Tiba-tiba Acha memaksa ingin menimang bayi mungil itu berada di pangkuannya. "Ehh, jangan—"
"Sini, biar Acha aja, bisa kok!" elak Acha protes.
Om Yogi pun pasrah padahal ia melarang ada sebabnya. "Dasar anak zaman now, keras kepala kaya batu di kali!"
"Masa sih? Yang penting imutz lah Om, Tante Nia ke mana?" tanya Acha mencari-cari.
"Lagi jemur baju di belakang, kebetulan kamu—"
"Kok! Kaya bau pesing, ya?" tanya Acha membaui ke segala arah.
Tawa nyaring terdengar seketika. "Hahaha, kebetulan Om mau ganti baju padahal udah mandi loh, tinggal Decha aja yang belum," jelasnya menahan tawa.
"What?! Jadi?" Acha membaui tubuh mungil yang didekapnya. "Om Yogi kok gak bilang sih?!" teriak Acha.
Om Yogi terkikik bangkit sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Tadi Om udah larang, tapi kamu ngeyel pengen gendong Decha, hahaha!" cekikiknya seraya berlari menuju kamar di lantai atas.
"Om Yogi ...." Ditatapnya wajah mungil tak berdosa itu, menggeliat manja dan mengedipkan mata.
"Ihhh, kamu ngejek kakak, ya?" sebal Acha tak terima.
"Acha? Pantesan berisik, ada kamu, ya!" ucap Nia membawa handuk kecil di tangannya.
"Om Yogi gak bilang kalo Decha pipis di celana, belum mandi pula!" ungkap Acha sebal.
"Hahaha, yaudah kamu mau mandi bareng sama Decha, yuk!" guraunya.
"Ihhh, barusan aku udah mandi loh, nih bawa!" ketus Acha menyerahkan Decha ke pangkuan Ibunya.
"Yaampun, Decha sayang liat kak Acha jahat, ya?"
"Lebih jahat om Yogi, gak ngasih tau Decha belum mandi!" balas Acha mengendus bajunya dan ternyata harum wangi pesing bayi.
"Ahhh ...." Acha berlari menuju rumahnya membuat Nia kembali tertawa cekikikan.
***
Setelah selesai untuk ketiga kalinya Acha mandi, kini sepi benar-benar ia rasakan sendiri di rumah yang siapapun beranggapan penghuninya bahagia—sofa cantik dan mahal menghiasi, tak lupa guci antik peninggalan atau pemberian menjadi daya tarik ruang tamu di sana.
Namun, Acha hanya bisa meringis melihat semua keadaan yang nyata. Ayahnya pulang sangat jarang, jika sudah waktunya takkan ada hari luang entah alasan apa semenjak tiga bulan ke belakang menjadi berubah.
Suara bel rumah menggema, menandakan ada seseorang yang menunggunya untuk cepat membuka. Acha pun berlari menuruni tangga setelah beberapa menit lalu diam selonjoran menatap ruang tamu kosong.
Dibukanya perlahan ternyata Dinda dengan semangkok sup yang masih mengepul dan harum. "Tante! Padahal masuk aja, ih!" ucap Acha sebal.
"Hehehe, belajar jadi tamu yang sopan kali-kali," cengengesnya.
Merekapun menuju dapur yang sama glamor oleh banyaknya benda klasik dan unik milik Sinta, karena ia notabenenya penyuka barang langka walaupun mahal ia akan mengeluarkan berapapun. Seperti sebuah cangkir kecil terukir tanda tangan asli pembuatnya, rela membelinya seharga satu unit mobil miliknya.
"Devid ada, Tan?"
Dinda menjawabnya ragu, "Tadi, dia bilang mau latihan renang. Ada turnamen kalo gak salah."
"Ohh, yaudah nanti malem aja, ya, aku ke rumah, soalnya ada yang belum diselesaikan buat party," jelas Acha.
"Nanti kamu tinggal masuk aja, ya, tante ada urusan mau nganterin pesanan."
"Ok!" Dituangkannya sup pemberian Dinda ke sebuah mangkok bening, Acha pun cepat mencucinya.
"Lagian, nanti ada om Prabu," ucap Dinda saat Acha mulai mengeringkan mangkok.
"Kok gak disambut, sih? Biar Acha aja yang anter pesanannya kalo gitu," tawar Acha.
"Gak usah, kamu di rumah aja," tolak Dinda seraya mengambil mangkoknya yang telah kering setelah dicuci oleh Acha.
"Tante suka gitu, ih!" sebal Acha.
"Kamu tuh, ya! Ngegemisin tau kalo mukanya dijelekin!" seru Dinda dan mencubit sebelah kanan pipi Acha.
"Ihhh, Tante! Udah, ah, makasih supnya, tapi dimakannya nanti, ya. Hehehe."
"Huh! Pantesan krempeng tuh badan," gurau Dinda dan berlari untuk menghindari serangan dari Acha yang pastinya sama seperti Devid yaitu gelitik bikin perut nahannya sakit.
"Tante Dinda!!" jerit Acha tak terima, tetapi ia merasa bahagia bisa tertawa.
Kembali sepi. Acha menutup pintunya rapat dan beranjak menuju kamarnya di lantai atas tanpa tenaga. "Kenapa harus sepi, sih?!" teriak Acha menggema.
