06

964 Kata
Acha masih menggerutu tak jelas, sampai di perempatan jalan ia bingung mau melanjutkan untuk melihat sekolah barunya yang di sebelah kanan atau ke kiri kembali pulang. Terpaksa Acha pun menepi, menunggu Devid yang ada dipikirannya itu pasti masih saling bertukar candaan menggoda. "Modal muka doang! Emang gua gak bisa, tapi lewat prestasi bisa, dong!" sebal Acha sembari duduk di bangku kayu yang ada di sana. "Woi, main ninggalin gua gitu aja!" teriak Devid menghampiri Acha. Pandangan Acha pura-pura tak menyadari kedatangan Devid, ia pun berbicara seolah berbisik kepada sepedanya, "Murahan banget, ya, ke semua cewek digombalin, kayak tukang cengcimen!" Devid yang mendengar mendengus tak terima. "Sirik bilang, Bos!" balasnya yang kini telah duduk di samping Acha. "Hah? Emang gua tahu bulat digoreng dadakan lima ratusan!" "Terus gua harus bilang wow, biar lo tau tahu bulat itu enak?!" "Bacot!" balas Acha mendekap kedua tangannya di d**a, tak lupa bibir mungilnya maju ke depan. Tepukan ringan mendarat di pundak Acha. "Mau liat SMA Garuda?" tanya Devid. "Gua gak pernah ke jalur itu, jadi gak tau berapa meter," ucap Acha masih menatap jalanan yang ramai oleh kendaraan. "Bener juga sih, gimana kalo balik dulu? Nanti pake motor gua aja," saran Devid menelengkan kepalanya ke arah muka Acha. "Itu bibir jangan dimonyongin gitu dong, tau rasa kalo gua cium," gurau Devid terkikik. Satu tamparan singkat tepat di dahi berhasil membuat Devid meringis karena ulah Acha. "Ad—duh! Lo napa sih? PMS, hah?!" kesal Devid mengelus dahinya. "Cium pala lo peang! Ide baguslah kita pulang," balas Acha bangkit dari duduknya kembali menaiki sepeda. "Kalo ide bagus harusnya dicium, bukan ditabok," goda Devid sembari merapikan rambutnya ke belakang. "Cium aja rumput yang bergoyang!" Kedua kalinya Acha meninggalkan Devid sambil bersiul ria. "Heh! Tungguin dong!" Mereka saling kejar-kejaran menuju rumah yang tak jauh dari sana. *** Devid segera menyalakan motornya dari garasi sedangkan Acha menyimpan sepedanya ke depan halaman rumahnya yang sepi karena mamanya masih belum pulang. "Cepetan, Acha!" teriak Devid sudah siap dengan helm yang membuat kadar kegantengannya semakin meningkat. Acha pun berlari memakai helm yang diberikan Devid. "Berangkat!!" Di perjalanan mereka benyanyi ria mengalahkan bisingnya suara kendaraan dan dinginnya udara kota Bandung. "Ternyata jauh, ya?" tanya Acha. "Iya! Padahal SMA itu katanya yang paling deket ama komplek kita," balas Devid. Dari kejauhan sudah terlihat gapura bertuliskan SMA GARUDA  berwarna abu muda tak lupa ciri khas batu hitam putih menandakan peninggalan bangsa Belanda. Banyak para siswa ternyata yang hilir mudik di depan aula, karena memang Acha dan Devid menepi pada waktu jam istirahat. "Ke cafe yang tepat di depan gerbang aja, ya?" "Iya!" balas Acha tatapannya masih ke gedung tua yang akan menjadi sekolahnya nanti. Setelah Devid memarkirkan motornya di tempat khusus, mereka menuju tempat duduk yang kosong di luar—otomatis semua mata memandang heran karena tanpa memakai seragam. "Perasaan semua cewek liatin gua, deh," ucap Devid kepedean. "Matanya buta kali," balas Acha. Devid membalasnya dengan senyum miring. Kedua bola mata Acha menangkap sosok yang ia kenal lewat media sosial, yaitu ketua OSIS, Alex Andrian. Membuat Acha tak berkedip dibuatnya. Tubuh atletisnya terbalut jas hitam polos dengan sebuah logo berwarna biru lambang SMA Garuda tepat di sebelah kiri d**a bidangnya. Tak lupa senyuman manis dan mata sipit itu