Seorang dokter datang untuk memeriksa Yana dan memberikan beberapa arahan tentang perawatannya.
Yana mendengarkan dengan seksama, merasa takut untuk membantah. Dia khawatir jika melawan atau melakukan sesuatu yang salah, Kafka akan menghukumnya lagi, seperti yang sering dia lakukan sebelumnya.
Pada sore hari, Kafka akhirnya muncul di ruangan VIP rumah sakit.
Dengan suara dingin dan mengintimidasi, dia bertanya, "Sudah lebih baik?"
Yana yang masih lemah, bersandar di tempat tidur dengan kepala sedikit terangkat.
Dia hanya bisa menatapnya sambil menikmati potongan buah yang diberikan perawat. Dia tidak menjawab, hanya menatapnya dengan kosong tanpa ekspresi di wajahnya.
Pria tampan bermantel hitam berjalan anggun dan sombong menuju ranjang pasien.
Tinggi badannya membuat Yana merasa kecil dan tertekan. Sosoknya benar-benar asing sekarang.
"Aku akan mengembalikan biaya rumah sakit kali ini juga," katanya datar.
“Apakah itu yang bisa kamu katakan setelah terbangun?"
Sindiran Kafka membuat Yana merasa tertekan.
Dia tidak bisa mengeluarkan suara, hanya bisa menatapnya dengan bibir pucat yang sedikit pecah-pecah.
Kafka merasakan ketidaknyamanan saat melihat kondisi bibirnya. Selama dia membuat Yana tertidur, dia merawatnya dengan penuh perhatian, memastikan bibir wanita itu tetap lembab dan tampak indah. Namun, baru saja dia meninggalkannya setengah hari, bibir Yana sudah dalam keadaan seperti itu?
"Kenapa bibirmu?" tanya Kafka pendek, nada suaranya mulai mengandung sedikit keprihatinan.
Meski dia berusaha menyembunyikannya, perasaannya campur aduk antara jengkel dan khawatir. Dia meraih sebotol lip balm dari saku mantel dan mendekatkan diri ke ranjang.
“Ayo, gunakan ini," katanya dengan lebih lembut.
Yana terkejut.
Dia hanya bisa menatapnya sejenak, tidak tahu bagaimana harus menjawab atau bertindak.
Apakah ini semua hanya sebuah akting dari Kafka? Ingin membuatnya berharap kosong?
Sang wanita terus menatap bingung tangan di depannya, tetapi segera mengambil lip balm itu, berusaha untuk bersikap tenang.
"Terima kasih.”
Suara Yana sedikit serak. Dia menolak sentuhan yang berniat mengoleskan pelembap bibir itu padanya. Entah kenapa dia bisa menebaknya demikian.
"Jangan keras kepala. Kemarikan bibirmu," jawab Kafka dengan kesal, mencubit dagunya dan mulai mengoleskan pelembap tersebut.
Yana merasa canggung
Dia tidak terbiasa menerima kebaikan dari Kafka setelah perpisahan mereka. Tanpa status suami istri, Kafka berperilaku seperti orang asing yang tidak mengenalnya.
Sikap baiknya seolah menghilang dan dia tampak enggan untuk repot-repot berurusan dengannya hingga mengabaikannya ketika meminta tolong berulang kali di masa lalu.
Selain keinginan untuk membalas dendam, tidak ada yang tersisa dalam diri Kafka. Untuk apa berharap, bukan?
Setelah puas dengan pekerjaannya, Kafka menarik tangannya.
"Apa kata dokter?"
Nada terdengar serius. Yana menatapnya bingung.
"Tidak ada," jawabnya lebih pelan. "Dia hanya menyuruhku untuk beristirahat. Kalau kamu ingin memaksaku kembali ke mansion dan bekerja sebagai pembantu di sana, aku tidak yakin bisa melakukannya dengan tubuh seperti ini."
Apakah tidak ada yang peduli dengan penyakit kankernya?
Kenapa mereka tidak membahasnya di rumah sakit ini juga?
Dari sikap Kafka, Yana bisa menebak bahwa dia belum mengetahui tentang kondisinya sama sekali.
Ini sungguh aneh.
“Bukankah di rumah sakit ini tidak ada Ryan Wilson? Kenapa bisa seperti ini?" pikirnya di dalam hati.
Pria berpakaian hitam baru saja ingin meluapkan kemarahan yang tertahan. Tiba-tiba, dari arah pintu kamar VIP, seseorang muncul sambil membawa keranjang buah.
"Kafka," kata Ryan Wilson dengan nada santai. "Kita bertemu lagi."
Yana merasakan hatinya tenggelam.
Kenapa? Ryan ada di sini?
"Untuk apa kamu kemari? Dari mana kamu tahu Yana ada di sini? Apa dia meneleponmu?" tanya Kafka dengan nada dingin, menatap Ryan tajam.
Ryan berjalan dengan langkah santai, tampak percaya diri. Dia membuka keranjang buah dan tersenyum lebar ke arah Yana. "Kebetulan, aku ada keperluan di rumah sakit ini dan tidak sengaja melihatnya sebagai pasien VIP. Jangan berburuk sangka begitu, Kafka Bimantara.”
