Siang harinya, Yana akhirnya merasa sedikit lebih baik.
Muntah darah yang dialaminya semalam disebabkan oleh efek samping obat baru yang dikonsumsinya akhir-akhir ini. Tentu saja, Kafka tidak mengetahui hal itu. Ketika dia berada di rumah sakit, Ryan Wilson berusaha membantunya menutupi kondisi sebenarnya agar tidak ketahuan.
Yana segera menghubungi dokternya.
"Sepertinya obat itu tidak cocok untukmu. Kita akan menggantinya dengan obat baru. Tapi, mungkin biayanya akan bertambah. Apakah tidak apa-apa?" tanya dokter pria di telepon.
Yana menggigit bibirnya, merasa gugup. "Apakah persentase saya bisa bertahan bisa lebih baik? Bagaimana kalau gagal lagi?"
Dengan helaan napas berat, dokter tersebut menjawab dengan ragu-ragu. "Nona Jazada, kami tidak bisa menjamin apapun selama penggunaan obat-obatan ini. Semuanya juga tergantung pada kondisi tubuhmu. Walaupun sudah dilakukan uji klinis, tetapi karena ini obat baru, kami belum tahu efek samping lainnya terhadap pasien."
Yana menjawab dengan nada lirih dan tidak bersemangat. "Baiklah, kalau begitu, saya akan mempertimbangkannya. Jika finansial saya tidak mendukung, saya memilih untuk kembali ke perawatan standar saja."
"Yana," suara dokter itu terdengar lebih akrab. "Aku sudah memberitahumu tentang perawatan khusus di Singapura. Kalau saja kamu punya lebih banyak uang..."
Kalimat dokter itu terhenti di tengah-tengah, keheningan menyelimuti percakapan mereka.
Yana tiba-tiba tertawa, mencoba terdengar ceria. "Tidak masalah, Dokter. Saya sudah bertahan selama beberapa tahun. Jika umur saya memang tidak lama lagi, apa boleh buat, kan?"
"Yana, jangan bersikap skeptis seperti itu. Aku sebagai doktermu, meski kadang merasa tidak berdaya, tapi selalu berusaha membantumu. Jadi, tolong jangan menyerah," ujar sang dokter dengan nada penuh perhatian.
Yana mengangguk, lalu mereka berbicara sedikit lebih lama sebelum akhirnya percakapan berakhir.
Infus Yana sudah habis dan dokter yang memeriksanya satu jam lalu mengatakan bahwa dia sudah boleh berjalan-jalan di sekitar mansion, asalkan tidak melakukan pekerjaan berat. Meski begitu, Yana merasa tidak enak hati, perlu tetap membantu semua orang.
Dia segera mendatangi Bibi Jelita di dapur dengan senyum lebar sealami mungkin.
“Nona Yana? Apa yang Anda lakukan di sini?”
"Bibi Jelita, aku sudah merasa lebih baik sekarang! Lihat!” ujarnya seraya menunjukkan lengan otot kanannya. “Bolehkah aku melakukan sesuatu di sini? Aku tidak ingin hanya berdiam diri saja. Bukankah sekarang aku adalah salah satu dari tim kalian?" tanya Yana dengan nada penuh harap.
Bibi Jelita menatap Yana dengan prihatin. "Nona, dokter sudah mengatakan kamu harus beristirahat dan tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Jangan keras kepala, ya? Aku mohon! Kesehatanmu lebih penting."
Yana menghela napas berat, senyumnya tetap terlihat lebar. "Baiklah, Bibi. Tapi, setidaknya biarkan aku membantu sedikit saja. Apa saja selama aku melakukan sesuatu. Aku tidak betah hanya duduk-duduk atau berbaring tanpa melakukan sesuatu. Tidak bergerak juga membuat tubuhku menjadi kaku."
Melihat semangat Yana, Bibi Jelita akhirnya tersenyum lembut. Dia merasa kasihan lagi kepadanya.
"Baiklah, Nona. Kalau kamu memaksa seperti ini, kamu bisa bantu mengelap meja atau merapikan dapur, tapi tidak lebih dari itu. Ingat, jangan sampai kelelahan. Tuan muda pasti akan memarahi kamu semua jika kamu bertindak berlebihan."
