Selamat membaca!
Pesta pernikahan masih berlangsung dengan meriah di dalam kapal pesiar. Kini tiba saatnya kedua mempelai berdansa di depan para tamu undangan yang sudah berdiri dengan membentuk sebuah lingkaran. Tak hanya membentuk lingkaran sebagai tempat untuk Alex dan Sandra berdansa, para tamu yang hadir juga sudah menggenggam sebatang kembang api di tangannya masing-masing. Kembang api yang tampak berpijar dengan indah. Ada juga beberapa tamu yang menyalakan flash pada ponselnya, sebagai pengiring dansa yang akan dilakukan oleh kedua mempelai.
Keadaan sejenak hening, saat Sandra tampak ragu mengikuti langkah Alex yang sudah berada di kelilingi oleh tamu-tamu undangan.
"Alex, aku nggak bisa dansa, bagaimana kalau aku sampai membuatmu malu?"
Alex tak menggubrisnya. Ia merasa yakin bahwa Sandra dapat melakukannya. Sambil menyodorkan tangannya ke arah Sandra, pria itu pun mengulas senyumannya. Hal yang langsung disambut dengan tepuk tangan meriah dari para tamu undangan yang begitu antusias menantikan dansa dari sepasang pengantin baru itu.
Alex mulai merapatkan posisinya mendekat ke arah tubuh Sandra dengan sebelah tangan melingkar pada pinggang wanita cantik itu dan sebelah tangan lagi, mereka saling menggenggam.
"Aku harus bagaimana Alex?" Sandra tampak gugup, membuat detak jantungnya berdegup tak beraturan.
"Letakkan tanganmu pada pundakku! Lalu, ikuti langkah kakiku dengan perlahan!Aku yakin kamu bisa melakukannya." Alex menatap wajah gugup Sandra begitu dekat. Manik mata keduanya kini saling menatap penuh kekaguman dengan mengulas sebuah senyuman.
"Baru pertama kali, aku berdansa dan kini di hadapanku berdiri seorang pria yang sudah menjadi suamiku. Semoga Alex benar-benar menganggapku sebagai istrinya," batin Sandra mengusir rasa gugupnya.
Sandra dengan perlahan mulai mengikuti semua yang dikatakan oleh Alex, ia melangkah ke kiri, lalu ke arah kanan mengikuti irama langkah kaki Alex yang dengan sabar menuntunnya. Tak butuh waktu lama, Sandra akhirnya mulai terbiasa melakukannya hingga ia dapat mengimbangi semua gerakan Alex.
"Sudah aku duga, kamu memang pintar," puji Alex dengan senyum yang tak pernah lepas dari kedua sudut bibirnya.
"Terima kasih Alex, semoga kebahagiaan yang aku rasakan bersamamu ini adalah untuk selamanya," ucap Sandra dengan manik mata yang berbinar, menampilkan raut wajah yang penuh harapan.
Pemandangan yang membuat Arnold langsung melirik ke arah Clara yang berada di seberangnya.
"Andai aku memiliki keberanian seperti Alex, mungkin aku sudah menikah dengan Clara saat ini," batin Arnold dengan mengerutkan keningnya.
Arnold terus memandang ke arah Clara yang saat ini menatap dengan antusias, momen bahagia antara Alex dan juga Sandra. Namun, tiba-tiba kedua mata Clara melirik ke arah pria itu yang dengan cepat langsung memalingkan wajahnya. Arnold tak ingin Clara menangkap basah dirinya yang terus memandangi wajahnya.
"Untung saja aku cepat menghindar, kalau tidak, Clara bisa tahu bahwa aku sedang memerhatikannya," batin Arnold menghela napasnya dengan kasar.
Semua tamu memandang iri kemesraan yang terjalin antara Alex dan Sandra. Kebahagiaan yang membuat Grace mulai menitikkan air mata hingga membasahi kedua pipinya.
"Grace, ayolah sayang jangan menangis!" Chris memeluk tubuh istrinya yang kini berada di sampingnya dengan erat. Tujuannya hanya satu, ia tak ingin melihat ada kesedihan di mata sang istri.
"Aku sangat terharu melihat putra kita kini sudah menemukan kebahagiaannya."
"Iya Grace, aku pun bahagia melihatnya." Chris memberikan sebuah kecupan pada pucuk rambut istrinya itu dengan penuh cinta. Grace kini sudah jauh lebih baik, ia mulai terlihat tenang dengan senyuman yang mulai terbentuk dari kedua sudut bibirnya.
Tiba-tiba dering ponsel milik Chris berbunyi, membuyarkan kemesraan yang sedang terjalin di antara mereka. Chris langsung mengurai pelukannya sejenak, lalu ia mengambil ponsel dari saku jas hitamnya. Pria itu mulai menatap layar pada ponselnya dan seketika dahinya mulai mengernyit, tanda rasa penasaran atas panggilan yang saat ini belum diangkatnya.
