Selamat membaca!
Evans kini sudah hampir tiba di rumah kediaman keluarga Decker setelah menempuh perjalanan selama satu jam. Rasa bimbang jelas terlihat di raut wajahnya yang beberapa kali begitu kesal dengan keputusan Sierra untuk kembali datang ke kota Paris.
"Apa aku tega membunuhnya? Tapi jika aku tidak membunuhnya, Tuan Chris akan membunuhku," batin Evans bergelut dengan kebimbangannya.
Hubungan Sierra dan Evans memang terbilang cukup dekat karena ia beberapa kali sering ditugaskan Alex untuk mengantar Sierra ketika dirinya sedang sibuk, saat harus memimpin perusahaannya dulu.
Kini perusahaan itu diserahkan kepada assisten Alex yang bernama Robert Downey untuk memimpinnya. Setelah Alex kehilangan Sierra ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Mafia, menggantikan posisi Chris dalam organisasi DOP (Dark Organization Paris), sebuah organisasi mafia yang sudah Chris ambil alih dari tangan sahabatnya yang meninggal karena sebuah insiden pada tahun 2005 di San Eitene.
Sebuah insiden yang tidak akan terlupakan karena insiden itu sangat mempengaruhi kehidupan Chris saat ini.
()()()()()
Setibanya di pelataran kediaman Decker, Evans pun menghentikan mobilnya dengan sembarang. Setelah keluar dari mobil, langkahnya langsung tertuju pada sosok wanita yang saat ini sudah melihat kedatangannya dengan tatapan mata yang berbinar, seperti menampilkan sebuah harapan bahwa apa yang diinginkannya akan ia dapatkan.
"Evans.. Pasti Tuan Alex mengirimmu ke sini untuk mengantarku kepada Alex kan, mereka belum sempat menikah kan Evans?" Kedua manik mata Sierra memantulkan binar harapan yang terpancar jelas dari tatapannya.
Evans menampik semua ucapan Sierra dengan mendorong tubuh Sierra hingga Sierra terjatuh.
"Apa yang kau lakukan Evans?" protes Sierra menampilkan gurat kekecewaan pada wajahnya atas apa yang telah dilakukan oleh Evans.
"Aku minta maaf Sierra." Evans mengeluarkan pistol dari saku jas hitamnya, lalu menyodorkan pistol tersebut ke arah Sierra hingga membuat wanita itu tercekat penuh rasa takut.
"Evans, apa Tuan Chris memberi perintah untuk membunuhku?" tanya Sierra yang sudah gemetar bibirnya menahan rasa takutnya.
"Ini karena kesalahanmu Sierra. Kau sudah aku peringatkan sewaktu di bandara, saat aku mengantarmu, tapi kau ternyata begitu bodoh! Apa kau tahu saat ini sedang berhadapan dengan siapa?" bentak Evans berdecak kesal dengan kedua alis yang saling bertaut, menatap tajam wajah Sierra.
Evans mulai menarik pelatuk pada pistolnya dan mengabaikan tangisan Sierra yang terus memohon padanya. Pria itu seakan tak peduli, ia benar-benar tak punya keberanian untuk melawan semua perintah yang telah Chris berikan padanya.
"Maafkan aku Sierra, jika aku tidak membunuhmu, Tuan Chris yang akan membunuhku. Jadi kalau kamu jadi aku, apa yang akan kau lakukan?" Evans melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat Sierra mulai menyadari kesalahannya karena telah melanggar kesepakatannya dengan Chris untuk tidak kembali menemui Alex.
Sierra mengesah pelan. Kini wanita itu tampak pasrah akan kematian yang saat ini terasa begitu dekat dengannya.
"Lakukan Evans jika itu memang keputusanmu! Aku tahu semua ini salahku, tapi apa salahnya jika aku ingin memperjuangkan cinta yang selama ini terus menghantui hidupku, saat aku jauh dari Alex. Aku masih mencintai Alex. Bahkan sampai detik ini, rasa cinta itu tidak bisa hilang, Evans." Sierra terus menangis dengan terisak.
Sierra menarik sebelah sudut bibirnya. Membentuk senyuman kecil dengan embusan napas yang terdengar kasar. Situasi yang membuatnya piluh, ia seolah tak percaya bahwa rencananya akan berakhir jauh dari apa yang diharapkan.
"Lakukan Evan! Mungkin kematian bisa membuatku melupakan Alex. Aku sudah siap Evans, cepat lakukan!" Sierra mulai memejamkan kedua matanya. Ia kini pasrah atas apa yang akan diterimanya saat ini. Setidaknya ia sudah sempat memperjuangkan cinta yang dimilikinya, walau hasilnya jauh dari harapan, tapi itulah konsekuensi yang harus diterimanya karena telah melanggar kesepakatan dengan Chris.
"Maafkan aku Tuan Alex. Aku sungguh tak memiliki keberanian untuk melawan perintah Tuan Chris," batin Evans mulai bersiap untuk mengeksekusi perintah dari Chris.
()()()()()
Sementara itu, suasana di dalam kapal pesiar mulai berada di penghujung acara. Laju kapal sudah mengarah ke dermaga untuk bersandar di sana. Pesta pernikahan yang sungguh meriah bagi Sandra. Sebuah momen yang tidak akan pernah dilupakan sepanjang hidupnya.
"Apa kamu bahagia Sandra?" tanya Alex masih melingkarkan tangannya di pinggang Sandra.
"Aku bahagia Alex," ucap Sandra sambil mengusap lembut rahang pria yang saat ini telah menjadi suaminya.
Keduanya menatap kagum hamparan laut biru yang luas, ditambah suara deburan ombak menambah keromantisan yang ada kala itu. Terlebih mereka kini sedang berada di dek kapal seperti adegan di film Titanic.
Namun, tanpa mereka sadari, sepasang mata tampak sedang mengamati mereka dari tempatnya berada. Seorang pria berbulu lebat pada rahangnya dengan stelan jas hitam yang berada di kapal pesiar itu juga, sebagai salah satu tamu undangan yang hadir di sana.
"Aku bahagia, akhirnya anakku bisa diperlakukan dengan baik oleh Alex. Maafkan aku ya Nak. Ayah belum bisa menemuimu saat ini, sampai Ayah berhasil menemukan pelaku sebenarnya yang telah mengambil uang Tuan Alex." Pria itu masih terus menatap kebahagiaan putrinya dari kejauhan. Bersama kerinduan yang terus disimpannya, pria itu pun berlalu dan menghilang dalam keramaian para tamu yang mulai berhamburan keluar ketika kapal pesiar sudah bersandar pada dermaga.
()()()()
Setelah menuruni kapal pesiar, tampak Alex sedang melangkah sejajar dengan Arnold di tepi pantai.
"Kau langsung ke apartemenmu atau antar Clara pulang dulu, Arnold?" tanya Alex yang terus melangkah bersama Arnold menuju parkiran mobil.
Arnold hanya memilin jemarinya, seolah ragu untuk menjawab apa yang ditanyakan oleh Alex. Kebimbangannya membuat Alex tampak geram menatap tingkah sepupunya itu.
Alex pun mengedarkan pandangannya. Memandang jauh ke arah Clara yang saat ini sedang melangkah bersama Sandra, jauh di depan mereka.
"Clara." Alex memanggilnya dengan setengah berteriak hingga membuat Arnold menjadi semakin gugup dibuatnya.
Arnold pun sampai memberikan pukulan kepada Alex dengan sikunya ke arah d**a sepupunya itu hingga membuatnya tersedak.
Saat Sandra dan Clara sudah menghampiri keduanya, mereka masih melihat Alex dengan posisi yang masih merunduk sambil memegangi dadanya. Sementara Arnold, raut wajahnya kini sudah kelihatan sangat gugup.
"Kamu kenapa Alex?" tanya Sandra melihat suaminya seperti kesakitan.
Clara menatap heran kedua lelaki yang kini ada di hadapannya. Sesekali manik matanya terhenti ke arah Arnold yang tak membalas tatapannya, lelaki itu hanya tertunduk seolah tak memiliki nyali untuk melihat wajahnya.