semakin membuat Acha tergila-gila oleh boneka baru pujaan hatinya. Keajaiban ciptaan Tuhan kembali membuat Acha tegang, ternyata ketua OSIS itu memiliki dua lesung pipi meski tak cukup dalam. Seorang gadis yang mungkin seumuran pula memakai jas yang sama berdiri di samping Alex menebar senyuman menawan. Rambutnya tergerai manja di bahunya yang ramping, rok selututnya membuat penampilan yang memang cantik—siapapun akan beranggapan jika wanita itu pacar dari ketua OSIS ganteng. "Siapa tuh, cewek?" celetuk Acha lupa bahwa ada Devid di sampingnya. Devid yang membalas satu persatu calon kakak kelasnya nanti sempat mendengar ucapan Acha yang kelewat pelan seperti berbisik. "Cewek mana?" tanyanya. Acha berkedip cepat. "Ce—cewek yang lu senyumin!" jawab Acha cepat dengan mata yang dibuat-buat berbinar senang. Kerutan di kening membuat Acha menggaruk tengkuknya dalam. "Napa sih?" "Enggak!" "Aneh!" "Elo!" "Juga!" "Bac—" "Anak mana, Bro?" tanya seorang pria berseragam SMA pastinya logo sekolah yang di depan mereka memotong ucapan Acha. Acha dan Devid saling berpandangan bingung harus menjawab apa. "SMA Jaya, ya?" tebaknya masih berdiri menghalangi pandangan Acha menuju Alex. "SMP Merdeka," jawab Devid seraya berdiri dan mengajak berjabat tangan. "Calon SMA ini juga!" tegasnya tersenyum miring. "Ohh, gua kira lu berdua mata-mata dari sekolah tetangga," balasnya menjabat tangan Devid dan menarik memeluknya bersahabat. "Bukanlah." Menguraikan pelukannya. "Pacarnya, Bro?" tanyanya kembali. "Temen, tertarik?" canda Devid diakhiri tawa keringnya. "Hahaha, lumayan," jawabnya. "Gua Haris kelas sebelas IPA 2," ucap Haris memperkenalkan dirinya. "Pastinya ketua gank, ya?" tanya Acha. "Nanti juga kalian tahu kalo udah masuk, nama kalian?" "Gua Devid dia Acha." "Ok salam kenal, ya, gua tunggu kedatangan kalian!" serunya membuat semua orang yang ada di sana menatap mereka berdua. "Iya, Kak," balas Devid. Haris pun kembali ke dalam cafe itu ternyata ia dibuntuti lima orang yang wajahnya seperti jagoan kelas kakap. Namun dilihat-lihat Haris lumayan ganteng, meski terdapat bekas luka tepat di sebelah kiri pelipisnya, bibirnya sedikit menghitam juga dan kedua tangannya sangat kekar. "Kok, jadi pada liatin kita, Dev!" "Udah pulang aja, yuk! Nanti juga waktu daftar bisa keliling seenak hati," saran Devid mulai merapikan kaosnya. "Cabut!" Di perjalan pulang mereka masih terdiam membisu  sampai Acha sendiri yang memecahkannya dengan bertanya. "Maksudnya lumayan itu, apa?" "Lumayan bohay," gurau Devid diakhiri tawa nyaring. "Ihhh!" Acha mencubit kecil pinggang Devid. "Aw! Lu mau oleng nih motor?" teriak Devid. "Makanya kalo ngomong yang bener!" ketus Acha. "Mana ada cowok demen ama yang tepos? Jadi lo ada lumayannya." "Heh! Terserah body gua dong mau tepos, kerempeng, langsing yang penting hidup!" "Bodo!" Acha mendelik sebal menggerutu tak karuan. *** Tanpa sepengetahuan Acha karena ia terburu-buru masuk ke rumah meninggalkan Devid yang masih bersama motornya. "Sorry Cha, gua bohong ama lu," gumam Devid ia pun kembali menyalakan motornya entah akan pergi ke mana. Acha segera ke kamar mandi merasa gerah body, hanya lima belas menit Acha pun bingung akan berbuat apa. "Gua ke Debay aja, ah!" seru Acha berlari menuju rumah Om Yogi. Sangatlah beruntung ketika Acha sampai di sana, Decha berada di pangkuan Om Yogi yang sedang berjemur matahari pagi padahal akan beranjak siang. "Decha, unyu ...!" "Ehh, Neng Acha," balas Om Yogi sumringah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN