Setengah jam kemudian, Kafka akhirnya tiba di Rumah Sakit Salim. Dengan langkah tergesa-gesa, dia menuju resepsionis dan menanyakan tentang seorang wanita bernama Yana Jazada. Seorang perawat yang terlihat tergesa-gesa segera mengantarnya ke sebuah ruangan. Di dalamnya terdapat beberapa pasien.
Kafka melihat mantan istrinya terbaring dengan mata tertutup di ranjang yang terletak paling ujung.
Pria dingin itu tertegun.
Wajahnya tiba-tiba mengeras dan ekspresinya sangat buruk. Di ruangan, semua pasien lainnya dikelilingi oleh keluarga mereka, tapi Yana hanya sendirian. Rasa kesal dan sakit hati segera bergantian menyerbu hatinya.
Dengan cepat, Kafka memberikan isyarat kepada perawat untuk pergi, lalu kakinya melangkah menuju ranjang Yana.
Tubuhnya sedikit gemetar mengamati wanita di depannya. Bayangan kenangan ketika Yana berada di ruang operasi menghantam pikirannya seperti palu yang terus menggedor di dalam kepalanya.
"Bodoh! Kalau kamu kesakitan, kenapa tidak bilang? Apakah kamu sengaja ingin membuatku merasa bersalah?"
Kafka lupa bahwa Yana telah berkali-kali mengeluhkan rasa sakitnya hari itu, tapi yang dia pedulikan hanya panggilan dari wanita lain.
Tanpa berkata lebih banyak, Kafka menarik kursi yang ada di dekat ranjang dan duduk di sana. Perlahan, dia meraih tangan mantan istrinya dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba, sorot matanya yang dingin dan gelap berubah menjadi sangat lembut, dipenuhi oleh kehangatan yang jarang terlihat.
"Yana, kamu tidak boleh mati. Paham? Nyawamu sekarang adalah milikku.”
Tidak ingin mengambil risiko Yana bertindak ceroboh lagi, dua segera memindahkannya ke ruangan VIP terbaik di rumah sakit. Dia bahkan memerintahkan dokter untuk memberikan obat penenang agar Yana tetap tertidur dan tidak berkeliaran.
"Bagaimana keadaannya hari ini?" tanya Kafka dengan nada dingin dan datar kepada dokter pria yang sedang memeriksa Yana yang masih tertidur.
Dokter itu tampak gugup, tidak yakin harus mengatakan apa.
Baru kali ini dia menerima permintaan aneh dari keluarga pasien, yaitu membuat seseorang tertidur terus-menerus agar dia cepat pulih. Itu bagus. Tapi, penggunaan obat tidur dalam jangka panjang sangat tidak baik. Sayangnya, dokter tidak bisa melakukan apapun untuk menolaknya.
"Sudah sekitar dua minggu lamanya, tapi dia masih saja tidak berubah pikiran. Orang kaya memang sangat aneh,” batin sang dokter, bingung dengan apa yang diinginkan pria kaya di depannya.
"Nona Jazada sudah lebih baik saat ini, tetapi tolong jangan membuatnya bekerja terlalu keras. Saya akan memberikan resep baru yang dapat mempercepat penyembuhan luka-lukanya, tapi harganya cukup mahal," jelas dokter dengan nada hati-hati.
Kafka hanya tersenyum dingin, meremehkan. "Harga bukan masalah. Dia harus tetap hidup.”
Dokter pria mengangguk cepat, sedikit gugup.
Dia tahu jelas siapa Kafka.
Di Ibu kota, hampir tidak ada yang tidak mengenal sosoknya.
Seorang pria kaya yang menguasai banyak perusahaan, baik di dalam maupun luar negeri. Baru tiga hari yang lalu, dokter mengetahui bahwa pasien yang dirawatnya ini adalah mantan istri Kafka, Yana Jazada, yang pernah terlibat skandal besar dan menggemparkan seluruh negeri.
Dokter merasa heran.
Setelah skandal mengerikan tentang bagaimana Yana mempermalukan dan menindas mantan suaminya tersebar di internet, siapa sangka bahwa pria yang ditindas itu adalah Kafka Bimantara, yang kini tampak begitu berkuasa dan dingin?
Meski sebagian besar jejak digital skandal itu telah dihapus secara misterius, jejak-jejaknya lainnya masih bisa ditemukan oleh mereka yang cukup pintar mencarinya.
"Terima kasih," balas Kafka dingin, membuat dokter mengangguk cepat sebelum pergi.