"Aaron, ada apa dia menelepon? Bukankah dia aku tugaskan untuk berjaga di rumah," batin Chris mulai cemas, timbul sebuah firasat yang tak enak di dalam hatinya.
Chris langsung berbisik pada telinga Grace, "Sayang ada telepon dari Aaron, aku tidak mungkin menjawabnya di sini, suasananya terlalu berisik." Grace kemudian mengangguk, membiarkan Chris berlalu darinya. Tanpa menunggu waktu lagi pria itu kini mulai melangkah keluar dari kapal untuk menjawab telepon tersebut.
"Ada apa Aaron?" jawab Chris dengan kedua alis yang masih bertaut dalam.
"Tuan, maaf mengganggu waktu Anda, tapi ini jauh lebih penting Tuan." Aaron menjawab dengan suara lumayan gugup karena takut apa yang ia sampaikan di tengah pesta akan menimbulkan kemarahan dari tuannya itu.
"Katakan saja Aaron! Memang apa yang lebih penting dari pernikahan Alex saat ini?"
"Berita ini mungkin saja bisa menghancurkan pernikahan yang sedang berlangsung jika Tuan Alex tahu, Tuan." Aaron mulai mengarahkan Chris untuk mengerti maksud perkataannya.
"Sierra..." batin Chris yang sudah dapat menebak.
"Tahan wanita itu di sana! Aku akan mengirim Evans untuk mengurusnya."
"Baik Tuan, aku mengerti." Setelah memutuskan sambungan teleponnya, Aaron kembali menghampiri Sierra yang sudah menunggu sejak tadi.
"Bagaimana Aaron? Apakah kamu sudah meminta Tuan Chris untuk menemuiku? Kau harus mengatakan padanya aku tidak akan membocorkan rahasianya, asalkan ia mengizinkan aku untuk dapat bersama Alex."
"Maaf Nona, sebaiknya Anda sendiri saja yang mengatakan hal ini kepada Tuan Chris ketika beliau sudah datang nanti."
"Baiklah, tapi berapa lama beliau sampai sini?" tanya Sierra penasaran. Ia sudah tak sabar ingin mengatakan kepada Chris bahwa keinginannya kembali ke Paris, bukanlah untuk membongkar rahasianya, melainkan mencegah pernikahan Alex dan berharap agar pria itu dapat kembali bersamanya.
"Tuan Chris sepertinya tidak akan membiarkan wanita ini hidup karena dia sudah melanggar perjanjian yang dibuatnya. Aku ingat dulu, Tuan Chris tetap membiarkannya hidup dengan sebuah syarat jika dia tidak akan kembali ke kota Paris untuk menemui Alex dan sekarang dia malah melanggarnya," batin Aaron mengingat masa lalu.
Sierra menatap heran, saat mendapati Aaron kini hanya termangu tanpa kata. Wanita itu pun langsung menepuk lengan Aaron hingga membuyarkan lamunan seketika.
"Aaron, kenapa kamu melamun? Jadi berapa lama Tuan Chris datang ke sini?"
"Tidak akan lama Nona, tunggulah." Aaron menatap iba seorang wanita cantik yang saat ini berada di hadapannya, dengan wajah yang penuh harapan jika Chris mau membuat kesepakatan dengannya.
()()()()
Di bagian kapal yang jauh dari siapapun. Tak terlihat orang lain di sana, selain Chris dan Evans yang sedang membicarakan sesuatu. Chris tampak begitu geram hingga menampilkan gurat wajah penuh amarah, saat ia mencengkram kerah kemeja Evans yang sempat berani membantah perintahnya.
"Kau tidak usah tawar menawar padaku Evans jika kau tidak membunuhnya! Aku akan membunuhmu, kau mengerti!!"
Evans tercekat kaget atas kemarahan Chris terhadapnya. Ia sebenarnya tidak tega membunuh Sierra. Namun, permintaannya untuk membiarkan Sierra tetap hidup, malah memancing amarah Chris yang kini sudah mulai memuncak.
"Baik Tuan, aku akan lakukan sesuai perintahmu. Saya minta maaf atas perkataan saya tadi, Tuan."
Chris melepas cengkraman tangannya seketika dari kerah kemeja Evans. Setelah itu, ia pun pergi begitu saja meninggalkan Evans dengan membawa amarah yang sudah bergemuruh di dalam dirinya.
"Pekerjaan ini lebih berat dari membunuh Rudolph beserta anak buahnya. Sekarang aku harus membunuh seorang wanita yang aku kenal baik." Evans mengesah kasar. Ia mulai menuju perahu karet yang akan digunakannya untuk menuju dermaga. Ada perasaan bimbang, dibungkus ragu. Membuatnya sulit membedakan antara sebuah perintah dan rasa iba, mana yang harus ia jalani.
Bersambung✍️