Yana lupa kalau dia tidak memiliki nomor kontak mantan suaminya. Dengan perasaan jengkel, dia terpaksa harus menunggu di ruang tamu sampai pria dingin itu kembali dari perusahaan.
Bibi Jelita bahkan tidak bisa membantunya. Dia menolak untuk memberitahu nomor ponsel Kafka Bimantara. Seperti yang dikatakan oleh pemimpin dari pria berpakaian serba hitam, dia dilarang untuk ikut terlibat dengan pemberian hukuman kepada kedua pengawal sebelumnya.
Untungnya, Kafka berniat untuk pulang makan siang hari ini.
Satu jam kemudian, suara mobil memasuki halaman depan. Yana segera berdiri dari duduknya, terlihat sangat resah.
Kafka yang sedang berjalan masuk ke mansion, menatap dingin ke arah Yana yang datang mendekat.
"Aku dengar kamu ingin berbicara denganku. Ada apa?"
Suara dingin itu membuat hati Yana bergetar. Rasa takut dan keringat dingin mulai membanjiri dirinya. Dengan gelisah, dia pun menjawab dengan pelan, "Katanya, kamu yang memerintahkan mereka untuk menghukum kedua pengawal yang menjagaku selama ini. Apa kesalahan mereka?"
Kafka berjalan melewatinya dengan dingin, seolah-olah Yana bukanlah apa-apa.
"Kafka, tunggu! Tidak! Tuan Bimantara, tolong katakan sesuatu!" seru Yana dengan penuh kegelisahan.
Kafka berhenti, berbalik dengan suara dingin, mengabaikan perkataannya, "Apa kamu sudah makan?"
Yana memiringkan kepalanya, heran mendengar pertanyaan tersebut.
"Apakah dia sedang bertanya soal makanan kepadaku?" pikirnya bingung, lalu melirik ke sekitarnya.
Kafka membalasnya dengan aura yang lebih mengintimidasi. "Apa kamu tidak punya mulut? Aku tanya, kamu sudah makan atau belum?"
Yana menjilat bibirnya dengan perasaan gugup. "Belum. Aku menunggu kepulanganmu terlebih dahulu. Bagaimana mungkin aku bisa makan jika memikirkan kedua pria itu yang disiksa tanpa alasan?"
Pria dingin berpakaian mahal mendengus geli, dia melihat sebentar pada jam tangan di tangan kirinya. Waktu makan siang sudah lewat, tapi dia berkata belum makan apapun? Jangan-jangan, dia juga belum meminum obatnya hari ini?
"Demi kedua pria seperti itu kamu masih menaruh perhatian yang sangat khusus. Luar biasa, Yana. Luar biasa. Kamu sungguh kekurangan perhatian, ya? Apa kamu sangat haus belaian?"
Dia lalu berjalan meninggalkan Yana yang tertegun di tempatnya. Mata wanita itu terlihat kebingungan. Dia tidak memahami ucapan Kafka barusan.
Apa dia baru saja mengecapnya murahan?
Pria sialan!
Sambil berjalan arogan, Kafka menjentikkan jari di udara dengan gaya malas.
Bibi Jelita segera muncul dari arah dapur. "Tuan, selamat datang. Anda ingin makan apa?"
"Siapkan makanan seperti biasanya dan khusus untuk Yana, buatkan yang ringan dan mudah dicerna."
"Baik, Tuan!"
Yana bergegas mendekatinya. "Aku tidak lapar. Aku tidak menunggumu untuk menemanimu makan!”
Kafka membuka mantel di tubuhnya dan melemparkannya sembarangan ke arah Yana.
Terkejut, Yana menerima mantel tersebut dalam keadaan panik. Kekesalan mulai muncul di hatinya. Pria ini sungguh menyebalkan!
"Duduk," perintah Kafka seraya mengedikkan kepala ke arah ruang tamu.
Yana tidak mengerti apa maksudnya, tetapi demi mendapatkan penjelasan mengenai kegiatan kejam di belakang mansion, dia segera menurut. Mata wanita itu menatap Kafka yang duduk dengan arogan di tengah-tengah sofa panjang.
