Sebuah Gelang

1387 Kata
Selamat membaca! Setibanya di rumah kediaman Decker. Mobil semua rombongan mulai terparkir rapi di pelataran rumah. Mobil yang ditumpangi oleh keluarga Decker beserta seluruh anak buahnya. Alex dan Sandra turun dari mobil dengan perasaan baru. Perasaan yang membuat keduanya menyadari rasa cinta di hatinya masing-masing. Sandra pun kini mulai melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam rumah sebagai seorang menantu di keluarga Decker. Namun, ia sejenak menghentikan langkahnya sambil memandangi sekitarnya dengan tatapan penuh haru. "Aku sangat bahagia, bisa kembali ke rumah ini sebagai menantu yang sah dan menjadi istri seorang Alex Decker," batin Sandra menatap haru sekitarnya. Namun, tiba-tiba pijakan kakinya seakan menginjak sesuatu yang mengganjal. Sandra mulai menggeser posisi kakinya. Seketika kedua alisnya saling bertaut, saat melihat sebuah gelang yang terdapat huruf A, kini berada di sebelah kakinya. "Apa ini milik Alex?" gumam Sandra penuh tanda tanya sembari mengambil gelang tersebut. Setelah menyimpannya di dalam sakunya, Sandra kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah, di mana Alex sudah terlebih dulu masuk. ()()()()() Sementara itu, situasi berbeda tengah di hadapan Chris. Pria paruh baya itu tampak sudah menjauh dari Grace, saat baru tiba di pelataran rumah. Ia langsung mengambil ponsel dari saku jas dan mulai menghubungi Evans. Namun, berulang kali ia coba menghubungi, tetap saja Evans mengabaikannya. "Di mana Evans? Apa jangan-jangan dia tidak menjalankan perintahku dengan baik?" gumam Chris berdecak kesal. Merasa salah satu orang kepercayaannya telah lalai dalam tugas yang telah diberikannya, Chris pun memanggil Oscar. Kebetulan Chris memang sengaja berada di halaman rumah yang memang ia sediakan untuk tempat anak buahnya tinggal, ia tak ingin segala percakapan tentang Sierra didengar oleh Grace ataupun Alex. Mendengar panggilan Chris yang lantang, membuat Aaron yang juga berada di sana turut menghampiri bersama Oscar. "Apa kalian dapat kabar dari Evans?" tanya Chris, saat anak buahnya baru saja tiba di hadapannya. "Maaf Tuan, tapi kami belum tahu Evans ke mana." Oscar menjawab dengan yakin. Namun, berbeda dengan Aaron, ia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi masih coba untuk menahannya. Chris menatap wajah Aaron dengan penuh selidik. Ia tiba-tiba mencengkram kerah kemeja Aaron hingga membuatnya berjinjit karena Chris memang lebih tinggi darinya. "Katakan di mana Evans! Apa dia tadi sudah menghabisi Sierra?" Amarah Chris semakin memuncak saat Aaron mulai menceritakan semua padanya. Oscar yang mendengar semuanya ikut merasa geram karena itu artinya, Evans telah mengkhianati perintah dari Chris. "Kurang ajar Evans!! Kalian berdua temukan Evans dan Sierra, habisi mereka." Walaupun penuh keraguan. Namun, bagi Oscar kesetiaannya terhadap Chris sudah terpatri dalam dirinya. Membuat pria itu tak bisa membantah, walau misinya kali ini harus membunuh sahabatnya sendiri. "Harusnya kau tidak berkhianat, Evans. Apa kau lupa bahwa Tuan Chris telah menyelamatkan kita dari kehidupan masa kecil yang kelam," batin Oscar begitu kesal kepada sahabatnya. Tak ingin membuat Chris semakin murka, keduanya langsung menuju mobilnya untuk segera memburu Evans. Mereka mulai melacak keberadaan Evans melalui GPS yang terpasang di mobil yang digunakannya. Mobil yang dikendarai oleh Aaron pun kini mulai meninggalkan pelataran rumah kediaman Decker. ()()()()() Langkah Sandra kini sudah tiba di depan kamar tamu yang biasa ditempatinya. Namun, saat ia hendak masuk, tiba-tiba sepasang tangan kekar mulai melingkar pada bagian perutnya. Membuat Sandra terkesiap dan langsung menoleh ke belakang tubuhnya. "Alex, aku pikir kamu sudah istirahat di kamarmu." Sandra menatap Alex dengan wajah yang masih terkejut. Kini Alex mulai meletakkan dagunya di atas pundak kanan Sandra sambil bergelayut manja di sana. "Itu bukan kamarku, tapi kamar kita. Ayo kita ke sana! Sekarang kamarmu bukan lagi di sini." Alex langsung menggenggam tangan istrinya dengan erat dan mulai melangkah menuju kamar yang biasanya hanya di tempati oleh pria itu seorang diri. Sandra pun masih terus mengekor di belakang Alex yang begitu riang membawanya menuju ke lantai atas. Tatapan mata yang penuh haru, menjadi sebuah tanda bahwa Sandra benar-benar tidak menyangka bahwa ia bisa memiliki hati seorang pria yang di awal perkenalan mereka begitu dibencinya. Pria kejam yang dengan seenaknya merenggut kesuciannya. Meninggalkan duka dan trauma dalam dirinya. Langkahnya terus bergerak maju mengikuti sosok pria yang terus membawanya menuju lantai atas. Sandra masih terus menatap dengan ingatan yang mulai timbul dalam pikirannya. Segala ingatan ketika dirinya pertama kali tiba di rumah Alex dengan penuh kesedihan. Tiba-tiba Alex menghentikan langkahnya. Membuat Sandra terdiam di