Kamis pagi, Elsa datang begitu awal di hari pertamanya bekerja. Di saat orang lain akan datang pukul 08.00, dia sudah sampai di lobi pukul 07.30.
Kebetulan Lidya sudah berada di tempat ketika Elsa datang. Jadi dia memberikan pakaian yang kemarin dipinjamkan kepadanya. Tak lupa Elsa bertanya pada Lidya tempat Direktur Yono. Karena pihak HRD hanya memberitahunya pada siapa dirinya akan bekerja, tidak dengan di lantai berapa.
"Ruangan Direktur Yono ada di lantai 49."
Elsa mengingat betul dalam benaknya, lalu bergegas menuju lift. Sialnya dia tidak tahu jika telah memilih lift yang salah. Bukan lift pekerja, melainkan lift khusus presdir.
Lidya yang melihat Elsa ingin mengingatkannya, tapi sebelum ia meninggalkan posnya, siluet pria tampan mengenakan tuxedo hitam baru saja melewati pintu perusahaan. Dengan langkah kakinya yang tegas, rahang yang menawan, serta tatapan sedingin malam. Lidya terpaku di tempat dan hanya bisa memberi hormat.
"Pagi, Presdir Theo!"
Theo hanya menggerakkan pupil hitamnya untuk melirik Lidya. Tanpa menghentikan langkah kakinya, ataupun sekadar melambat untuk menanggapi sapaan tersebut. Dengan ekspresi yang dingin dia berjalan menuju lift.
Walau demikian, dapat membuat Theo melirik ke arahnya, Lidya sudah sangat senang dan bangga. Bagaimana tidak, pria yang menjadi idola seluruh wanita ibukota itu menganggap keberadaannya. Bahkan model atau artis pun belum tentu mempunyai nasib sebaik dirinya.
"Sudah tampan, kaya, berkharisma pula ...." Lidya memandang Theo dengan kagum. Matanya berbunga, membayangkan jika nanti akan ada satu pria seperti bos-nya itu yang mau menjadi miliknya.
Hah...
"Sayangnya semua hanya khayalan," ucap Lidya sambil menghela nafas. Dia lalu kembali mengingat tentang Elsa, wajahnya langsung membeku.
"Oh tidak! Elsa ...."
...
Di lift khusus presdir.
Elsa telah menekan tombol lantai angka 49 sebanyak dua sampai tiga kali. Tapi seolah tidak berfungsi, pintu lift tidak juga tertutup. Hal ini membuat Elsa sempat berpikir jika lift ini bermasalah, sampai sosok pria berkulit sawo matang berpenampilan klimis berdiri di depan pintu lift dengan tatapan buas.
"Apa yang kamu lakukan?!" Suara bariton pria itu menyebabkan telinga Elsa berdengung.
Elsa spontan menutup kedua telinganya, baru setelah itu secara bertahap mengangkat wajahnya. Ia cukup terkejut saat melihat sosok pria yang tidak asing.
Ya, dia adalah Hanz.
Tampak juga keterkejutan di wajah Hanz saat melihat wanita culun di depannya. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pada saat ini suara dering ponsel membuatnya memutar kepala ke belakang.
Theo yang berdiri di belakang Hanz sedang berbicara serius di telepon, dia memberi tanda dengan lambaian tangan pada Hanz lalu memasuki lift.
Hanz langsung mengerti, dengan segera mengeluarkan ID card.
Elsa membelalakkan mata melihat Hanz yang berhasil menjalankan lift setelah menggesekkan kartu di tangannya.
"Apa memang harus menggunakan kartu untuk menjalankan lift? Kenapa aku tidak punya?" Elsa menggaruk tengkuk kepala dengan bingung. Tatapan matanya sekali lagi mengarah pada dua sosok pria di lift yang sama dengannya. Entah kenapa ada semacam aura penekanan yang nyata dari keduanya. Terkhusus pria yang sedang berbicara di telepon.
Elsa sungguh tidak tahu jika satu dari dua pria yang berada satu lift dengannya adalah bos tempatnya bekerja. Theo Sander! Sementara pria berkulit sawo matang berwajah datar adalah asistennya, Hanz.
Dalam kurun waktu ini, Elsa terus memejamkan mata. Dia merasa sesak dan pengap karena berada satu petak ruangan dengan dua pria arogan. Elsa mulai memejamkan mata dan berharap segera sampai di lantai 49.
Dan begitu begitu pintu lift terbuka, Elsa bergegas lari keluar meninggalkan Theo dan Hanz.
