Keesokan harinya, Yana terbangun di ruangan yang terasa asing, tapi juga familiar di saat yang sama.
Malam ketika Kafka membawanya pulang, di tengah jalan Yana mengalami demam tinggi sehingga pingsan dan tidak sadarkan diri sampai tiba di tempat tujuan.
Samar-samar, dia hanya mengingat adegan di mana seorang dokter pria memeriksanya dalam keadaan lemah. Ketika wanita itu hendak bangun dari ranjang, dia menyadari kalau lengannya terpasang jarum infus.
"Masih mau bergerak sembarangan?" tegur sebuah suara yang sangat dingin dan penuh amarah.
Yana menoleh ke arah sumber suara dan melihat Kafka muncul dari kamar mandi.
“Apa yang terjadi denganku?” tanyanya dengan suara lemah, nyaris berbisik. Satu tangan memijat sebelah alisnya, keningnya berkerut kencang.
Kafka Bimantara hanya menutupi bagian bawah tubuhnya dengan handuk. Rambut basahnya digosok dengan handuk lebih kecil. Tubuhnya terlihat sangat indah dan menawan. Otot-ototnya terpahat sempurna, dan kulit putihnya tampak memikat. Ketika Yana mencoba untuk menaikkan pandangannya untuk melihat lawan bicaranya lebih serius, dia baru menyadari situasi yang menimpanya.
“Ke-kenapa kamu tidak pakai baju?” tanyanya kaget, wajahnya memerah luar biasa.
Kafka mendengus geli. “Ini kamarku. Mau aku pakai baju atau tidak, itu urusanku.”
Yana terkejut sekali lagi dan melihat sekeliling.
Benar saja, itu adalah kamar utama di Mansion Matahari. Lebih tepatnya, dulu adalah kamar pernikahan mereka. Namun, sepertinya Kafka telah memberikan sentuhan lain pada kamar tersebut. Kamarnya terasa mirip dengan aura pria itu sendiri.
"Kalau begitu, kenapa kamu membawaku kemari? Bukankah aku punya kamar sendiri?"
Yana memprotes, mengingat kamar barunya di lantai bawah yang dulu adalah bekas gudang. Meskipun tempat itu terbelakang dan cukup terpencil, dia mulai menyukainya. Setidaknya, di sana dia merasa lebih nyaman daripada di kamar utama yang penuh dengan kenangan bersama mantan suaminya. Dia tidak nyaman hanya berdua seperti sekarang.
"Kamu masih keras kepala?" Kafka mendengus, menatapnya tajam. "Yana Jazada, ingat hutang keluargamu. Juga biaya rumah sakit yang harus kamu ganti. Kamu tidak akan menarik kata-katamu kembali, bukan?"
"Aku pasti akan membayarnya!" balas Yana dengan tegas. "Kenapa kamu begitu perhitungan? Kalau memang tidak ingin berurusan dengan kami, kenapa kamu mau membantu keluarga kami? Menjebak kami dengan cara seperti ini tidak ada gunanya! Kalau ingin membunuh kami, bunuh saja secepatnya! Bukankah aku sudah memberimu izin?"
Kafka hanya menatapnya dengan dingin dan cemoohan tidak menyenangkan.
"Sungguh kamu ingin membiarkan keluargamu menderita?" tanya Kafka kemudian, mengusap santai rambut basahnya yang masih meneteskan air.
Yana menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal erat. "Mereka yang membuat masalah, kenapa aku harus menanggungnya? Kamu pikir penderitaanku gara-gara mereka belum cukup?"
Kafka tertawa kecil, tetapi dengan nada yang menyeramkan. "Kalau kamu tidak mau membayar, maka keluargamulah yang akan menanggungnya. Semua. Anggota. Keluargamu. Paham, kan? Ini bukan hanya tentang ibumu yang meminjam 100 miliar."
"Apa maksudmu? Kafka, tunggu!"
Yana mencoba menghentikannya, tapi pria itu sudah mengabaikannya, berjalan menuju walk-in closet dengan sikap dingin. Sangat acuh tak acuh.
Yana terdiam, pikirannya terpecah antara turun dari ranjang atau tetap diam di tempatnya.
Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Ancaman mantan suaminya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dia sudah gila mencoba melawannya tanpa berpikir panjang!
Setelah Kafka selesai berpakaian, Yana yang masih melamun duduk di kasur, menatapnya dengan gelisah.
"Aku ingin tetap bekerja. Kamu tidak akan menahanku di sini, kan?" tanya Yana dengan suara serak, wajahnya penuh harap.
Kafka menoleh sekali, memperbaiki kancing di lengan kemeja hitamnya. "Kamu ingin bekerja di klub itu lagi? Tidak kapok dipermalukan?"
Kening Yana berkerut, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan situasinya.
"Kalau diberi pilihan lain, tentu saja aku tidak akan bekerja lagi di sana. Tapi, apa pilihanku? Kamu tahu itu. Tolong, bisakah kamu tidak mempersulitku? Kalau kamu memang tidak ingin aku membayar hutang itu dan hanya ingin menyiksaku dengan hutang yang bertumpuk, maka katakan saja langsung, oke? Tidak perlu berbelit-belit!"
Kafka berjalan mendekat dengan wajah dingin, tanpa emosi. Penampilannya yang tampan dan berwibawa membuatnya semakin menyeramkan bagi Yana. Meski tampan, Kafka terasa seperti iblis yang muncul dari neraka, siap memangsa jiwanya. Menelannya hidup-hidup.
