01
Acha Sastro Marisa. Ia adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang sangatlah menyayanginya, meski setiap bulan selalu ditinggal bertugas pergi ke luar kota oleh keduanya—di sisi lain ada dua tetangga dengan hati yang baik dan ramah bisa menampungnya.
Sebelah kanan ada Om Yogi dengan sang istri Nia yang sedang mengandung anak pertama mereka, sedangkan di sebelah kiri Devid Prabu Androno anak remaja yang seumuran dengan Acha, keluarga mereka sangatlah dekat walau tak ada ikatan kerabat.
Sifat Devid yang membuat siapapun nyaman dengannya, membuat Acha yang ditinggal kedua orangtuanya bekerja akan selalu memilih menginap di keluarga Prabu Hidra Androno.
Devid dan Acha saling mengenal sejak kecil, karena kedua orangtuanya yang sudah menempati kompleks setelah menikah, jadilah tetangga ramah dan anak yang seumuran lahir ke dunia.
Suara tawa terdengar menggema di ruangan keluarga milik Devid.
"Dev! Lo mau nerusin sekolah ke mana?" tanya Acha masih khusyuk dengan cemilan di tangannya.
"Yang deket ajalah, ngapain jauh-jauh juga!"
"Gua ngikut aja dah, daripada gak bisa nebeng kalo ban sepeda gue kempes. Hahaha."
Delikan mata Devid menajam. "Dari TK juga lo itu cuma manfaatin gua doang, Changcut!!"
"Stop, ya! Panggilan lo itu harus dihapuskan! Nama gua Acha bukan Changcut, Devid!" teriak Acha sebal.
"Suka-suka gua, dong!" balas Devid cengengesan.
"Jangan berantem mulu, kan mau masuk SMA masih aja kaya anak kecil," ucap Dinda mamanya Devid.
"Devid yang duluan, Tante!"
"Tapi udah biasa, Chang—"
"Stop!! Nyebelin banget sih, lo!" potong Acha dan berlari menuju Dinda yang sedang membuat kue bolu pesanan pelanggannya.
"Hahaha, biarin!" Devid menyusulnya tanpa rasa ingin berhenti membuat Acha marah.
"Changcuttersss ...," bisik Devid tepat di belakang telinga Acha.
"Devid!!!" teriak Acha membuat Dinda hanya bisa menggelengkan kepala melihat kebiasaan kedua anak remaja itu.
"Kabur ...." Devid dengan cepat berlari menuju kamarnya di lantai atas. Acha tak tinggal diam ia dengan kemarahan menggebu mengejarnya.
"Dari kecil gak pernah pada diem, kalo sepi pastilah mereka tidur," gumam Dinda sembari memarut cokelat batang.
****
"Sini kucrut! Lo mau gue gelitikin biar diem, hah?" tantang Acha dengan serangan ampuhnya.
"Changcut, lo bilang?"
"Berisik, Devid!!! Mau lo apasih?!"
"Gak ada, tidur aja, yuk!" ajak Devid mengalihkan pembicaraan.
"Gua lagi marah, malah ngajak tidur! Damang, Mamang?"
"Rampes, Nyai," jawab Devid dengan logat sunda sembari menundukkan kepala.
"t*i kuda, lu!" cengenges Acha mulai memudar kemarahannya.
Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar, terbaring di ranjang besar milik Devid, suara kendaraan di malam hari menjadi bisu seakan pikiran mereka melayang menuju mimpi yang harus digapai.
"Cita-cita lo, masih sama?" tanya Devid tanpa mengalihkan pandangannya.
"Jadi novelis, perangkai aksara, dikenal dunia," jawab Acha semangat diakhiri senyuman kecil.
"Dan gua, jadi reporter yang pertama kali ngabarin, cewek jelek yang sahabatan sama cowok paling keren, si novelis biasa dipanggil, Changcut! Terlahir sebagai novelis terkenal di zamannya," jelas Devid.
"Aamiin, tapi gua gak suka lo sebutin tuh nama panggilan! Mau ditaro di mana nih muka? Dan! Gini-gini gua banyak yang naksir, tuan Reporter!" komentar Acha menekan kata-katanya tak suka.
"Tapi kan itu sejarah, Chang, mana bisa gua hapus dari ingatan."
"Makanya dari sekarang rubah, Acha sayang, Acha imutz, Acha keren! Gak susah amat kali ...."