depan pintu dan hanya termangu menatap Alex yang mulai memandanginya. "Kamu kenapa nangis? Apa kamu tidak bahagia saat ini? tanya Alex sambil merapatkan tubuhnya masih dengan menggenggam tangan Sandra. Setelah berada tepat di hadapan istrinya yang kini tampak rapuh, Alex mulai melepaskan genggaman tangannya. Perlahan pria itu mengusap air mata pada kedua pipi Sandra dengan lembut. Pandangan mata mereka pun saling bertaut, menatap dengan begitu dalam. Tiba-tiba sebuah kecupan lembut Alex labuhkan di kedua kelopak mata istrinya secara bergantian, kiri dan kanan. "Sudah jangan menangis lagi, lupakan semua kesalahan yang telah aku lakukan dulu ya! Sekarang kita mulai lembaran baru sebagai sepasang suami istri," pinta Alex dengan senyum yang mengembang. Sandra pun mengangguk dengan senyuman yang mulai terbentuk dari kedua sudut bibirnya. "Ayo kita masuk!" Alex kembali meraih tangan istrinya, lalu menggenggamnya dengan erat untuk menuntunnya masuk ke dalam kamar. Langkah keduanya pun beranjak masuk. Meninggalkan kesedihan yang sempat terurai di depan kamar. Kini yang dibawa oleh Sandra hanyalah sebuah kebahagiaan. Tak ada lagi duka atau raut sendu. "Aku bahagia dengan semua perubahan Alex, semoga apa yang aku rasakan ini untuk selamanya," batin Sandra penuh harap. ()()()()() Waktu terus bergerak maju. Membawa langit kian memerah ketika matahari mulai menampilkan sunset-nya, sebagai tanda bahwa pergantian waktu menjadi malam akan segera tiba. Setelah melakukan pelacakan melalui GPS, Oscar akhirnya berhasil menemukan mobil yang Evans kendarai. Namun, mobil itu terlihat berada di arah yang berbeda dengan laju mobilnya. "Ayo cepat Aaron, berputar! Itu mobil Evans." Oscar menunjuk ke sisi kanan jalan, saat mobil Evans melaju cepat di arah berlawanan dengan laju mobil yang dikendarai oleh Aaron. "Baiklah. Kali ini kau tidak akan lolos, Evans!" Aaron pun mulai menginjak rem pada mobil untuk berputar 90 derajat dan dengan cepat ia kembali menambah kecepatan mobilnya, mengejar mobil Evans yang berada jauh beberapa meter di depan sana. "Cepat Aaron, Kejar mobil itu!" Oscar semakin geram karena melihat mobil Evans semakin jauh meninggalkannya. Namun, bukan Aaron namanya jika ia tak berhasil mengejarnya. Ya, salah satu keahlian terbaik yang dimiliki oleh pria bermata biru itu adalah keahliannya dalam mengendarai kendaraan roda empat. Benar saja, tak butuh waktu lama Aaron berhasil menyalip tiga sampai 5 mobil di depannya dengan laju yang zig-zag. Kini Evans yang masih berdebat dengan Sierra, mulai menyadari sebuah mobil yang mendekat ke arahnya. "Sial, aku lupa melepas GPS pada mobil ini. Sekarang mereka telah berhasil menemukan keberadaanku." Evans mengabaikan Sierra. Melupakan perdebatan yang sejak lama terjadi. Ya, Evans benar-benar menyalahkan Sierra atas situasi pelik yang tengah menimpanya saat ini. Keputusannya untuk kembali hanya memancing kemarahan Chris dan membuatnya sampai harus membantah perintah dari pria yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Evans kini semakin menambah kecepatan mobilnya untuk dapat lolos dari kejaran Aaron. Namun, mobil yang dikendarai oleh rekannya itu benar-benar lihai membuntutinya. Evans pun hanya terkekeh melihatnya. Ia tak pernah membayangkan, bila dirinya akan berhadapan dengan sahabatnya sendiri sebagai musuh. Pengkhianatan yang dilakukannya murni karena rasa di hatinya yang sudah sejak dari dulu ada untuk Sierra. Perasaan yang membuat Evans tidak sampai hati menghabisi wanita yang diam-diam bertahta di hatinya sejak lama. "Semua ini gara-gara melindungi Sierra. Entah ini benar atau salah yang aku lakukan, tapi satu hal yang aku tahu, saat ini aku akan melindungi wanita ini," batin Evans bergumul dengan kebimbangannya sambil memandangi Sierra yang sedang begitu tegang karena mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Berbeda dengan perasaan Evans kala itu. Bagi Sierra sendiri, situasi yang dihadapinya saat ini, membuatnya menyesal akan keputusan yang diambilnya. Selain membahayakan nyawanya, sekarang ia juga harus membuat Evans berhadapan dengan sahabat-sahabatnya sendiri, hanya untuk melindunginya. "Apa ini adalah sebuah kesalahan ya? Seharusnya aku tidak kembali ke Paris. Sekarang bagaimana mungkin aku bisa menemui Alex jika ternyata mereka ingin membunuhku," batin Sierra penuh kebimbangan. Sierra mengesah kasar. Ia sepertinya pasrah atas apa yang akan terjadi di hidupnya saat ini. Namun, hanya satu harapan yang tersisa yang masih terus dipikirkannya, yaitu keberadaan gelang yang sengaja ia tinggalkan di teras kediaman Decker sebagai pesan untuk Alex. "Semoga saja Alex menemukan gelang kaki itu. Ya, walau kemungkinannya sangat tipis, tetapi tidak ada salahnya bila aku terus berharap," batin Sierra sambil memejamkan kedua matanya dengan harapan yang terus tertanam dalam pikirannya. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN