"Pak, bisa kita berhenti di depan?"
Hari pertama bekerja telah selesai. Elsa pulang dan berniat mampir ke kedai es krim. Dia masih mengingat janjinya kemarin pada Max untuk membelikannya es krim vanila.
Kemarin entah kenapa kedai es krim tutup lebih awal. Jadi terpaksa Elsa harus membujuk Max dan berjanji untuk membelikannya di hari lain.
Supir taksi mengurangi kecepatan, matanya menatap ke tempat yang dimaksud. "Apa yang Nona maksud adalah kedai es krim di depan?"
"Ya, saya ingin membeli es krim untuk anak saya di rumah."
Mendengar ini supir taksi segera mengantar Elsa ke depan kedai es krim. Akan tetapi, tidak seperti sebelumnya, kedai es krim tampak dikelilingi beberapa pengawal dan cukup ramai di dalam.
"Sepertinya ada orang kaya yang telah memesan seluruh tempat ini." Supir taksi mengelus dagu dan berusaha mengingat sesuatu.
Ah...
Matanya berubah bersinar, seperti muncul lampu saat mengingat sesuatu. "Nona, jika tidak salah memang tempat itu sudah dipesan oleh satu keluarga kaya."
Elsa menghela nafas mendengar kata supir taksi.
"Mungkin inilah alasan kenapa kemarin mereka tutup lebih awal," batin Elsa sambil memperhatikan dari balik kaca. Dia teringat tentang janjinya pada Max, semakin membuatnya menyesal karena lagi-lagi tidak bisa memenuhinya.
"Nona, apa kita akan melanjutkan perjalanan?"
Elsa masih memperhatikan kedai es krim yang teramat ramai. Dia memberi tanda pada supir taksi untuk melanjutkan perjalanan. "Lanjut saja, Pak. Tidak mungkin kan kita turun dan masuk ke sana? Bukan dapat es krim malah penjaga-penjaga itu yang melempar kita ke jalan."
Supir taksi tertawa. "Itu benar, Nona. Kecuali jika Nona mengenal salah seorang yang di sana. Bukan mustahil untuk masuk dan menghadiri acara ulang tahun tuan kecil kecil keluarga Simon."
Keluarga Simon?
Elsa yang bergeming menatap keluar kaca mobil pun segera berpaling ke arah sang supir. "Apa itu keluarga Simon pemilik perusahaan Simon Konstruksi?"
"Tentu saja. Siapa lagi jika bukan keluarga Simon yang itu? Hari ini adalah hari ulang tahun tuan muda kecil mereka."
Elsa kembali memandang ke arah kedai es krim. Ingatannya menerawang pada sosok Erkan, lalu tersenyum masam. "Yah, kami telah menjalani hidup yang berbeda. Tidak perlu mengungkit masa lalu. Dia sudah bahagia dengan keluarganya, aku juga harus bahagia!"
"Kita pergi sekarang, Pak." Elsa menarik nafas dan menepuk sandaran kursi pengemudi. Sang supir segera melajukan mobilnya meninggalkan kedai es krim.
Mereka tak sadar, seorang pria memakai kemeja putih terus memperhatikan dari dalam kedai es krim. Matanya yang sedikit redup menatap begitu lekat seperti menunjukkan perasaan akrab.
"Elsa ...."
Tanpa sadar pria itu bergumam, membuat wanita bergaun biru di sampingnya memicingkan mata. "Erkan, kamu masih memikirkannya?!"
Erkan langsung tersadar dari lamunannya begitu suara bernada tinggi menusuk telinganya dari samping. Perlahan kepalanya menoleh, melihat wanita berwajah judes sedang menatapnya tajam.
Wanita itu, Silvia, semakin menggertak gigi melihat suaminya yang terus memikirkan wanita lain. "Sudah tiga tahun. Apa kamu tidak bisa melupakan jalang itu?! Aku istrimu. Apa kurangnya aku darinya?!"
Mata Erkan langsung berubah tajam mendengar kata-kata Silvia.
Brak!
Meja tempatnya duduk langsung berantakan ketika tangannya menghantam dengan keras. Mangkok dan piring berjatuhan, minuman dan makanan terbang terlempar.
Silvia sangat takut dan mendekap tubuhnya sambil menatap Erkan yang berwajah suram. Kilatan matanya yang tajam, terasa dingin dan mencekam.
