"Baiklah, karena kamu begitu percaya diri dengan kemampuanmu membuat kopi, buatkan aku americano." Setelah diam cukup lama, Theo melambaikan tangan seperti tidak ingin Elsa ada di hadapannya.
Elsa mengatupkan gigi, tapi tetap tersenyum pada bosnya. Setelah itu dia keluar untuk menuju pantry yang ada di lantai 55.
Sekitar lima belas menit kemudian, Elsa kembali membawa nampan berisi satu cangkir kopi americano. Dia mendekat dan meletakkan secangkir kopi itu di meja Theo.
Tanpa menatap, atau sekadar melirik, Theo meraih cangkir dan mencicipi kopi buatan Elsa. Tapi baru satu seruput, dia langsung menyemburkannya.
Phuah!
Elsa mundur satu langkah untuk menghindar, sialnya reaksi kakinya tidak cukup cepat. Sepatunya basah, juga sedikit mengenai rok.
Pada saat ini, Elsa benar-benar ingin marah. Tapi ia masih menginginkan pekerjaan ini. Jadi hanya bisa bertanya dengan hati-hati pada bos-nya. "Presdir Theo, apa ada yang kurang dengan kopinya?"
Theo mengusap bibirnya dengan tisu, lalu membuangnya di tempat sampah. Matanya melirik dengan tajam, lalu berkata, "Apa kamu ingin mencelakaiku? Periksa suhunya! Ini terlalu dingin."
Elsa spontan mengambil sendok kecil dan memeriksa suhu kopinya.
"Ini tidak dingin ...." Elsa yakin suhu kopinya tidak kurang dari 60°C. Dia berpikir Theo tidak akan menyukai kopi yang terlalu panas, sehingga berinisiatif membuatkan kopi hangat.
Tapi siapa yang mengira jika Theo malah mengkomplen kopi buatannya.
Elsa masih mencoba merenungi nasibnya, Theo yang tidak sabaran berteriak marah memintanya segera membuat americano lagi.
"Cepat buatkan lagi!"
"Baik!" Elsa mengambil kembali cangkir kopi itu dengan enggan.
Mata Theo melirik dengan acuh tak acuh. "Begini saja tidak bisa," dengusnya.
Mendapat cibiran seperti ini, Elsa berpura-pura tidak mendengar. Dengan segera meninggalkan ruangan. Begitu dia keluar, tak henti-hentinya Elsa mengomel tentang Theo yang sangat menjengkelkan.
Hah...
"Belum menjadi sekretaris saja sudah seperti ini. Bagaimana nanti jika aku benar-benar menjadi sekretarisnya?" Tiba-tiba Elsa merasa kasihan dengan nasibnya sendiri. Padahal niat hati kembali ke ibukota untuk mendapat pekerjaan lebih layak, tapi malah seperti ini.
Yang tidak dirinya mengerti, kenapa di antara banyak orang yang bekerja di Sander Group, bisa sangat kebetulan dirinya yang mendapat kesempatan untuk menjadi sekretaris presdir.
Oh bukan! Ini bukan kesempatan. Ini ujian!
Sampai di pantry Elsa langsung membuat kopi americano sesuai keinginan Theo. Tapi ketika akan menyeduh air, tiba-tiba dia menjadi ragu.
Elsa tidak tahu kopi dengan suhu berapa yang diinginkan Theo. Jelas ini bukan hal yang dapat disepelekan. Terlalu dingin sudah pasti dirinya akan mendapat amukan, terlalu panas juga pasti akan dimarahi.
Arg...
Rasanya Elsa ingin menarik rambutnya kuat-kuat saking frustrasi dengan bos seperti ini. Paling tidak seharusnya Theo memberitahunya tingkat suhu yang dia inginkan. Bukan hanya diam.
Elsa bukan cenayang, apalagi peramal. Dia tidak akan tahu jika tidak ada yang memberitahunya.
"Presdir Theo hanya mau minum kopi dengan suhu tepat 90°C. Selain itu, dia tidak akan mau menyentuhnya."
Elsa mengangkat wajahnya mendengar suara dari depan. Ternyata itu adalah Hanz yang berdiri di dekat mesin kopi.
Namun Elsa tidak memiliki kata untuk dikatakan, menyetel dispenser lalu menyeduh kopi. Setelah itu Elsa berlalu pergi untuk mengantar americano itu pada Theo. Khawatir pria itu akan menyemprotnya lagi jika suhu kopi berubah.