Devid menyampingkan tubuhnya yang tegap dan berotot menghadap Acha. "Bodoamat!"
"Bacot!" balas Acha menjulurkan lidahnya mengejeknya.
"Sana pulang! Mau tidur gua," usir Devid.
Raut wajah Acha murung. "Mager, gua nginep aja, ya?" pinta Acha matanya menatap Devid dengan sayu.
"Terserahlah!"
"Makasih! Gua tidur, ya!" Kecepatan super, Acha merebut selimut tebal milik Devid dan memunggunginya.
"Tante Dinda!! Aku mau nginep!" teriak Acha masih di dalam selimut tebalnya.
"Telinga gua mau pecah, b**o! Turun sana, entar kalo mama lo datang gimana?"
"Bilangin, Dedev sayang," cekikik Acha.
"Sayang onta, lu!" Devid sama-sama memunggungi Acha sampai ruangan itu senyap tanpa suara. Mereka tertidur dengan nyaman bersama menggapai mimpi, hanya jangkrik malam yang terdengar menemani.
***
"Bangun, kebo!! Jam berapa, nih!" teriak Devid membangunkan Acha yang masih terlelap.
"Ehmm, jam berapa, Dev?" tanya Acha.
"Enam!"
"Hadeuhh masih lama, atuh! Gimana, sih!"
"Sekarang senin, upacara b**o!"
Mata yang tadinya terpejam dengan cepat terkejut melotot, Acha melirik jam beker yang ada di nakas.
"Astaga! Jangan tinggalin gua, Dev!" jerit Acha sembari cepat-cepat menuruni tangga tanpa pamit kepada Dinda yang sedang menyiram bunga.
"Tidur duluan, bangun kesiangan! Dasar Changcuters," gumam Devid mulai merapikan ranjangnya karena ulah Acha.
****
"Ma! Acha kesiangan ... makannya nanti aja, ya!"
Sinta hanya bisa menghembuskan napas kasar. "Makanya tau waktu! Kapan tidur sama bangun, begadang, ya?"
"Enggak! Acha cuma males bangun, hehehe," cengengesnya dengan tergesa-gesa memakai sepatunya.
"Neng Acha, buru-buru amat! Biasanya juga siang!" ucap om Yogi di tamannya.
"Senin, Om! Mau upacara!" balas Acha.
"Hahaha, pantesan!"
"Mari Om duluan, Ma! Aku berangkat!"
"Hati-hati, Sayang," balas Sinta dari dalam.
"Jangan ngebut, Neng."
"Siap atuh Om, hehehe." Digoesnya sepeda gunung milik Acha, di depan sudah terpampang wajah tampan dan gagahnya Devid menatap jam tangannya kesal.
"Lama banget! Kalo kesiangan gimana?" kesal Devid mensejajarkan sepedanya dengan Acha.
"Salah sendiri! Bangunin gua waktu lo udah mandi!"
"Heh! Yang salah elu! Jam beker di samping masih aja tuli, kebo lu!"
"Bacot! Kebut aja!" teriak Acha mengalahkan bisingnya suara kendaraan yang hilir mudik mengantarkan anak sekolah.
"Siapa takut!!" Devid dengan cepat menggoes kecepatan tinggi.
****
"Jangan ...!" Serempak mereka berdua berteriak, membuat satpam yang akan menutup gerbang sekolah terkejut dan membukanya kembali dengan cepat.
"Hampir!" ucap Acha masih ngos-ngosan.
"Bahaya! Bau keringat gua," terkejut Devid sambil mengipas-ngipas bajunya dengan tangan dan menyisir rambut hitam legamnya ke belakang.
"Lebai banget!" sewot Acha dan berlari munuju kelas meninggalkan Devid.
"Anjir! Ditinggalin lagi!" Dikejarnya Acha sampai terdengar suara toa memanggil mereka berdua.
"Acha! Devid! Cepat atau akan dihukum!!"
"Iya, Pak ...!" teriak mereka.
Kegiatan yang rutin setiap senin dilakukan telah tuntas, semua murid bubar dengan kebahagiaan kecuali untuk kelas sembilan yang akan menghadapi ujian nasional.
"Kami harap, kalian bersungguh-sungguh mengerjakan semua soalnya! Dan, jangan sampai ada yang telat lagi seperti waktu geladi bersih, mengerti!?"
"Mengerti, Pak ...."
"Apa perlu saya ingatkan kepada langganan kesiangan?!"