"Kamu tidak pantas menyebutnya seperti itu!"
Semua tamu yang datang melihat keributan ini, tapi mereka tidak berani untuk mendekat, apalagi ikut campur. Sementara asisten Erkan yang berada di luar, langsung masuk dan menenangkan tuannya.
Erkan baru bisa tenang setelah seorang anak kecil berusia tiga tahun berjalan mendekatinya.
"Papa ...."
Tatapan Erkan berubah lembut dalam seketika, dia tersenyum pada Alvaro--putranya lalu menatap Silvia dengan penuh peringatan. "Jangan pernah mengulanginya!"
Setelah mengatakan itu pada Silvia, Erkan berjongkok pada Alvaro. "Kamu di sini sama Mama, nanti Papa akan kembali."
Alvaro tidak mengatakan apapun. Anak laki-laki bertubuh gemuk dengan kulit putih itu hanya menganggukkan kepala.
Erkan mengelus puncak kepala Alvaro, lalu bangkit dan memanggang pergi begitu saja.
Silvia ingin menghentikannya. Dia tidak ingin Erkan pergi karena ini adalah hari perayaan ulang tahun putra mereka. Namun, saat akan beranjak, pria berjas hitam yang berdiri di sampingnya langsung membentangkan tangan.
"Nyonya, tolong beri Tuan waktu untuk menenangkan diri. Setelah lebih baik Tuan pasti akan kembali."
Silvia mengepalkan tangan tidak terima. Dia tentu tahu Erkan mencari tempat yang tenang untuk mengenang Elsa. Entah kenapa, ini sudah tiga tahun, tapi perasaan Erkan pada Elsa tidak kunjung menghilang. Padahal dirinya sudah melahirkan seorang putra untuknya.
...
Sementara di sisi lain, Elsa telah sampai di rumah Bibi Yenny. Kebetulan Max sedang bermain di teras, begitu melihat siapa yang datang, dia berlari sambil membuka kedua tangannya.
"Mama ...."
Elsa menangkap Max sambil bertanya padanya apa yang sudah dia lakukan hari ini.
Max terlihat antusias menceritakannya, menggerakan tangan ke atas kepala saat bercerita tentang jerapah yang tinggi.
Di saat yang sama, Bibi Yenny keluar dengan sebotol s**u. "Elsa, kamu sudah pulang?"
"Iya, baru pulang. Tadi sempat mampir ke kedai es krim tapi sedang ada acara jadi tidak dibuka untuk umum."
Bibi Yenny menganggukkan kepala. "Itu tidak masalah. Max anak yang baik, hari minggu kita pergi ke taman. Di sana pasti ada penjual es krim. Sekalian kita bisa pergi jalan-jalan."
"Ya, es krim!" Max mengangkat tangannya bersemangat.
Elsa dan Bibi Yenny terkekeh bersamaan dengan tingkah menggemaskan Max.
...
Di salah satu ruangan vvip sebuah bar.
"Bagaimana perkembangannya?" Theo menggoyangkan gelas anggurnya dan melirik pada Hanz yang hanya diam menundukkan kepala.
Hanz mengusap keringatnya, dan secara pasti membuka mulutnya. "Tu-Tuan, persentase tindak aborsi pada saat itu terbilang tinggi. Mungkin ...."
Theo mengernyitkan mata mendengar ucapan Hanz. Dia meletakkan gelas anggurnya dan dalam sekejap ekspresinya menjadi suram. "Temukan! Jika dia benar-benar melakukan aborsi, juga harus membayar atas apa yang telah dia lakukan. Darah keluarga Sander tidak bisa mati dengan sia-sia!"
"Ba-baik!" Hanz hampir lupa bagaimana wajah seram tuannya saat marah. Bahkan sudah tidak melihatnya beberapa tahun ini. Tapi sekarang kembali tampak, dan ia tidak berani banyak bicara di hadapannya.
"Tuan, ...."
Theo melambaikan tangan tanpa mengatakan apapun. Hanz mengerti dan dengan cepat pergi meninggalkan Theo sendiri dalam ruangan. Pria itu termenung, mengingat kejadian malam tiga tahun lalu.
Sungguh, saat itu dia mabuk berat. Bahkan pakaian wanita yang menghabiskan malam dengannya pun tidak mengingatnya. Kecuali sensasi hangat dan manis di bibir mungilnya, Theo amat sangat mendambakannya.