Theo sama sekali tidak mempermasalahkan kejadian ini, membuat Hanz mengernyitkan kening dengan heran. "Tidak biasanya Tuan menerima kehadiran wanita di dekatnya. Apa ini termasuk kemajuan?" batinnya.
...
"Di sini rupanya meja kerjaku," ucap Elsa sembari melangkahkan kaki memasuki ruangan. Tatapan matanya tertuju pada sebuah meja yang ada di sebelah kanan. Tidak besar, tapi terlihat elegan.
Elsa masih sibuk mengagumi tatanan ruangan ini yang terlihat sejuk, pintu terbuka memperlihatkan seorang pria setengah baya yang berjalan sambil menenteng sebuah tas hitam.
"Oh, kamu pasti sekretaris baru itu," ucapnya dengan senyum ramah. Tak lupa dia memperkenalkan diri, dan namanya adalah Yono Wibawa.
"Selamat pagi, Direktur Yono!"
Direktur Yono mengangguk sekilas, lalu meletakkan sebuah berkas ke meja Elsa. "Tolong rapikan dan kamu fotocopy. Setelah itu letakkan saja di atas meja."
Elsa menatap tumpukan berkas itu dan mengangguk. Direktur Yono lalu pergi dengan membawa sebuah map coklat setelah meletakkan tasnya di kursi kerjanya.
"Ini adalah tugas pertamaku ...." Elsa melakukan tugas yang diberikan oleh Direktur Yono. Tidak sulit, hanya merapikan dan membuat salinannya. Itu juga sudah ia lakukan saat masih bekerja sebagai dosen.
30 menit kemudian Direktur Yono kembali. Dia tidak lagi membawa map coklat, melainkan berganti dengan beberapa lembar kertas. Entah apa isi kertas di tangannya, Elsa yang sudah menyiapkan kopi segera menyuguhkannya.
"Direktur Yono, ini berkas yang Anda minta."
Direktur Yono menatap berkas yang sudah disalin oleh Elsa, matanya tidak bisa lepas dari secangkir kopi yang disuguhkan kepadanya.
"Kamu bisa pelajari berkas-berkas terdahulu yang ada di meja kerjamu. Jika ada yang tidak kamu mengerti, bisa bertanya padaku." Sambil menunjuk ke tumpukan berkas, Direktur Yono mulai menyesap kopi yang dibuatkan Elsa.
Baru satu seruput, matanya langsung terbuka sempurna. Direktur Yono mengangkat cangkir kopi itu dan wajahnya terlihat rumit.
Elsa yang melihat sontak bertanya padanya, "Direktur Yono, apa kopinya tidak enak?" Ada ketakutan saat dia mengatakannya.
"Tidak, tidak. Ini sangat enak. Bahkan ini adalah kopi ternikmat yang pernah saya rasakan."
"Bagaimana kamu tahu jenis kopi favorit saya?" lanjut pria itu bertanya dengan penasaran.
Elsa menghembuskan nafas lega mendengarnya. Sebelumnya, saat dia ingin membuat teh di pantry, iseng bertanya pada rekan kerja lain tentang minuman yang disukai Direktur Yono.
Salah satu rekan kerja memberitahu jika Direktur Yono sangat suka kopi arabika tanpa gula. Tidak terlalu panas, tapi juga tidak dingin.
...
Waktu berlalu, tidak terasa sudah masuk jam makan siang. Elsa masih mempelajari berkas-berkas lama yang ada di atas meja. Sementara Direktur Yono telah keluar 30 menit yang lalu, setelah mendapat sebuah panggilan telepon dari seseorang.
Jika diingat, wajah Direktur Yono berkeringat dingin saat berbicara. Tampaknya orang yang berbicara dengannya memiliki kedudukan yang tinggi. Mungkin itu adalah bos tempat ini.
Elsa tidak mau banyak berpikir, sambil mengedikkan bahu dia meletakkan berkas di tangannya dan mengambil satu berkas lain di meja.
Tepat pada waktu ini Direktur Yono masuk ruangan dan berjalan ke meja kerjanya.
"Elsa ...." Pria paruh baya itu berdiri dan memasang wajah yang serius.
Sontak hal ini memicu rasa khawatir dalam diri Elsa. Dalam hati dia mulai berpikiran macam-macam.
Apa aku melakukan kesalahan?
Apa mungkin aku akan dipecat?
Elsa memberanikan diri menatap Direktur Yono, lalu bertanya dengan hati-hati padanya. "Direktur Yono, apa ada yang salah?"
Direktur Yono masih menatap Elsa, bibirnya perlahan terbuka. "Presdir meminta kamu datang menemuinya. Datanglah ke lantai 55."