Walaupun tidak mengerti maksudnya, Yana mengangguk penuh semangat dan mulai membantu dengan tugas-tugas ringan. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, aksinya yang terlibat dalam aktivitas di dapur membuatnya merasa sedikit lebih hidup.
Ketika kedua wanita berbeda generasi sibuk di dapur, tiba-tiba saja dari arah belakang mansion terdengar suara ribut beberapa orang.
Yana mulai merasa aneh dan gelisah, mencoba untuk berjalan ke sana untuk memeriksanya. Tetapi, Bibi Jelita segera menarik sebelah tangannya.
"Nona! Mau kemana?"
“Bibi, apakah Bibi tidak mendengar sesuatu di belakang? Sepertinya ada orang yang sedang berkelahi. Aku akan memeriksanya dulu.”
Bibi Jelita tampak ketakutan, mencegahnya cepat, "Tidak, Nona! Jangan ke sana! Biarkan mereka menyelesaikan apa yang ingin mereka selesaikan!"
Yana merasa sangat aneh. Sepertinya, Bibi Jelita sudah tahu apa yang terjadi.
"Ada apa, Bi? Apakah ada pengurus rumah yang tidak akur di sini?"
"Tidak, Nona Yana! Semakin sedikit yang kamu tahu, maka semakin baik!”
"Apa maksudnya?" tanya Yana penasaran.
Dia menoleh kembali ke arah pintu belakang mansion.
Ada patio yang sangat luas di sana dengan pintu ganda besar. Di baliknya, Yana bisa melihat beberapa bayangan samar bergerak tidak karuan melalui kaca jendela samar.
Suara-suara kesakitan kembali terdengar, memekakkan telinga dan membuat buluk kuduk merinding.
Hati Yana sangat gelisah. Dia merasa tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
"Bibi, aku harus segera memeriksanya. Bagaimana kalau ada hal gawat yang terjadi?"
"Tidak, Nona Yana! Kumohon, jangan ke sana!" ucap Bibi Jelita lagi, mencoba menahannya.
Yana mencoba untuk menenangkan wanita tua di depannya. "Percayalah, kalau memang ada hal buruk, aku pasti akan segera lari terlebih dahulu."
"Tidak, Nona. Tolong, aku mohon! Tuan muda pasti akan sangat marah jika Anda sampai ikut campur dengan masalah mereka!"
“Jadi, benar kalau Bibi sudah tahu apa yang terjadi di belakang? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Bibi Jelita hanya bisa menggelengkan kepala cepat-cepat. Dia sangat ketakutan.
Rasa penasaran membuat Yana tidak bisa berhenti untuk bertanya.
"Bibi, kalau begitu kita kembali bekerja di dapur saja."
Wanita itu mengangguk senang, tersenyum lebar. Lalu, segera mengajak Yana menuju meja marmer di tengah dapur.
"Bagaimana kalau kita minum jus saja? Bukankah dengan meminum jus apel akan lebih baik untukmu?"
Yana hanya mengangguk setuju, berusaha tersenyum anggun dan manis. "Tapi, esnya sedikit saja. Perutku sepertinya belum terbiasa."
Bibi Jelita tampak bersemangat dan mengangguk cepat, segera bergerak menuju lemari es.
Di saat lengah itu, Yana melirik kembali ke arah pintu belakang mansion.
Jaraknya ada beberapa meter karena luas mansion tersebut cukup mencengangkan.
Melirik sebentar ke arah Bibi Jelita, Yana segera melesat pergi menuju pintu belakang. Begitu Bibi Jelita yang baru berbalik melihatnya, dia segera kaget luar biasa melihat wanita itu berlari dengan sangat terburu-buru.
"Tidak! Nona Yana! Tidak!” teriaknya panik, tetapi terlambat ketika Yana membuka pintu ganda itu.
Pemandangan dramatis membuat Yana tertegun kaget.
Matanya bergetar kalit melihat dua pengawal yang menjaganya selama ini sedang dicambuk oleh dua pria yang berbeda secara bergantian.
Mereka berdua berlutut dengan hanya memakai celana panjang sementara kedua tangan diikat di dua tiang, seolah-olah sedang dihukum berat karena melakukan pelanggaran berat.