"Kenapa? Kamu tidak suka aku menyapa mantan istrimu?" lanjut Ryan geli, memperlebar senyumnya hingga terkesan menyebalkan.
“Orang tidak penting dilarang masuk ke sini. Keluar!” sindirnya dingin, mata menyipit tajam.
"Kafka, kamu sungguh egois. Dia sudah bukan milikmu lagi. Kenapa kamu masih saja menempel padanya?"
Kemarahan menggelegak di dalam hati Kafka.
"Sepertinya Tuan Wilson salah paham. Yana Jazada berhutang padaku sebesar 100 miliar. Mana mungkin aku melepaskannya begitu saja?"
Pria bergaya playboy dengan senyum lebar itu tampak kaget, menatap Yana dengan tidak percaya.
"100 miliar? Untuk apa kamu meminjam uang sebanyak itu, Yana? Jangan bilang gara-gara ulah ayahmu?”
Yana merasakan wajahnya memanas. Hatinya sangat malu.
Semua orang di lingkungannya juga tahu bahwa ayahnya, Randal Jazada mulai bersikap agresif dan kacau dengan segala ide-ide investasinya yang konyol.
Tentu saja tidak ada yang mau terlibat dengannya setelah melihat betapa buruknya keluarga Jazada. Ayahnya lari untuk berjudi dan suka meminjam ke renterir. Sungguh akhir yang sangat buruk bagi pebisnis hebat di masanya.
Yana ingin membela ayahnya, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. Dia tahu reputasi keluarganya memang tidak baik dan semua orang di sekitar mereka seakan ingin melihat kejatuhan mereka yang lain. Teman menjadi musuh, akhirnya menjadi makanan sehari-hari keluarga Jazada.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.”
Ryan mengabaikannya. Dia mengalihkan pandangannya ke Kafka, menyindirnya dengan senyum mengejek, "Jadi, kamu berniat memanfaatkan keadaannya? Menyandera dan menekannya dengan hutang yang tidak pernah bisa dia lunasi?”
"Dia adalah mantan istriku. Ini bukan urusanmu! Pergi!”
Kafka mengusirnya tanpa berpikir dua kali.
“Tepat sekali! Dia hanyalah mantan istri, bukan? Seharusnya kamu yang pergi dari ruangan ini,” kekehnya geli, menatap Kafka dengan tatapan konyol
“Berisik! Mantan istri atau bukan, da tidak akan lepas dari tanggung jawabnya!”
Yana merasa sesak melihat mereka bertengkar.
“Ryan, cukup. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri! ucapnya dengan niat berusaha mengalihkan perhatian. “Tolong jangan mempersulitku!”
Ryan menatapnya sejenak, tampak ragu, sebelum akhirnya mengangguk penuh perhatian. "Baiklah, tapi jika kamu butuh bantuan, aku akan selalu tersedia. Jangan biarkan dia menindasmu lebih jauh. Yana, dia tidak berhak melakukannya.”
Kafka mengerutkan kening marah, sangat tidak terima dengan pernyataan Ryan.
"Yana bukan anak kecil lagi. Dia tahu apa risiko pilihannya sendiri. Sekali memilih untuk berhutang, maka sekarang dia harus menanggung konsekuensinya sendirian."
“Jaga dirimu, Yana Jazada. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan,” ucap Ryan jenaka, sengaja ingin memancing amarah Kafka.
“Terima kasih. Sekarang, Tolong pergilah.”
“Pergi!” bentak Kafka dengan nada penuh permusuhan
Yana tidak nyaman mendengarnya. Kenapa Kafka seperti sangat posesif? Bukankah dia pernah berniat memberinya kepada Ryan. Apa yang membuat berubah pikiran?
Yana menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan gejolak emosi yang membara. Dia tidak bisa memahaminya!
Ketika ruangan kembali sunyi, Kafka hanya duduk di kursi dan menatap Yana dalam diam selama beberapa saat.
Sikap aneh pria itu membuat Yana tidak nyaman.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
Kafka membalasnya dengan hinaan yang sangat jelas. Sudah bibirnya membentuk senyuman yang licik, tapi terkesan sedih di saat yang sama.
“Kamu pikir aku akan percaya dengan ucapannya barusan? Sungguh sebuah kebetulan. Apa kamu menurutmu masuk akal? Ada banyak kebetulan yang terjadi berkali-kali di sekitarmu. Aneh sekali. Pertama, kamu bilang tidak sengaja bertemu dengan Lukas Bayanaka. Sekarang, kamu juga bilang kalau tidak sengaja bertemu dengan Ryan Wilson di rumah sakit yang tidak ada kaitannya dengannya?”
Yana marah!
Kedua tangan mengepal erat.
“Kapan aku bilang kalau aku tidak sengaja bertemu dengan Ryan? Aku juga baru tahu kalau dia ada di rumah sakit ini!”
Kafka mendengus sekali, mendesis dengan wajah menggelap dingin. Senyumnya sangat mengerikan.
“Hebat sekali! Berapa lama kamu sudah menyiapkan semua skenario ini? Kamu pikir aku sangat bodoh? Yana, perhatikan tindakanmu!”