Sepeninggal dokter, Kafka duduk dengan tenang di kursinya, mengamati wajah Yana yang terlelap seperti putri tidur yang abadi.
Senyuman sinis muncul di sudut bibirnya, menciptakan ekspresi menakutkan di wajah tampannya. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat mantan istrinya yang tidak berdaya akhirnya berada kembali dalam pandangannya.
"Yana, kamu telah melakukan kesalahan besar dalam hidupku. Mustahil aku membiarkanmu lepas begitu saja. Kamu pikir karena kita telah bercerai dan keluargamu mendapatkan balasannya, aku akan berhenti memberimu pelajaran? Jangan sebut aku Kafka Bimantara sampai kmau benar-benar menyesalinya!”
Seolah bisa merasakan ancaman mantan suaminya, Yana tiba-tiba terjerumus ke dalam mimpi buruk.
Dia yang sebelumnya menghabiskan mimpi indah bersama anggota keluarganya dengan hal-hal baik sebelum menikah, entah bagaimana tiba-tiba dia terjatuh ke dalam sebuah lorong yang gelap dan tanpa dasar.
Ketakutan menyelimutinya saat dia berusaha mencari pegangan, tetapi tidak ada yang bisa diraihnya.
Tidak lama kemudian, dia berdiri di sebuah pesta taman terbuka dengan linglung, melihat Kafka dan Mala berjalan bergandeng tangan di antara para tamu undangan Suara riuh tawa dan ucapan selamat memenuhi udara. Sangat meriah, sangat indah.
"Dengan ini, kalian sekarang sudah resmi sebagai suami istri. Tidak ada yang bisa memisahkan kalian lagi!"
Suara seorang pria terdengar dari atas panggung seraya tersenyum lebar.
Hati Yana bergetar karena sakit, wajahnya sangat pucat.
Rasa kehilangan menyengatnya ketika melihat mereka berdua mulai berciuman mesra, seolah-olah dunia di sekelilingnya hancur berkeping-keping.
Yana berusaha berteriak menghentikannya, tetapi tidak ada suara yang keluar.
Semua yang dia lihat, kegembiraan dan kebahagiaan kedua orang itu hanya menguatkan rasa sakit di hatinya.
Di dalam mimpi itu, hanya satu pemikiran yang terus berulang. Seperti jarum yang menusuk-nusuk otaknya.
Ala yang telah dia lakukan? Kenapa dulu dia tidak bisa menghargai Kafka lebih cepat?
Mimpi buruk itu sangat menyiksa, membuat Yana seperti berada di neraka.
Selama beberapa hari ke depan, Kafka terus menjaga Yana di rumah sakit.
Setiap kali dia kembali dari sebuah pertemuan bisnis, dia selalu memastikan untuk menghabiskan waktu di samping ranjang Yana. Tidak peduli itu malam atau pagi.
Pada suatu hari, Yana akhirnya terbangun dengan perasaan sangat buruk.
Mimpi yang mengerikan tentang Kafka dan Mala menikah, menghantui pikirannya tanpa henti. Dia ingin terbangun dari mimpi buruk itu, tetapi Kafka dengan sikap egoisnya, telah menyuruh dokter untuk memberikan obat tidur jangka panjang.
Yana terjebak dengan kondisi mengerikan di dalam pikirannya sendiri. Itu seperti penjara abadi.
Setelah berjuang melawan keletihan, Yana perlahan membuka matanya. Suara perawat terdengar di telinganya.
"Nona, Anda sudah bangun? Syukurlah!"
Yana merasa seolah merasa de javu. Dia menoleh ke arah suara itu dengan sangat lemah.
“Aku di mana?" bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar.
"Anda di rumah sakit,Nona," jawab perawat dengan lembut.
Yana merasa bingung. Pikirannya kacau.
Dia ingat saat pingsan di mansion, tapi dia tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
"Sudah lama Anda tidak sedarkan diri," lanjut perawat. "Pelan-pelan saja."
Yana memejamkan matanya, mencoba mencerna kata-kata itu. Tubuhnya terasa berat dan lemah. Dengan susah payah, dia mencoba menggerakkan kakinya, tetapi tidak bisa. Apa dia mengalami koma?
"Dokter akan datang sebentar lagi," kata perawat itu, melihat kesedihan di wajah Yana yang sangat kasihan. "Jangan khawatir, Anda akan segera mendapatkan perawatan yang tepat."
Yana ingin menjawab, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Pikiran tentang Kafka dan situasi mereka berdua menghantui benaknya.
Sepertinya, hanya masalah waktu saja sampai dia benar-benar hancur dan mati di tangan mantan suaminya.