"Kenapa berdiri saja di situ? Cepat duduk," ujar Kafka lagi dengan nada dingin.
Yana melangkah ragu-ragu, tidak segera menuruti perkataannya kali ini. "Tuan Bimantara, tolong berikan penjelasan. Kenapa kedua pengawal itu harus disiksa begitu kejam?"
Kafka tertawa sinis, mendongak sedikit dengan ekspresi angkuh yang sangat arogan. "Sejak kapan seorang Yana Jazada begitu peduli pada nyawa orang lain? Bukankah kamu adalah wanita yang suka dengan kekerasan?"
Tertegun dan seperti ditampar mendengar ucapannya, Yana merasa lidahnya kelu. Tidak tahu harus membalasnya seperti apa.
"Kenapa kamu diam saja? Apakah karena tepat mengenai egomu?" Kafka bertanya dengan nada tajam, lalu berkata lebih santai setengah mengejek. “Bukankah kamu seperti itu selama ini? Kejam dan tidak berperasaan? Aku hanya belajar darimu saja, Bu Guru. Kenapa kamu tidak bisa mengatakan apa-apa?"
Yana mengepalkan kedua tangannya di balik mantel yang dipegangnya. "Kamu salah. Aku tidak seperti itu."
"Oh, benarkah?" Kafka mendengus geli. "Cepat duduk."
Yana mengerutkan dahi mendengar perintahnya yang penuh tuntutan. "Untuk apa duduk di dekatmu?"
Kafka tertawa arogan, matanya memandang sinis dan senyumnya tiba-tiba hilang. "Siapa yang menyuruhmu duduk bersamaku? Duduk di lantai!"
Yana terkejut, wajahnya seketika pucat. "Apa? Apa katamu?"
Dengan gerakan malas dan acuh tak acuh, Kafka menjawab, "Kenapa? Setelah tidak bisa mendengar dengan baik, sekarang kamu tuli? Aku bilang, duduk di lantai!"
Yana mengepalkan kedua tangannya lebih erat, menyakiti kulitnya sendiri.
Dia geram melihat sikap Kafka yang begitu merendahkannya.
"Kamu ingin mendengar alasannya atau tidak?" Kafka menggoda dengan nada meremehkan, senyumnya jenaka dan main-main.
Yana melirik ke lantai sejenak. Sebenarnya, lantai itu ditutupi dengan karpet bulu tebal yang sangat mewah dan mahal. Tentu lututnya tidak akan kesakitan. Tapi tetap saja, itu seperti menginjak-injak harga dirinya.
"Mungkinkah ini sudah menjadi nasibku sebagai 'pelayan' di mansion peninggalan kakek yang sudah beralih tangan ke mantan suami yang kejamnya sungguh durjana?" pikir Yana putus asa.
Tidak hanya mampu menyiksa fisik seseorang dengan cambuk dan pukulan, Kafka juga sepertinya sangat ahli menyiksa mental orang lain hingga merasa sangat rendah diri.
Setelah berjuang menahan amarahnya, Yana akhirnya berlutut di lantai. Mantel yang digenggamnya diletakkan hati-hati di dekat Kafka.
"Apakah kamu puas mempermalukanku seperti ini?" tanyanya dingin dan datar, tidak ada emosi di wajah Yana.
Kafka tersenyum misterius. Dia duduk bersandar dengan angkuh, seperti seorang raja tirani yang malas-malasan. Satu kakinya disilangkan di atas kaki lainnya, memperlihatkan bahwa dia adalah pria yang tidak bisa diremehkan.
"Kamu takut kepadaku?" balas Kafka dengan nada ringan, dingin, dan sedikit menggoda.
Yana merespon dengan tatapan tajam.
"Takut? Hah! Tentu saja aku takut! Bukankah sekarang kamu adalah pria yang sangat kejam dan berkuasa? Kamu lebih buruk daripada yang pernah kubayangkan!" ucapnya kesal, melampiaskan emosi yang sudah lama di pendam di dalam hatinya.
Kafka diam sejenak, mengamati Yana dengan mata menyipit, masih dalam posisinya yang arogan dan santai.
"Kenapa kamu belum makan sejak tadi? Bukankah perutmu tidak boleh sampai bermasalah? Kamu pasti belum meminum obat yang diberikan dokter, bukan? Kalau kamu begini terus, tidak lama lagi kamu pasti akan kehilangan nyawa. Percuma aku menolongmu berkali-kali. Dasar tidak tahu berterima kasih.”
Yana diam saja, menatap Kafka dengan tatapan galak.
"Kalau dia tahu nyawaku mungkin tidak akan lama lagi, apakah dia akan merayakannya dengan pesta besar selama tiga hari tiga malam?" batinnya pahit, merasa sangat menderita dan tidak beruntung.
“Diam lagi? Apa kamu sekarang pelit untuk berbicara denganku?”
"Jangan berbelit-belit. Sebenarnya, apa kesalahan kedua orang itu? Kenapa mereka harus menerima hukuman yang tidak manusiawi darimu?" tanya Yana serius.
Wajahnya tampak tegang, sementara Kafka tetap terlihat acuh tak acuh, seperti kucing malas yang hanya melirik orang di sekitarnya tanpa peduli sedikitpun.
"Seharusnya kamu tidak perlu semarah itu, bukan? Selama tiga tahun menikah denganmu, aku telah belajar apa arti kekuasaan dan uang. Apa salahnya jika aku menerapkannya sekarang?"
Yana merasa hatinya mendidih!
"Aku tidak pernah menyiksa orang lain separah dirimu! Kenapa kamu begitu kejam? Kamu benar-benar iblis! Selama menikah, kebaikanmu ternyata hanya tipu muslihat! Kamu sungguh aktor yang baik! Kenapa tidak menjadi aktor sungguhan saja dan memenangkan penghargaan dunia?" sindirnya dengan tatapan tajam yang penuh amarah, matanya melotot hebat. Dia sudah seperti akan menguliti Kafka karena kehilangan kesabaran!
Pria dingin masih terlihat malas-malasan, matanya yang dingin melirik santai ke arah Yana yang tampak penuh kebencian. Kedua tangannya mengepal erat di pangkuannya.
"Jadi menurutmu, aku punya bakat sebagai aktor? Semua kebaikanku hanyalah akting semata?"
Kafka bertanya dengan nada tenang, seolah-olah tidak terganggu sedikit pun. Tapi, hatinya mulai merasa gelisah dan jengkel.
Yana kembali diam, tetapi tatapannya semakin tajam, melotot lebih hebat daripada sebelumnya. Pikirannya masih terganggu oleh perlakuan Kafka terhadap dua pengawal yang disiksanya.
Sejak mereka bercerai, sebenarnya, apa yang terjadi kepadanya hingga menjadi pria yang sungguh berbeda?
Kafka melonggarkan dasinya dengan santai. "Beberapa orang memang harus dihukum seperti itu agar mereka tahu kesalahannya. Jika tidak dihukum, mereka akan mengulanginya lagi. Apa gunanya mempertahankan mereka jika tidak becus bekerja untukku?”
"Memangnya, apa kesalahan mereka?" tanya Yana dengan suara yang lebih pelan, penuh rasa penasaran dan ketidakpuasan. Dia mencoba pendekatan lain agar bisa segera mendapatkan jawabannya.
Menyinggungnya terus sepertinya bukan metode yang bagus.
Kafka menegakkan tubuhnya, sedikit mencondongkan diri ke arah Yana. Tatapannya tajam, tapi menyimpan senyum memikat yang dingin dan berbahaya.
"Menurutmu, apa kesalahan mereka?" godanya dengan suara nakal yang disengaja.
Yana menelan ludah gugup, keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
Pesona mantan suaminya yang sangat kharismatik membuat jantungnya kembali berdebar aneh.
"Tidak! Tidak boleh! Kamu tidak boleh seperti ini, Yana! Kendalikan hatimu! Dia bukan lagi Kafka yang kamu cintai!" batinnya cemas, mencoba agar perasaannya yang mulai lepas kendali tidak membuatnya kacau.
Dia tidak boleh membiarkan emosinya mempengaruhi penilaiannya terhadap kekejaman Kafka!
“Bukankah kamu pintar? Kenapa tidak menebaknya saja? Ayo sedikit bermain, Nona pintar!” kekeh Kafka setengah mengejek.
Mantan suaminya semakin dekat, memperjelas fitur wajahnya yang tampan dan halus.
Kafka memang seperti itu sejak dulu. Dia seperti berlian yang belum diasah. Ketika keindahannya terungkap, semua orang hanya bisa terpana dan kagum dalam diam. Kehilangan kata-kata.
Dengan tekad yang kuat, Yana berusaha menegaskan dirinya. Seperti apapun pesonanya, dia tidak boleh jatuh ke dalam perangkap Kafka lagi!
"Hentikan omong kosongmu! Bisakah kamu menjawabnya tanpa perlu berbelit-belit? Kalau kamu masih bersikap kejam kepada mereka, maka aku akan melaporkan hal ini kepada polisi."
Kafka terbahak-bahak mendengar ancamannya. Dia kembali bersandar santai dan malas pada sofa panjang, menarik dasinya agar lebih longgar daripada sebelumnya. Dengan sebelah kaki yang kembali disilangkan, dia mendongakkan kepalanya arogan sambil menatap malas wanita yang berlutut di lantai.
"Kamu pikir polisi bisa menangani hal ini? Yana, kamu sudah lupa? Kekuasaan dan uang lebih tinggi daripada hukum. Aku pikir orang kaya sepertimu memahami hal semacam ini. Oh... maksudku, mantan orang kaya...."
Sudut bibir tipisnya tertarik licik, mengejek sangat jelas.
Yana memucat, lebih buruk daripada kematian.
Dia merasa kesal luar biasa mendengar sindiran mantan suaminya. Sambil menahan emosinya, Yana membalas dengan sinis.
"Hah, kamu benar-benar orang yang bisa belajar dengan baik, ya? Setelah naik status, kamu akhirnya menunjukkan sifat aslimu. Aku benar-benar sangat kecewa melihat kelakuanmu."
Kafka tiba-tiba terdiam dengan wajah dingin tanpa emosi. Dia menatap wanita di lantai tanpa perasaan.
Merasa tidak nyaman menerima tatapannya, Yana mencoba mengalihkan pandangan sambil berkata marah, "Cepat katakan! Apa kesalahan mereka berdua?"
Kafka melepaskan dasinya, lalu melemparkannya malas ke pangkuan wanita itu.
"Jika kamu tidak ingin mereka berdua dihukum lagi, sebaiknya jaga sikapmu mulai sekarang."
Yana membeku, menatapnya linglung. "Apa maksud dari ucapanmu itu?"
“Kamu sungguh masih bertanya begitu? Sungguh, Yana Jazada?”
Kafka tertawa remeh, seolah melihat lelucon menggemaskan di depannya. Tangan pria itu terulur ke arah Yana, membuat wanita itu secara otomatis menundukkan kepala dan memejamkan matanya erat-erat. Kedua bahunya naik ketakutan, seolah-olah siap menerima pukulan apapun darinya.
Tangan Kafka membeku di udara. Sedikit terkejut melihat reaksinya yang di luar dugaan. Dia teringat kejadian sebelumnya yang sedikit sama seperti sekarang. Yana mengira kalau dia akan memukulnya. Hati sang pria tiba-tiba menjadi dingin.
Kemudian, setelah menata pikirannya dalam waktu singkat, wajah dinginnya melunak dan jauh lebih lembut. Sudut bibirnya membentuk senyum tipis, tapi ada kesan mencela diri sendiri. Sekilas, kesedihan muncul di kedua bola matanya yang dingin dan gelap.