"Kamu nggak apa-apa Alex?" tanya Sandra kembali setelah berada tepat di samping tubuh suaminya.
"Iya nggak apa-apa, tadi aku kaget saat Arnold menepuk punggungku." Alex berkilah menutupi yang sebenarnya terjadi.
Alex kini menautkan kedua alisnya dan sudah kembali dapat berdiri dengan tegap. Sambil merangkul pundak sepupunya yang terlihat gugup jika berada di hadapan Clara, ia pun mulai menyuarakan keinginan Arnold yang tak mampu menyampaikan secara langsung kepada Clara.
"Oh ya Clara, lebih baik kau pulang bersama Arnold saja, biar mobilmu anak buahku yang mengendarainya, nanti dia akan mengikuti kalian."
Arnold terhenyak mendengar perkataan Alex. Namun, di dalam hatinya seperti berterima kasih pada sepupunya itu karena telah mewakilinya untuk mengatakan hal yang sebenarnya ingin ia sampaikan secara langsung kepada Clara. Walaupun sebenarnya pria itu ingin mengatakan secara langsung, tapi apalah daya, ketika berhadapan dengan Clara, mulutnya seakan terkunci rapat hingga membuatnya hanya terdiam tak bicara sepatah kata pun.
Clara menoleh ke arah Arnold setelah mendengar apa yang Alex katakan. Wanita itu terus menatap dalam wajah Arnold penuh tanda tanya, memastikan apa benar yang dikatakan oleh Alex bahwa pria itu memang benar ingin mengantarnya pulang.
"Apa benar Arnold?" tanya Clara dengan kedua alis yang saling bertaut.
Suasana kala itu menjadi hening karena Arnold tetap diam tak menjawab pertanyaan Clara. Membuat Sandra geleng-geleng kepala atas sikap yang ditunjukkan oleh keduanya. Ia sangat menyayangkan kedua insan yang sebenarnya saling mencinta, tetapi tak bisa bersama karena keduanya mempertahankan egonya masing-masing, di satu sisi Arnold terlalu ciut untuk mengakui perasaannya kepada Clara, di sisi lain Clara tak mau mengalah untuk mengakui terlebih dahulu perasaannya kepada Arnold. Sandra yang semakin geram, akhirnya tak kuasa menahan dirinya untuk membantu Arnold.
"Itu benar Clara, Arnold memang sempat mengatakan kepada Alex bahwa dia ingin mengantarmu pulang. Makanya, dia minta tolong Alex agar anak buahnya mau untuk membawakan mobilmu."
Alex tersenyum mendengar perkataan istrinya yang cerdik. Ia semakin kagum dengan Sandra yang ternyata juga memiliki niat yang sama seperti dirinya. Niat untuk menyatukan sepupunya dengan Clara.
Clara yang sudah menerima tawaran Arnold, kini mulai mengulas senyum di wajahnya. Keduanya tampak melangkah beriringan, walau dengan obrolan yang terdengar kaku dari keduanya.
"Kamu handsome dengan jas itu." Clara mulai memuji tanpa malu-malu.
"Makasih ya, kamu juga cantik hari ini." Arnold pun membalas dengan sebuah pujian, walau terdengar canggung karena ia tengah berada di samping Clara. Namun, berkat bantuan dari Alex dan Sandra, ia masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semua hal yang telah disia-siakannya.
Saat langkah keduanya semakin meninggalkan Alex dan Sandra, Arnold pun menoleh ke belakang. Melihat Alex dengan senyuman sambil menegakkan ibu jarinya. Sebuah kode bahwa pria itu merasa sangat berterima kasih atas bantuan Alex maupun Sandra.
"Semoga mereka bisa cepat meluluhkan egonya masing-masing ya untuk bisa bersama," ucap Sandra penuh harap.
"Ya kamu betul, sayang. Semoga Arnold bisa melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan." Alex melingkarkan sebelah tangannya sampai ke lengan istrinya, kemudian mereka kembali melangkah, saat panggilan dari Grace mulai terdengar dari arah parkiran mobil.
Bersambung✍️