"Presdir Theo, silakan kopi Anda." Seperti sebelumnya, Elsa menempatkan cangkir kopi di sebelah kanan meja. Theo yang sedang mengetik sesuatu di layar laptop pun sekilas melirik ke arahnya.
"Jika kurang panas, kamu pulang saja! Membuat kopi saja tidak bisa, bagaimana mengerjakan hal lain?" dengus Theo yang kemudian menggeser laptopnya dan meraih cangkir kopi.
Elsa tidak mengatakan apapun, hanya menunjukkan senyum paling alami yang dia miliki.
Theo mendengus, lalu mulai mengecek suhu kopinya. Ketika merasakan itu sudah memenuhi standar kualitasnya, perlahan mulai meminumnya.
Satu seruput pertama, Theo berhenti dan menatap Elsa. Dia tak menyangka americano yang dibuatnya begitu nikmat. Bahkan harus diakui, pelayan terbaik di rumahnya pun tidak bisa dibandingkan dengan secangkir americano ini.
"Presdir Theo, apa Anda menyukainya?"
Theo berkedip dua kali untuk mengatur ekspresinya, lalu meletakkan cangkir itu ke atas meja. "Biasa saja," ucapnya tanpa embel-embel pujian.
Hal ini membuat Elsa memicingkan mata. Dia menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan agar tak terpengaruh dengan sikap bosnya yang arogan.
Sementara di sisi lain Theo kembali menghadap laptop, keningnya mengerut ketika menyadari Elsa yang masih berdiri di samping meja kerjanya. "Apa yang kamu tunggu di sini? Cepat temui Hanz, dia akan mengurusmu."
Oh..
"Baik!"
Elsa berlari keluar dengan cepat. Akhirnya setelah berada dalam pengawas penuh tekanan dia bisa keluar dengan selamat.
Percaya atau tidak, tatapan Theo yang dingin benar-benar mengintimidasi.
"Bagaimana?"
Elsa baru saja keluar, Hanz berdiri tepat di samping pintu dan melipat tangannya sambil bersandar.
"Apanya?"
Hanz berdecak karena Elsa yang berpura-pura bodoh. "Tentu saja hasilnya. Apa kamu berhasil meyakinkan Presdir Theo?"
"Presdir Theo ingin saya bertemu dengan Anda. Apa itu bisa dianggap berhasil?" Elsa mengelus dagunya, menatap Hanz dengan bingung.
Hanz sejenak tertegun mendengar kata-kata ini. Meski dia sangat berharap banyak pada Elsa, tidak mengira tuannya akan dengan cepat menerimanya sebagai sekretaris. Terlebih Elsa adalah wanita. Ini adalah pertama kali sejak Theo menjadi presdir memiliki sekretaris wanita. Semua sekretaris sebelumnya pria, mereka semua mundur karena tidak bisa menghadapi tekanan.
"Asisten Hanz, ...." Elsa menggoyang tangan tepat di depan wajah Hanz yang terlihat bengong.
Seperti bangun dari mimpi, Hanz agak terperanjat. "Hem ... Ya, bisa dikatakan kamu berhasil. Sekarang ikut denganku."
Elsa hanya mengikuti dengan patuh kemana Hanz membawanya. Mereka berhenti di depan pintu yang tak begitu jauh dari ruangan presdir.
"Mulai hari ini, ruangan ini adalah tempatmu. Kamu adalah sekretaris presdir. Tentang tugas, itu akan menyusul nanti." Hanz membuka pintu dan menunjukkan pada Elsa ruangan yang akan ditempatinya.
Sungguh Elsa terpukau dengan desain ruangannya. Selain itu luas ruangan juga tidak main-main. Mungkin segera dengan sebuah apartemen.
"Kamu bisa menyesuaikan diri terlebih dahulu." Setelah berkata, Hanz pergi begitu saja meninggalkan Elsa.
Elsa mengamati ruangannya dan diam-diam merasa senang. "Bukankah orang lain akan iri denganku? Bahkan ini lebih luas jika dibandingkan dengan ruangan Direktur Yono."
Seorang anak baru sepertinya, tapi sudah memiliki posisi yang tinggi di perusahaan. Terlebih ini adalah Sander Group. Perusahaan terbesar di ibukota yang bergerak dalam bidang properti dan real estate. Orang lain tidak akan percaya jika dia mencapai posisi tidak dengan bantuan orang dalam.
Ya, dia sudah berusaha.
Dengan usahanya, ia mampu menjinakan bos yang galak dan arogan.