Punggung polos mereka sudah merah dan penuh luka. Sepertinya, sebelum dicambuk, mereka sempat ditendang dan diperlakukan lebih buruk.
Hawa dingin menggigit Yana lebih keras di dalam hatinya.
Apa yang terjadi?
Kenapa mereka diperlakukan seperti itu?
Suara cambukannya sangat mengerikan hingga membuat hati orang yang mendengarnya bergetar ngeri. Lalu, teriakan kesakitan kedua pria itu terdengar begitu menyayat hati, tetapi sepertinya mereka bersedia dihukum karena tidak menunjukkan perlawanan apapun.
"Apa yang kalian lakukan? Hentikan!"
Yana baru menyadari bahwa ada sekumpulan pria berpakaian hitam yang mengelilingi dua pengawal tersebut. Lebih seperti sebuah tontonan di sebuah acara inisiasi kejam.
Menyadari siapa yang datang, seseorang dari mereka maju mendekat dan memberi hormat dengan sangat sopan. Dia bahkan membungkuk hampir 90 derajat, menandakan dia benar-benar menghormati wanita yang berdiri di depannya. "Nyonya Bimantara! Ada apa Anda datang kemari?"
Yana sedikit malu mendengarnya. "Aku sudah bukan Nyonya Bimantara. Kami sudah bercerai, dan apa yang kalian lakukan? Kenapa kedua orang itu dicambuk dan disiksa sedemikian rupa?”
Yana berdiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Hatinya bergetar dengan pemandangan mengerikan itu.
Suara cambukan itu masih terdengar jelas di telinganya, seolah menggema di seantero halaman belakang mansion, menjadi gema abadi yang mungkin akan menjadi trauma baru untuknya.
Dua pengawal yang selalu menjaganya tengah disiksa oleh sekelompok pria berpenampilan garang meskipun dia sudah berteriak untuk berhenti.
Apakah mereka gila?
Mereka semua memakai pakaian yang sama dengan dua pria itu. Artinya, mereka dari kelompok yang sama. Tapi, kenapa mereka menyiksa teman sendiri?
Dua pria bertubuh tinggi dan besar dengan brutal terus mencambuk punggung kedua pengawal yang berlutut di lantai.
Yana meringis kasihan melihatnya.
Mungkin karena menyadari hal itu, pria yang berhadapan dengan Yana segera menjentikkan jari di udara, memberi kode untuk berhenti.
Pria itu sepertinya adalah pemimpin dari kelompok tersebut. Dia kembali berkata dengan sopan kepada Yana, meskipun kesan menakutkan masih melekat pada wajahnya yang dingin.
"Maafkan kami atas pemandangan tidak menyenangkan ini, Nyonya Bimantara.Tapi, ini urusan internal. Mereka melanggar perintah Tuan Muda. Jika Anda merasa tidak nyaman, kami akan segera pindah ke tempat lain," ucapnya sambil membungkukkan badan sekali lagi.
"Sudah aku bilang, aku bukan Nyonya Bimantara lagi. Memangnya kalian siapa? Dari pakaian kalian, sepertinya kalian sama dengan kedua orang itu. Kenapa kalian sampai harus mencambuknya? Zaman apa ini sampai mereka harus menerima semua itu?"
Pemimpin kelompok itu berdiri tegak kembali, menatap Yana dengan dingin sebelum menjawab, "Seperti yang saya katakan tadi, mereka telah melanggar aturan yang ditetapkan oleh Tuan Muda. Ini hukuman yang pantas bagi mereka berdua. Jangan khawatir, Nyonya! Hukuman ini tidak akan membunuh mereka!”
Yana merasakan gelombang kemarahan dan ketidakberdayaan bercampur di dalam dirinya. Dia menatap tidak percaya kedua pengawal yang masih terkulai lemah di tanah. Punggung mereka meneteskan darah. Juga ada luka lebam yang mengerikan. Apa pun kesalahan yang mereka buat, hukuman ini terlalu berlebihan menurut Yana.
Bagaimana bisa ada kekerasan di dalam mansion kakeknya?
Bahkan, perlakuannya kepada Kafka selama mereka menikah dulu tidak separah ini!