"Kenapa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Yana gugup, keringat dingin membasahi tubuhnya.
"Dokter yang memeriksamu semalam bilang bahwa kamu harus menjalani pemeriksaan ulang di rumah sakit. Aku akan menyelesaikan beberapa urusan di perusahaan sebelum menemanimu ke sana," ujar Kafka dengan nada datar.
Jantung Yana tersentak.
"Apa? Apa yang dokter katakan? Kenapa aku harus ke rumah sakit lagi? Bukankah aku sudah sembuh?"
Kafka tetap tenang tanpa menunjukkan ekspresi. "Kita tidak tahu itu. Semalam kamu muntah-muntah tidak karuan. Aku sudah meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh."
Yana mulai gemetar dingin, tapi berusaha keras menyembunyikannya. Tangannya mencengkeram selimut untuk menenangkan diri. Kalau sampai Kafka menyuruh dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh, penyakit kankernya bisa ketahuan. Itu adalah masalah besar!
Jika Kafka percaya pada diagnosa itu, hidupnya mungkin akan lebih menyedihkan karena dia akan ditertawakan dan ditindas hingga sisa umurnya. Namun, jika dia tidak percaya dan menganggap ini hanya tipu muslihat, hidupnya tidak akan jauh lebih baik. Keduanya bukan pilihan yang bagus. Sebaiknya dia menyembunyikan semuanya.
"Aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit," Yana mencoba meyakinkannya.
"Jangan keras kepala," potong Kafka dengan nada dingin yang marah. "Sebentar lagi, Bibi Jelita akan datang untuk membawa sarapan. Habiskan, dan jangan bersikap manja!"
"Apakah setelah makan dan infusnya habis, aku sudah boleh turun ke bawah?" Yana bertanya hati-hati.
Kafka yang hendak meraih ponsel di atas nakas tampak tersinggung, keningnya berkerut tajam. "Kenapa begitu terburu-buru ingin turun? Apakah kamu begitu membenci kamar ini?”
Yana tidak berani menatap matanya. Bibirnya yang pecah-pecah gemetar saat membalas dengan suara malu-malu, menahan kecanggungan. "Ini bukan kamarku. Aku tidak nyaman jika berada di kamar orang lain."
Kafka menahan amarah yang tampak jelas. "Hah, kamar orang lain?"
Yaa menjerit kecil, merasa gugup. "Benar, kan? Ini sudah bukan kamar pernikahan kita. Kita sudah bercerai. Sekarang, karena kamu telah membeli mansion ini, maka ini adalah milikmu. Lagi pula, sebentar lagi kamu akan menikah. Rasanya tidak pantas jika seorang mantan istri masih tidur di kamar mantan suaminya. Aku tidak ingin istri barumu nanti menyadari ada jejak wanita lain yang tertinggal di kamar pribadimu."
Kafka hanya mendengar penjelasannya tanpa menunjukkan ekspresi apapun, tatapannya tetap dingin.
Melihat reaksi Kafka yang tidak memberikan respons berarti, Yana buru-buru menjelaskan lebih jauh. "Aku tidak ingin kamu mengeluh kalau ranjangmu akan dikotori olehku! Aku tahu kalau aku memiliki pinjaman yang sangat banyak. Aku tidak akan kabur! Aku berjanji, aku pasti akan melunasi semuanya! Tetapi, apakah kamu tidak bisa berhenti membuatku merasa canggung dengan situasi antara kita berdua? Aku tidak ingin semakin berhutang kepadamu! Jangan bersikap baik lagi! Bisa, kan?"
Kafka tiba-tiba memotongnya dengan mata menyipit dingin. "Lalu, kamu tidak keberatan jika memiliki hutang dan meminta tolong kepada Lucas Bayanaka atau Ryan Wilson?"
Yana tertegun, kaget dengan tatapan linglung. "Tidak bisakah kamu berhenti berpikiran buruk tentang diriku? Aku bukanlah wanita yang tidak bisa hidup tanpa pria!"
Kafka terkekeh dengan sorot mata mengejek. "Benarkah? Kita lihat saja nanti."
Masih dengan aura dingin, Kafka meraih ponselnya dan berjalan menuju pintu keluar.
Sebelum menghilang dari balik pintu, dia berbalik menatap Yana, memberikan ancaman yang sangat nyata. "Jika kamu berani keluar dari kamar ini dan melakukan hal yang tidak aku inginkan, kita lihat apakah kedua kakimu masih baik-baik saja di masa depan.”
Yana mendingin hingga ke tulang. Wajahnya pucat sangat jelek.
Di dalam hatinya, dia membatin tidak percaya. “Apakah dia sungguh sekejam itu? Apakah dia benar-benar akan memotong kedua kakiku?”
Pikirannya semakin kacau.
Selama ini, dia hanya menyangka bahwa kekejaman mantan suaminya terbatas dengan menghancurkan keluarga Jazada dan membuat mereka bangkrut. Namun ternyata, mungkin Kafka mampu bertindak jauh lebih kejam dari itu.
“Apakah Kafka juga bisa membunuh orang?” Yana mulai mengamini pemikiran itu dalam hatinya.
Jika melihat temperamen Kafka yang sulit ditebak dan penuh amarah, tidak mustahil baginya untuk melakukan hal-hal ekstrem yang lebih tidak manusiawi.