Ia menjambak rambutnya yang sebahu kesal. Foto keluarga terbingkai indah sangat jelas ditatap Acha dari atas tangga, suara isakan pun terdengar pilu, merindu.
"Ayah ... pulang, kapan? Mama kenapa kerja mulu?" gumamnya pelan.
Acha memilih ke kamarnya lagi mendekap boneka kesayangannya, masih dengan tangisan rindu sampai ia pun tertidur.
***
Keluar dari sebuah rumah yang nampak sunyi dan bersih dari luar. Jam tangan milik Devid menunjukan pukul 18.15 WIB dengan cepat mengendarai motornya tak lupa bungkusan entah apa isinya ia simpan rapat di saku dalam jaket hitamnya.
Senja mulai nampak warnanya, Devid beranggapan pasti ayahnya pula sudah pulang dan ternyata benar di pekarangan depan rumahnya terparkir mobil hitam khusus TNI, tetapi bukannya memarkirkan di sebelah Devid malah menjauhi rumahnya menuju rumah Acha.
Devid mengerutkan keningnya dalam, karena lampu luar masih belum dinyalakan, ia pun segera masuk ternyata di dalam pun sama gelapnya.
"Changcuters, Acha?" teriaknya masih tak ada jawaban.
Pintu kamar Acha sedikit terbuka, Devid pun memasukinya ternyata Acha sedang tidur terbalut selimut tebal. Hanya kamar Acha ternyata yang terang.
"Cha," panggil Devid menggoyangkan pundak Acha.
"Hmm," gumam Acha meregangkan ototnya masih terpejam.
"Udah jam enam, nih! Lampu belum dinyalain kayak rumah kosong, tau!"
"Nyalain, dong, berisik gua mau tidur," balas Acha menutupi wajahnya dengan boneka Doraemon.
"Hadeuhh." Devid pun bergegas menuju saklar lampu dari halaman depan sampai belakang dan ruang tengah. Saat matanya tertuju ke mangkok yang berisi sup, perutnya langsung berbunyi mengharap diisi.
Dicicipinya sedikit. "Buatan mamih gua, nih," gumamnya segera menambahkan dua centong nasi ke dalam mangkok supnya.
"Bangun, Bos .... Makan dulu, nih!" teriak Devid membangunkan Acha.
"Gak lapar," jawabnya.
Devid menyimpan mangkoknya di atas nakas dan menyibak paksa selimut yang menutupi separuh badan mungil Acha sampai tersingkap.
"Ihhh. Ngapain, sih?" murka Acha masih menutupi wajahnya dengan boneka.
"Makan! Lo kenapa?" tanya Devid bingung dari tadi wajah Acha ditutupi mulu.
"Gak, lo pulang aja sana! Katanya ada om Prabu. Gua ketiduran, lagi sendirian pastinya, soalnya tante Dinda pamit mau nganterin pesanan pelanggan," jelas Acha.
Devid merebut boneka yang menutupi wajah Acha, seketika Acha terkejut. "Devid!!"
"Lo nangis?" tebak Devid menatap kedua mata Acha yang terlihat bengkak berwarna merah.
"E—enggak!"
Jemari Devid mengusap pelan sebelah mata kanan Acha. "Cerita ama gua, kenapa?"
Merasakan sentuhan Devid membuat Acha gemetar, tangisannya pun tumpah kembali. Devid mendekapnya erat sambil menghirup aroma wangi stroberi rambut Acha yang khas.
"De—def—"
"Hemm, cerita aja, gua selalu ada buat lo."
Acha menggeleng pelan masih sesegukan. "Kenapa hidup gua sesepi ini, Dev?"
Devid terdiam, dan berucap pelan, "Masih banyak di luar sana yang lebih menderita, Cha, elo bukan termasuk. Liat, harta lo melimpah, semua bisa dibeliin apapun! Sedangkan mereka tak punya segalanya."
"Syukuri, Cha, meski elo merasa paling menderita."
Acha mengurai pelukannya menatap nanar Devid sahabat dari kecilnya. "Thanks, gua laper, Dev," cengenges Acha mengelus perutnya.
"Gua lagi ceramah, dasar kucrut!"
Tawa Acha menggema di kamarnya ia bersandar di bahu lebar Devid. Satu suapan berhasil dikunyah Acha, Devid pun demikian. Mereka makan dalam satu mangkok dan sendok.
***
"Devid! Di mana letak kesopananmu kepada ayah?" tanyanya. Semua penghuni rumah telah tidur termasuk Acha di kamar tamu.
"Kesopanan?" tanyanya balik menghadap ayahnya.
"Kamu sudah dewasa, belajarlah menghargai orangtua sendiri!"
Divid tertawa kering. "Saya tidak mencintai anda, seperti ibu saya! Tergila-gila meski telah dikhianati, pula!" Beranjak menaiki anak tangga dengan cepat membuat Prabu menahan amarahnya sejak satu tahun yang lalu ia merasakan kembali keegoisan anaknya.
Itulah alasannya mengapa ia sangat malas pulang ke Bandung, tatapan mata Devid seolah menilaninya sebagai monster paling jahat. Padahal, ia telah menjelaskan bahwa lelaki kemungkinan akan sepertinya, bisa juga kepada anaknya, yang terjadi Devid membanting vas bunga ke lantai.
"Saya tidak sehina itu!!"
Prabu memasuki kamar tidurnya, di dalam istrinya sudah memunggungi terlelap dalam mimpi.