Semua mata tertuju kepada Acha dan Devid. "Maaf, Pak," ucap serempak si tersangka.
"Baik. Semoga kalian mendapat nilai yang sangat memuaskan!! Silakan kembali ke kelas!"
Semua bubar dengan terburu-buru karena cahaya matahari yang membuat siapapun tak nyaman di bawahnya.
"Emangnya kita doang yang suka kesiangan, Dev?" heran Acha.
"Santai ajalah, Chang, berapa minggu lagi kita lulus, ya 'kan?"
"Hahaha bener tuh! Ngapain dipikirin nih sekolah terkutuk!" celetuk Acha tanpa pikir panjang.
"Sekolah mana yang terkutuk?!" Suara dingin membuat Acha dan Devid mematung tak mampu menjawab.
****
"Changcuters ... semua gara-gara, lo! Bacot amat tuh mulut!" kesal Devid masih menggosok wc khusus pria.
"Heh! t*i kuda, elo yang duluan ngajak ngomong, jadinya gua terpancing, deh!"
"Elo yang nanya! Makanya punya mulut jaga! Gimana mau jadi novelis!"
"Anjir! Jangan bawa-bawa mimpi gua, ya!"
"Emang fakta!"
"Bac—"
"Kenapa kerjanya pake ngomong?! Mau saya rendang? Bisa tidak fokuskan pada satu tujuan!" jelas seseorang yang berhasil mencyduk mereka tadi.
"Ma—maaf, Pak," jawab Devid gemetar.
"Kamu, Devid! Jaga ucapanmu."
"Kok saya, Pak? Kan Chang—ehh! Acha yang ngomong sekolah terkutuknya," jelas Devid tak terima.
"Chang?! Apa yang kamu maksud! Itu adalah perkataan kotor yang tidak pantas diucapkan anak sekolah! Mengerti kamu?!"
"I—iya, Pak."
"Hahaha!"
"Kenapa kamu tertawa, Acha?!"
"Eh—enggak kok, Pak."
"Kerjakan dengan cepat! Karena kalian masih harus belajar!"
"Iya, Pak ...," jawab mereka lesu.
Setelah terlihat tak nampak lagi guru yang menghukumnya, Acha melangkahkan kaki menuju Devid berada.
"Udah dibilangin, panggil 'Acha Imutz' malah ngelawan! Mau apa kamu? Mau saya rendang, hah?" kelakar Acha menertawakan Devid.
"Bacot!"
***
Tak terasa ulangan nasional pun telah usai, setelahnya akan diadakan party meriah bertema 'Perpisahan Harus Memisahkan' bersuka cita semua murid menyambutnya, latihan untuk atraksi telah sempurna tinggal menampilkannya saja.
"Alhamdulillah, istri saya selamat begitupula dengan anak saya!" sumringah Yogi mengabarkan kabar gembira setelah melalui kekhawatiran tadi pagi, dengan cepat Tuhan menghadirkan seorang bayi mungil lelaki pada siang harinya.
"Syukurlah, mas Yogi, kapan pulangnya?" tanya Sinta lewat telepon rumah yang dikelilingi wajah penasaran Acha dan Devid.
"Insya Allah, dua hari ke depan."
"Lama banget sih, om!" teriak Acha tak suka.
"Acha!" tegur Sinta.
"Hehehe, maaf ya, neng Acha, soalnya istri saya masih lemah."
"Ohh gitu!" respon Acha acuh.
Devid memukul kepala Acha dengan majalah keras. "Diem, lu!"
"Sakit b**o!" teriak Acha membalas dengan menggelitiki pinggang Devid.
"A—acha! Kucrut berhenti kagak!" teriak Devid mulai lemas dengan serangan Acha.
"Tau rasa lo! Digelitikin aja lemah, hahaha!"
"Tante! Tolongin Devid!!" teriak Devid masih meronta-ronta. Percuma ia mempunyai badan kekar yang terbiasa renang itu, dengan gelitikan kekuatan Devid hancur sudah. Jika waktu kecil sampai menangis terisak dibuatnya.
"Acha ...!" peringat Sinta mengulum senyum.
"Bisanya lebai lu!" ejek Acha menjambak rambut tebal Devid.
"Anjir! Sakit Changcutsss!!"
"Astaga, mereka ini, ya! Dari kecil gak bisa diem apa!" ucap Sinta menghembuskan napas kasar setelah mematikan sambungan telepon.