"Kalian tidak punya hak untuk memperlakukan mereka sekejam ini! Bantu mereka berdiri!" Yana maju selangkah, mencoba berjalan ke arah kedua pengawal di lantai.
Pemimpin kelompok itu tersenyum tipis, tatapan matanya tetap tajam. Dia segera menghentikan langkahnya.
"Maaf, Nyonya Bimantara. Perintah Bos Besar sudah jelas. Kami hanya mengikuti instruksi yang diberikan. Anda sebaiknya tidak ikut campur. Jika masih keberatan, silakan hubungi saja beliau."
Yana mengerutkan kening marah. "Tentu saja! Aku akan bicara dengan Kafka. Ini sangat keterlaluan! Tidak ada yang pantas diperlakukan seperti ini!"
Meskipun tahu dia tidak memiliki kekuasaan lagi di mansion kakeknya, Yana tetap merasa bertanggung jawab terhadap kedua pengawal itu.
Mantan suaminya mungkin tidak lagi peduli, hatinya tidak sanggup membiarkan hal semacam itu terjadi di depan matanya.
Dulu, dia mungkin adalah Yana yang kejam. Tapi, kesulitan mengubahnya dalam waktu singkat. Dia menjadi wanita yang tidak tegaan dan memahami penderitaan orang lain dengan mudah.
“Berengsek! Apakah Kafka berkuasa dengan cara seperti ini? Dia benar-benar biadab!” batin Yana marah luar biasa.
Ketika Yana hendak berbalik, pria itu berkata dengan tenang, "Nyonya, Anda pasti tahu bahwa Tuan Muda tidak akan menyukai campur tangan Anda dengan cara kami bertindak. Saya sarankan Anda kembali ke dalam dan jangan melakukan hal yang sia-sia!"
Yana menoleh dengan kemarahan yang lebih kuat daripada sebelumnya. "Aku tidak takut kepadanya! Jika Kafka ingin menghukumku juga, biarkan dia mencoba melakukannya! Tapi, aku tidak akan tinggal diam melihat orang lain disiksa tanpa alasan! Semua ini tidak masuk akal! Kalian benar-benar keterlaluan! Hentikan sebelum aku memanggil polisi kemari!"
Dengan langkah cepat, Yana kembali berbalik dan meninggalkan halaman belakang, membuat pemimpin kelompok pria berpakain hitam sedikit linglung.
“Bantu mereka berdiri! Aku akan segera menghubungi Bos besar!” ucapnya kesal dan bingung, memberikan gerakan tangan asal-asalan.
Kedua pria segera ditarik oleh beberapa orang, lalu tidak jauh dari sana, seorang pria muda mendekati pemimpin tadi.
“Kak, kapal barang baru saja tiba. Katanya, mereka akan menyelundupkan barang mewah lagi kali ini. Apakah kita harus memberitahu Bos Besar sekarang? Atau menunggu sampai besok saja? Sepertinya, Nyonya sangat marah dengan kegiatan kecil kita?”
“Sudah! Sudah! Jangan bahas itu dulu! Kalau mereka ingin ditolong oleh kita, suruh mereka menunggu! Satu lagi! Jangan sampai kalian salah bicara di hadapan Nyonya! Bos tidak mau kegiatan ilegal kita sampai ketahuan olehnya! Paham? Ingat juga untuk tidak memperlihatkan senjata kalian secara terang-terangan di mansion ini selama Nyonya berkeliaran. Jangan sampai membuatnya takut dan curiga. Sialan! Kenapa dia sampai melihat kita menghukum kedua orang itu! Menyusahkan saja!”
Pria muda hanya menundukkan kepala dengan ketakutan mendengar omelannya, lalu membungkuk hormat ketika pemimpin itu pergi menuju arah kolam renang.
Di dalam mansion, Yana berjalan cepat menuju lantai dua. Hatinya terbakar oleh kemarahan dan kebingungan yang sepertinya bisa meledak kapan saja. Dia harus berbicara dengan Kafka dan meminta penjelasan darinya!
“Tega sekali dia menghukum orang seperti itu! Apa dia sama sekali tidak punya batasan? Dasar iblis!” umpatnya marah.