik untuk hidupku. Walaupun akan terasa aneh, tapi aku ingin membuat Evans bahagia dengan mewujudkan keinginan terakhirnya. Sekarang aku akan coba menata hidupku, demi kamu, juga anak kita, setidaknya sampai Tuhan mengatakan padaku untuk pulang kepadaNya," batin Sierra coba meyakinkan dirinya yang tengah bimbang dalam memutuskan. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN